Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Rumah baru
Langit mulai meredup ketika mobil hitam yang ditumpangi Arum berhenti di halaman megah kediaman keluarga Argantara. Gerbang besi tinggi berlapis ukiran emas perlahan terbuka, memperlihatkan taman luas dengan air mancur di tengahnya, serta rumah bergaya kolonial yang berdiri kokoh di ujung jalan berbatu.
Arum menatapnya dari balik jendela, napasnya tercekat. Rumah itu indah tapi entah mengapa, hawa di sekitarnya terasa dingin, sunyi, dan berbahaya seperti tempat di mana senyum bisa berubah menjadi racun dalam sekejap. Ketika pintu mobil dibuka, udara sore yang lembab menerpa wajahnya. Dia menjejakkan kaki ke pelataran untuk pertama kalinya sebagai Nyonya Argantara. Tapi langkahnya terasa berat.
Oma Hartati keluar lebih dulu, disambut dengan hormat oleh para pelayan dan asisten rumah tangga yang berbaris rapi di depan pintu. Lalu, di ambang pintu, berdirilah empat orang, Tuan Argantara, Maya, Elion, dan seorang wanita bergaun merah yang menawan yaitu, Alena.
Arum menatap mereka satu per satu. Tuan Argantara tampak gagah meski rambutnya memutih, auranya penuh wibawa dan kekuasaan. Di sampingnya, berdiri Maya, wanita cantik dengan senyum yang terlihat manis di wajah, tapi dingin di mata. Dan sedikit di belakang mereka, seorang pria muda tinggi, tampan, dengan senyum percaya diri. Elion Argantara, adik tiri Reghan.
Sementara wanita di samping Elion, dengan gaun merah yang anggun dan tatapan licin penuh rasa ingin tahu adalah Alena. Arum tidak tahu siapa dia, tapi sejak pertama kali menatap mata Alena, jantungnya bergetar aneh. Wanita itu memandangnya seperti seseorang yang menyimpan rahasia besar di balik senyum ramahnya.
“Selamat datang di rumah keluarga Argantara, Nyonya muda,” sapa Maya lembut. Senyumnya menawan, tapi entah kenapa, Arum merasa dingin menjalar dari ujung jari hingga tengkuknya.
“Terima kasih, Nyonya,” jawab Arum pelan sambil menunduk sopan.
Oma Hartati tersenyum puas. “Mulai sekarang, Arum tinggal di sini. Kalian semua tahu, pernikahan mereka sah di mata hukum dan agama.”
Tuan Argantara mengangguk. “Aku mendengarnya. Semoga pernikahan kalian membawa ketenangan di rumah ini.”
Nada suaranya berat, dalam, dan mengandung sesuatu yang sulit ditebak apakah restu, atau sekadar basa-basi.
Arum menatap pria itu sopan. “Terima kasih, Tuan.”
Di sampingnya, Reghan masih duduk di kursi roda, wajahnya tetap tanpa ekspresi, hanya sesekali memandangi wajah-wajah yang menatapnya. Pandangan matanya berhenti sejenak pada Alena dan Elion. Suasana seketika menegang, tatapan mata mereka bertemu antara Reghan dan Alena.
Ada sesuatu di udara yang membuat Arum menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Ia tak tahu apa hubungan di antara mereka, tapi jelas, tatapan itu bukan tatapan biasa.
Maya cepat memecah keheningan dengan tawa lembutnya. “Mari, kita masuk dulu. Makan malam sudah disiapkan.” Ia melangkah ke depan, mempersilakan mereka masuk.
Arum berjalan perlahan di belakang Oma, sementara dua pelayan mendorong kursi roda Reghan. Setiap langkahnya terasa berat. Tatapan orang-orang di ruangan itu seperti pisau yang mengupas kulitnya perlahan.
Di meja makan besar, suasana tampak hangat di permukaan, lilin menyala lembut, hidangan tersusun rapi, semua terlihat mewah dan sempurna. Tapi di bawah semua itu, Arum bisa merasakan sesuatu yang menekan, seperti udara yang menahan napas.
Tuan Argantara duduk di ujung meja, memimpin jamuan. Di sisi kanan, Maya duduk anggun, sementara Elion dan Alena duduk berdampingan di sisi kiri. Reghan dan Arum ditempatkan berhadapan langsung dengan mereka.
“Bagaimana perjalanan kalian?” tanya Maya dengan senyum palsu yang terlalu manis. “Kau pasti lelah, Arum. Rumah ini besar, tapi jangan khawatir. Semua pelayan siap membantumu.”
“Terima kasih, Nyonya,” jawab Arum sopan.
Elion menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu melirik Arum dengan senyum menggoda. “Kau beruntung, Nona. Tidak banyak wanita yang bisa duduk di sini sebagai Nyonya muda Argantara.”
Nada suaranya halus, tapi mata Reghan menajam tajam, menusuk Elion dalam diam. Alena menimpali lembut, “Benar, banyak wanita akan iri pada posisi sepertimu.”
Ia menatap Arum dalam-dalam, lalu dengan santai menggenggam tangan Elion di atas meja.
“Termasuk wanita yang dulu pernah menantikan kursi itu.”
Arum mengerutkan kening kecil, dia tak mengerti. Sementara Reghan memalingkan wajah, rahangnya menegang, matanya membeku menatap ke arah piring.
