Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
“Dasar pembunuh! Kembalikan hidup putraku!”
Suara Bu Elia pecah, tajam menembus dinding rumah duka yang dipenuhi isak dan doa. Tubuh tuanya gemetar ketika tangannya berulang kali menghantam pundak Shanum yang terkulai lemah.
Air mata Shanum mengalir tanpa henti, menetes ke lantai yang dingin, menyatu dengan serpihan hatinya yang ikut remuk. Di hadapannya, tubuh Alvin terbujur kaku, dibalut kain kafan putih yang begitu menyilaukan, terlalu putih untuk sebuah perpisahan yang kelam.
Baru satu jam yang lalu, suaminya itu menatap sambil tersenyum, memegang tangannya, dan berjanji akan pulang cepat setelah membeli bubur yang ia inginkan. Satu jam. Hanya sesingkat itu kebahagiaan berubah menjadi duka yang mematikan napas.
“Mas Alvin, kenapa tinggalkan aku?” Suara Shanum parau hampir tak terdengar, jemarinya gemetar menggenggam tangan yang kini dingin dan kaku.
Di luar sana, suara hujan mengguyur pelan, seakan ikut menangisi kepergian Alvin. Aroma tanah basah bercampur dengan bau kapur barus dari kain kafan, aroma yang menandai akhir dari segala harapan Shanum.
“Gara-gara kamu minta dibelikan bubur ayam Mang Bejo, Alvin kecelakaan! Kamu harus tanggung jawab, Shanum!” Bentakan Bu Elia kembali menghujam, setiap katanya seperti pisau yang menusuk dada wanita itu.
“Dasar wanita manja! Suka memanfaatkan kebaikan Kak Alvin. Ngidam bubur jauh-jauh! Apa bedanya dengan yang di dekat rumah, hah!” Alana, adik iparnya, menoyor kepala Shanum dengan tatapan yang menyala oleh kebencian.
Shanum menunduk. Ia tak melawan. Tak mampu.
Air matanya jatuh di punggung tangannya yang beku, membentuk genangan kecil yang tak sanggup membangunkan pria itu kembali.
Jika waktu bisa berputar, tentu saja Shanum akan menahan lidahnya, menahan keinginannya, menahan segala hal yang membuat Alvin harus keluar rumah pagi itu.
Alvin adalah segalanya bagi Shanum. Lelaki yang tak pernah meninggikan suara, yang selalu menatapnya dengan penuh kasih meski Shanum terkadang manja dan rewel karena kehamilan. Tiga tahun mereka menunggu hadirnya buah hati, dan baru kali ini kebahagiaan itu datang. Alvin begitu bahagia sampai setiap ngidam kecil Shanum dianggapnya sebagai berkah.
Namun berkah itu berubah jadi kutukan. Hanya karena semangkuk bubur ayam yang paling enak di kota itu.
Kecelakaan tabrak lari itu terjadi begitu cepat. Terjadi di zebra cross dekat gerobak Mang Bejo yang ramai, saat Alvin sedang menyebrang. Tak ada saksi yang sempat mencatat plat nomor, hanya warna mobil hitam yang melintas seperti bayangan maut.
Ketika Shanum melihat tubuh Alvin dibawa ke rumah dengan ambulans, dunia seperti berhenti berputar. Suara sirine masih menggema di telinganya, bahkan setelah mobil itu pergi. Ia berjalan terseok menuju pintu, tubuhnya lunglai, perutnya terasa menegang, tetapi tak seorang pun menolong. Semua tatapan hanya berisi penilaian, tuduhan, dan kebencian.
Di rumah duka, banyak yang datang melayat. Tapi tidak ada yang menatap Shanum dengan iba.
Bisik-bisik tetangga terdengar seperti racun.
“Kasihan Bu Elia, Alvin mati gara-gara istrinya sendiri.”
“Kalau bukan karena dia ngidam, Alvin pasti masih hidup.”
Kata-kata itu menggema di kepala Shanum, membuat dadanya sesak. Napasnya memburu, tapi ia menahan tangis sekuat tenaga.
Shanun hanya duduk di pojok ruangan, menggenggam jaket hitam milik Alvin. Jaket itu masih beraroma parfum khas suaminya. Wangi yang dulu membuatnya tenang, kini hanya membuatnya semakin hancur.
“Kamu tidak boleh ikut ke pemakaman!” suara Bu Elia memecah keheningan.
Shanum mendongak, tetapi tidak berkata apa pun. Bibirnya bergetar, tak ada kata yang bisa keluar. Ia hanya menunduk, memeluk perutnya yang besar, tempat bayi mereka tumbuh. Satu-satunya alasan baginya untuk tetap bertahan di dunia yang sudah tak berpihak.
“Mas, apa yang akan terjadi padaku setelah ini?” batin Shanum lirih.
“Kamu sudah tidak ada untuk membela aku, untuk menenangkanku. Siapa lagi yang akan memelukku ketika dunia menuding aku seperti ini?” lanjut Shanun dalam hatinya.
Hening. Tak ada jawaban. Hanya suara azan Zuhur yang terdengar dari masjid ujung jalan, menyeru ke langit seolah mengantarkan ruh Alvin pulang.
