Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Septian berdiri kaku di atas ubin yang kini terasa begitu dingin, matanya tertuju pada Liliana yang kini berdiri mengenakan gaun pengantin putih. Bukan wajah itu yang ia bayangkan dan bukan senyum itu yang ia harapkan. Hatinya seperti diremas mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Liliana tadi.
“Kamu keterlaluan, Lili...” suaranya bergetar, menahan amarah dan kekecewaan yang bertumpuk. “Aku percaya sepenuhnya sama kamu. Aku pikir kamu bantu aku untuk memperbaiki semuanya... tapi kamu malah rusak semua yang tersisa antara aku dan Riana.”
Liliana menatapnya, napasnya berat, namun senyumnya tetap dipaksakan. “Aku cuma ingin kamu, Tian. Kalau bukan begini caranya, aku gak mungkin bisa memilikimu.”
“Kamu gila!” Septian menggeram. Ia melangkah maju, wajahnya penuh luka. “Dulu aku pikir aku telah membuat keputusan benar dengan membelamu bahkan menyalahkan istriku, tapi sekarang aku sadar... yang aku lindungi selama ini egoku dan kebohonganmu!”
“Tian!” Liliana berseru, matanya mulai berkaca. “Kamu pikir aku gak tahu selama ini kamu masih mikirin dia? Kamu masih berharap dia datang, kan? Tapi kenyataannya, dia gak bakal pernah datang! Karena kamu sendiri yang buat dia pergi!”
Kata-kata itu menusuk. Seolah udara di dada Septian habis tersedot keluar. Ia menatap Liliana tajam, namun di balik tatapan itu, ada kepedihan yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Jadi... kamu tahu semuanya dari awal,” suaranya kini pelan, lirih seperti pecah. “Kamu tahu aku menunggu Riana, tapi tetap biarkan ini terjadi. Kamu biarkan aku berharap pada kebohonganmu.”
Liliana menunduk, tapi tidak menjawab.
Septian mengingat lagi tentang dekorasi megah, bunga putih, cahaya lampu yang berkilau. Kini semuanya terasa hampa. Yang ia bayangkan di tempat Liliana berdiri adalah Riana dengan mata hangatnya, senyum lembutnya, dan suara yang dulu menenangkan hatinya.
Air matanya jatuh tanpa suara. “Aku bodoh...” katanya nyaris berbisik. “Aku kehilangan dia... karena percaya sama kamu.”
“Tian, jangan bilang begitu,” Liliana melangkah mendekat, mencoba menggenggam tangannya, tapi Septian menepis kasar.
“Jangan sentuh aku!” suaranya pecah. “Kamu gak tahu... kamu gak tahu seberapa besar aku menyesal sekarang. Kalau aku bisa memutar waktu, aku lebih memilih gak kenal kamu, Lili.”
Liliana menatapnya tak percaya. “Tian...”
Septian menarik napas dalam, menatapnya tajam. “Dengar baik-baik, Lili. Aku masih menunggu Riana selesai masa idah. Dan bagaimanapun kamu memaksa, aku tidak akan pernah menikah denganmu.”
Nada suara Septian berat, tapi setiap katanya penuh penyesalan dan kemarahan yang nyaris pecah.
Liliana menggigit bibirnya, air mata menumpuk di pelupuk. “Aku tidak peduli, Tian! Semua sudah terjadi seperti ini!” serunya parau. “Kalau kamu batalkan acara ini sekarang, perusahaanmu akan menanggung kerugian besar! Dan ibumu, ibumu pasti tidak akan terima! Kamu tahu sendiri, bukan? Kamu tahu persis bagaimana akhirnya kalau kamu mundur sekarang!”
Namun Septian hanya diam. Rahangnya menegang, pandangannya menusuk tajam ke arah Liliana. “Jadi ini tujuanmu dari awal? Menjeratku dengan rasa bersalah dan ancaman?” katanya lirih, matanya mulai basah. “Kamu pikir aku akan bertahan karena takut? Tidak, Lili... aku sudah cukup hidup dalam kebohonganmu.”
Hening sesaat. Napas mereka sama-sama berat, dan ketegangan di antara keduanya terasa seperti dinding yang nyaris runtuh.
Lalu pintu terbuka, seorang petugas pernikahan masuk dengan wajah canggung.
“Maaf, Pak, Bu... semua tamu sudah menunggu di aula. Acara siap dimulai.”
Septian terdiam, menatap kosong ke arah pintu yang kembali tertutup. Ia merasa dadanya semakin sesak, seperti dunia memaksanya untuk tetap melangkah ke arah yang salah.
Liliana memanfaatkan jeda itu. Suaranya terdengar tenang, tapi di baliknya terselip kepanikan. “Semua keputusan ada di tanganmu, Tian,” ujarnya perlahan, matanya menatap penuh perhitungan.
“Kalau kamu hancur... bagaimana kamu akan mencari Riana? Bahkan kalau pun kamu bisa bertemu dengannya lagi, kamu sudah tidak punya apa-apa untuk ditawarkan.”
Kalimat itu menghantam keras. Septian menunduk, menatap jemarinya yang mengepal gemetar. Antara amarah dan rasa bersalah, hatinya terasa kian hancur.
“Lakukan sesukamu! Karena setelah acara ini selesai aku akan mecari Riana,” suaranya berat, parau, lalu ia berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Liliana hanya menatap punggungnya yang menjauh, lalu tersenyum puas. “Kita memang belum menikah, Tian,” ujarnya pelan namun penuh kemenangan, “tapi identitas ini akan jadi milikku. Tunggu saja… setelah masa idah Riana berakhir, aku pastikan buku nikahmu akan memajang fotoku di dalamnya.”
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️
kdang gmes sm riana yg lmah bgt....
yg kuat dong,tgas gt...jgn dkt2 nangis....