Oma Hartati yang memperhatikan semuanya menatap tajam ke arah Alena, lalu berkata dingin, “Makanlah, tidak perlu basa-basi berlebihan.”
Percakapan pun mereda, hanya tersisa denting sendok dan pisau yang beradu pelan. Arum mencoba menelan makanannya, tapi rasanya seperti pasir. Ia sadar, rumah megah ini bukan rumah tapi arena. Setiap senyum di meja itu terasa seperti jebakan.
Malam itu, setelah jamuan berakhir, Oma Hartati menggandeng tangan Arum.
“Nak, jangan biarkan tatapan atau kata mereka menjatuhkanmu. Di rumah ini, semua orang pandai bersembunyi di balik topeng.”
Arum menatap wajah tua itu, suaranya lirih, “Saya tahu, Oma. Tapi bagaimana jika topeng itu adalah satu-satunya yang membuat mereka tampak manusia?”
Oma terdiam, sementara di seberang lorong, Reghan memandangi punggung istrinya yang menjauh, matanya redup dingin tapi dalam.
Rumah besar keluarga Argantara tampak mewah di luar, tapi di dalamnya, setiap cinta menyimpan dendam, dan setiap senyum menyembunyikan luka.
Arum, berbalik setelah berbicara dengan Oma Hartati, dia mendapati Reghan di lorong rumah di tempat semula dia berdiri.
“Aku sudah menyuruh pelayan menyiapkan kamar masing-masing,” suara Reghan terdengar pelan tapi tegas. “Kau tidur di kamar sebelah.”
Arum menunduk sopan. “Baik.”
Ia ingin bicara sesuatu entah berterima kasih, entah sekadar menanyakan keadaan, tapi suara itu seperti tertelan oleh kesunyian. Reghan sudah memutar kursi rodanya, beranjak menuju kamar utama tanpa menoleh lagi. Arum berdiri di sana cukup lama.
Hujan di luar makin deras, menimpa atap rumah dan mengirimkan gema lembut ke seluruh ruangan.
Malam itu, Arum berdiam di kamar barunya, kamar luas dengan balkon yang menghadap taman belakang. Ia membuka jendela, membiarkan angin malam dan aroma hujan masuk. Matanya menatap kosong ke arah pepohonan yang berayun lembut.
Di sisi lain dinding, Reghan duduk di kursi roda di depan jendela kamarnya sendiri. Tangannya menggenggam segelas minuman, matanya menerawang ke luar, memandangi hujan yang jatuh deras. Bayangan masa lalu menari-nari di benaknya, tatapan Alena, suara tawa lembutnya, malam ketika ia berjanji akan menikahinya dan pagi ketika semuanya hancur karena kecelakaan yang merenggut bukan hanya kakinya, tapi juga kepercayaannya pada cinta.
Namun, dia tahu Arum tidak bersalah. Tapi yang membuatnya marah adalah kenyataan bahwa gadis itu menikah dengannya karena uang, bukan karena cinta, bukan karena peduli. Dan itu cukup baginya untuk menolak semua bentuk kelembutan.
Pintu kamarnya diketuk pelan.
“Tuan Reghan...” suara lembut itu terdengar dari balik pintu. “Aku hanya ingin memastikan, apa Tuan sudah ingin tidur?”
Tak ada jawaban, Reghan menggenggam gelas minumannya kuat hingga hampir retak.
“Kalau Tuan butuh sesuatu, aku ada di kamar sebelah.”
Masih hening, beberapa detik kemudian, Reghan akhirnya berkata tanpa menoleh, suaranya datar dan dingin, ketika mendengar suara pintu terbuka perlahan.
“Aku tidak butuh apa pun darimu. Dan mulai malam ini, jangan pernah masuk ke kamarku tanpa izin.”
Suara itu menampar lebih keras dari pukulan. Arum menunduk, menggenggam gaun tidurnya erat-erat.
“Baik, Tuan.”
Ketika langkah kakinya menjauh, Reghan memejamkan mata. Ia menyesal, tapi tak ingin menyesal. Sebab rasa iba bisa berubah menjadi cinta, dan cinta adalah sesuatu yang sudah lama ia kubur.
Malam beranjak larut. Arum masih terjaga, duduk di tepi ranjang sambil menatap cincin di jarinya. Cincin yang tampak berkilau tapi terasa hampa. Ia tak menangis, dia hanya diam, seperti batu yang sudah menerima takdirnya.
Sementara dari kamar sebelah, suara roda kursi Reghan terdengar pelan, dia tidak tidur, hanya menatap foto lama di tangannya, foto seorang wanita tersenyum di tepi danau.
“Cinta itu mati bersamamu, Alena.” gumam Reghan. Di rumah yang megah itu, dua jiwa terkurung di dalam pernikahan tanpa cinta. Satu mencoba bertahan dengan hati yang pasrah, satu lainnya bertahan dengan luka yang menolak sembuh.
secara Revan kan pewaris keluarga besar kamu
daripada nanti arum dapat hinaan lagi
tolong secara diam2 saja reghan
biar arum ga liat wajah kamu,,
kamu jangan memaksa ketemu sama arum yang ada nanti keluarga kamu tau bahwa arum dan anak kamu udah kembali,,
bakalan di hina2 dan di sakiti lagi sama keluarga kamu,,
anggap aja kamu menebus kesalahan kamu ke arum ya dengan cara diam2 kamu memberi donor sum2 ke revan