Para pria mulai mengangkat keranda.
Suara kayu bergesekan dengan lantai, langkah kaki terdengar berat. Shanum ingin berdiri, ingin melihat suaminya terakhir kali, tetapi kakinya gemetar. Ia berpegangan pada dinding, tangan satunya memegangi perut.
“Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku jatuh sekarang,” gumam Shanum.
Namun, tubuh Shanum tak sanggup lagi. Bayi di dalam perutnya bergerak kuat, seolah ikut merasakan guncangan duka sang ibu.
Rasa ngilu menjalar dari pinggang ke perut bawah.
“To-long ...!” Suara Shanum serak, tangannya terulur lemah, mencoba meraih seseorang. Namun, orang itu malah menjauh, pura-pura tidak mendengar.
Shanum akhirnya jatuh berlutut, memeluk perutnya dengan linangan air mata. Sementara itu, suara tahlil dan takbir pengantar jenazah semakin jauh, meninggalkannya sendirian di tengah rumah yang kini sepi.
“Nak, tenanglah. Ibu masih di sini. Walau ayahmu sudah pergi, Ibu akan tetap menjagamu," ucap Shanum bermonolog dengan suara nyaris tak terdengar, sebelum pandangannya gelap.
Ketika kesadaran kembali, suara tangisan Bu Elia sudah memenuhi ruangan. Shanum membuka mata perlahan. Cahaya menembus jendela, menimpa wajahnya yang pucat. Napasnya berat, kepalanya berdenyut. Ia baru sadar telah pingsan hampir dua jam.
Suara langkah-langkah orang mulai berkurang, satu per satu pelayat pulang. Shanum menatap foto Alvin begitu lama, air matanya kembali jatuh tanpa henti.
“Mas Alvin ... aku janji, aku akan membesarkan anak kita. Tapi aku tidak tahu, bagaimana caranya hidup tanpa kamu.”
Kata-kata itu tenggelam dalam tangisnya sendiri. Tangis yang tidak hanya kehilangan, tetapi juga rasa bersalah yang takkan pernah bisa ditebus oleh waktu.
Bu RT bersama beberapa ibu-ibu sibuk menyiapkan hidangan untuk tahlilan sore nanti. Di antara keramaian itu, hanya ada satu sosok yang berdiri terpaku di sudut ruang tamu, dialah Shanum.
Sejak pagi, Shanum merasa ada sesuatu yang ganjil. Biasanya, para tetangga selalu menyapanya ramah, bercanda ringan, bahkan sering menitipkan anak kecilnya di warung kecil miliknya. Namun, hari itu, semua wajah seolah berubah menjadi topeng asing yang menolak untuk mengenalnya.
Tak ada sapaan, tak ada senyum. Hanya tatapan dingin yang seolah menelanjangi dosanya.
Shanum mencoba mendekat. “Bu RT, apa ada yang bisa aku bantu?” Suaranya lirih tapi tulus.
Wanita setengah baya itu menoleh sekilas, bibirnya mengerucut dingin. “Tidak ada,” jawab Bu RT singkat, lalu berbalik seolah keberadaan Shanum hanyalah sesuatu yang tak perlu diperhatikan.
Shanum menunduk, menatap jemarinya yang gemetar. Di dadanya, rasa sesak makin menebal. Hatinya memohon, semoga semua ini hanya sementara, hanya karena suasana duka. Akan tetapi kenyataan justru menamparnya lebih keras. Semua orang seolah telah sepakat memusuhinya.
Menjelang sore, tahlilan dimulai. Doa-doa dilantunkan, suara para lelaki menggema lembut di ruang tamu. Shanum duduk di pojok ruangan, memegangi perutnya yang makin membesar. Dari sela isak tangis, ia menatap foto Alvin yang diletakkan di meja kecil. Senyum pria itu di foto terasa begitu hidup, begitu hangat. Kontras dengan udara dingin yang membekukan hati Shanum sore itu.
Perut Shanum keroncongan. Seharian belum ada sesuap pun makanan masuk ke mulutnya. Pagi tadi ia sempat memasak nasi dan oseng-oseng sederhana untuk keluarganya. Namun, sejak mendengar Alvin kecelakaan, selera makannya hilang bersama semangat hidupnya.
Perlahan Shanum berjalan ke dapur, berharap bisa meneguk sedikit air atau mencicipi makanan sisa. Tapi pandangan matanya langsung kosong ketika melihat meja makan.
Di sana, Bu Elia dan Alana baru saja selesai makan ayam goreng yang masih berbau hangat. Bekas tulang berserakan, piring berminyak, dan aroma sambal yang tajam menusuk hidungnya. Akan tetapi, tidak ada sepiring pun yang disisihkan untuknya.
Air mata Shanum jatuh tanpa ia sadari. Ia berdiri diam cukup lama sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, dengan suara yang bergetar, “O, iya, Bu. Mas Alvin dimakamkan di mana?”
Tatapan Bu Elia berubah garang. “Buat apa kamu tanya-tanya?! Dasar pembunuh!” Suaranya melengking, membuat tubuh Shanum seakan tertusuk dari dalam.
“Aku cuma ingin tahu, Bu. Di mana suamiku dikuburkan. Agar nanti aku bisa pergi ziarah,” balas Shanum, menahan isak yang hampir pecah.
“Aku haramkan kamu berziarah ke makam putraku!” teriak Bu Elia lantang, wajahnya merah padam karena amarah.
“Astaghfirullah, Bu. Mas Alvin itu suamiku. Aku juga ingin berdoa untuknya.” Suara Shanum makin pelan, nyaris tak terdengar.
“Dasar tidak tahu diri!” Alana berdiri, jarinya menuding tajam ke wajah Shanum. “Pergi kamu dari sini! Kamu bukan siapa-siapa kami!”
“Benar kata Alana!” timpal Bu Elia. “Kamu bukan keluarga kami! Cepat pergi sebelum kami jebloskan kamu ke penjara atas tuduhan pembunuhan!”
Bagai petir menyambar di siang bolong, kata-kata itu membuat Shanum membeku. Napasnya tercekat, matanya membesar menatap dua orang yang dulu ia panggil keluarga.
Rumah ini tempat ia tertawa, menangis, dan membangun mimpi bersama Alvin, kini berubah menjadi neraka. Bahkan mertua dan iparnya tidak segan-segan melemparkannya keluar tanpa belas kasihan.
Shanun ingin menjelaskan, ingin membela diri, tetapi suaranya lenyap di tenggorokan. Hanya air mata yang berbicara.
Tangan Bu Elia yang gemetar karena emosi menarik lengannya dengan kasar.
“Keluar!”
Alana ikut mendorong dari belakang. Tubuh Shanum yang lemah dan hamil besar tak mampu melawan. Ia terseret hingga teras, lalu terhuyung ketika tubuhnya didorong keras ke arah paving blok.
Refleks, Shanum memeluk perutnya. Ia jatuh tersungkur, kedua tangannya lecet, darah merembes di kulitnya, tetapi ia tak peduli. Yang ia pikirkan hanya satu, yaitu melindungi bayi di rahimnya.
“Bu ... tolong! Jangan usir aku. Aku sedang mengandung cucumu.” Suara Shanum pecah, penuh rasa takut dan keputusasaan.
Dari balik pintu yang baru saja dikunci rapat, terdengar suara tawa sinis.
“Persetan dengan anakmu itu! Aku tak mau mengakuinya sebagai cucuku!” jerit Bu Elia.
Kata-kata itu bagai pisau dingin yang menembus jantung Shanum. Ia menatap pintu yang kini menjadi batas antara kasih yang pernah ada dan kebencian yang kini menelan segalanya.
“Bu, Mas Alvin pasti sedih kalau tahu aku diusir seperti ini.” Suara Shanum hampir tenggelam dalam tangis.
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara kunci yang diputar, tanda tak ada lagi tempat baginya di rumah itu.
Shanum terisak. Ia duduk di teras, menatap kosong ke halaman yang mulai gelap. Angin malam berubah dingin menusuk, membawa suara serangga dan kesepian yang menyesakkan dada.
Dalam hening, Shanum berbisik lirih, “Mas Alvin, aku lelah ... aku takut, tapi aku janji akan menjaga anak kita walau dunia ini menolakku.”
Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah dari dalam. Hati Shanum berdebar mengira Bu Elia menyesal atau mungkin Alana sadar dan ingin membantunya. Akan tetapi, harapan itu hancur seketika.
Sebuah ember berisi air dingin disiramkan tepat ke tubuh Shanum. Suara tawa nyaring Bu Elia menggema dari balik pintu.
“Rasakan itu! Pergi dari sini! Jangan pernah injakkan kakimu lagi di rumah ini!”
Air membasahi tubuh dan wajah Shanum, bercampur dengan air mata yang tak lagi bisa ia bedakan. Malam turun perlahan, membawa hawa dingin yang menggigit tulangnya.
Shanum memeluk perutnya, menggigil, tak tahu harus ke mana. Jalanan mulai sepi, lampu-lampu rumah tetangga satu per satu padam.
Shanum menatap langit yang kelam. Langit yang dulu jadi saksi doanya bersama Alvin, kini hanya menjadi saksi kesendiriannya.
“Ya Allah, aku mohon lindungi aku dan anakku. Jika ini ujian, tolong kuatkan aku, karena aku tak tahu lagi bagaimana caranya bertahan.”
Di bawah sinar lampu jalan yang temaram, Shanum berjalan sendirian, basah, lelah, dan patah. Tak ada tempat yang bisa disebut rumah lagi. Hanya bayi di dalam rahimnya yang kini menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan hidup. Untuk dirinya dan untuk cinta yang sudah terkubur bersama suaminya.
"Aku harus pergi ke mana? Adakah orang yang menolong aku?" Shanum berjalan tak tahu arah.
***
Assalammualaikum, aku buat karya baru untuk lomba dengan tema ibu susu. Akan banyak plot twist dalam cerita ini. Dan pastinya mengaduk-ngaduk emosi. Siapkan hati.