Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Suasana di dalam mobil awalnya terasa hangat. Hembusan pendingin udara menyejukkan, aroma pengharum ruangan bercampur dengan wangi parfum Erika yang kuat.
Vandra sempat tersenyum kecil, mengira perjalanan ini akan menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hubungannya dengan anak-anak. Namun, suasana itu perlahan berubah saat suara lembut Erika memecah keheningan.
“Vero, sekarang kelas berapa?” tanya Erika sambil menoleh, senyum di bibirnya terlihat manis tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.
“Kelas empat, Tante,” jawab Vero sopan, lalu merangkul Axel agar duduk manis di kursinya. Nada suaranya tenang, tapi matanya waspada, seolah tahu percakapan ini tak akan berakhir baik.
“Kok panggil Tante? Panggil Mama atau Mami, dong,” ujar Erika dengan nada manja yang dipaksakan. “Aku, kan, istri Ayah kamu. Itu berarti sama dengan ibumu”
Vero menatap tajam, bibirnya mengatup rapat sebelum akhirnya ia menjawab dengan suara bergetar menahan kesal, “Hanya Bunda Alya yang pantas jadi ibuku.”
Vandra yang mendengar itu spontan menoleh sekilas dari balik kemudi. Tatapannya tegas, tapi di dalamnya ada perasaan campur aduk antara kecewa dan bingung.
“Vero, jangan begitu!” kata Vandra mencoba menengahi. “Bagaimanapun juga dia adalah ibu kamu.”
“Aku tidak mau!” balas Vero dengan suara meninggi, wajahnya merona merah karena amarah yang tertahan.
Kedamaian yang Vandra bayangkan di awal perjalanan sirna begitu saja. Bayangan tawa anak-anak di taman, makan siang bersama, atau foto keluarga di depan kebun binatang kini terasa seperti ilusi yang hancur.
Erika menyandarkan punggungnya ke jok, mendengus sinis. “Anak keras kepala,” gumamnya pelan, namun cukup keras untuk didengar Vero.
Mobil berguncang sedikit saat Vandra menekan rem. Ketegangan di dalam kabin makin terasa.
Axel yang sejak tadi asyik dengan mobil-mobilannya, tiba-tiba melempar mainannya ke arah Erika dengan gerakan spontan.
“Awwww!” teriak Erika sambil memegangi kepalanya. Mobil mainan itu jatuh ke lantai di dekat kakinya. “Anak kamu nakal, Mas! Dia melempar mobil ke kepala aku!”
Vandra menoleh cepat, sementara Erika menatap ke belakang dengan tatapan membara. Axel yang kecil hanya bisa menangis ketakutan.
“Kalian jahat!” pekik Vero sambil memeluk Axel erat-erat. Tangannya yang kecil mengusap punggung adiknya yang gemetar.
“Adik kamu itu yang nakal dan tidak tahu sopan santun,” balas Erika dengan nada tajam.
Vandra menarik napas panjang, menepikan mobil di bahu jalan. Suara deru kendaraan lain melintas menambah suasana tegang di antara mereka.
“Adik, jangan nangis. Tante tidak akan galak, kalau kamu jadi anak baik,” ucap Vandra mencoba menenangkan Axel, meski suaranya sendiri terdengar lelah.
Vero mengusap air mata di pipinya. “Sebaiknya kita kembali pulang saja, Yah,” ujarnya lirih tapi penuh ketegasan.
“Apa?!” Vandra menaikkan nada suaranya. “Kita baru berangkat!”
“Heh, bocah! Apa kamu tahu?! Ayahmu sengaja nyewa mobil ini buat ngajak kalian jalan-jalan biar senang. Tapi kelakuan kalian malah begini! Tidak menghargai orang tua,” bentak Erika dengan mata melotot. Tangannya bahkan hampir menunjuk wajah Vero.
Vero menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendesak keluar. “Kita berdua tidak minta ini! Jalan-jalan di alun-alun kota saja sudah cukup bagi kita,” ucapnya, suaranya bergetar tetapi tegas.
Kalimat itu menampar Vandra. Ia menatap ke depan tanpa bicara, jemarinya mengepal di atas setir.
Axel yang menangis semakin keras kini hanya bisa memanggil-manggil ibunya.
“Buna... Buna...!” jerit Axel, wajah mungilnya basah oleh air mata.
Alya, nama itu menggema di dalam kepala Vandra seperti dentuman berat yang menampar nuraninya. Ia menatap kaca depan mobil yang kini terasa buram.
“Antarkan kita pulang, atau aku akan turun di sini!” ucap Vero dengan nada menantang.
Suasana membeku. Erika melipat tangan di dada, Vandra terdiam. Udara di dalam mobil terasa sesak, seolah oksigen menghilang bersamaan dengan tawa yang dulu pernah mereka miliki.
“Bagaimana kalau kita main di rumah Opa saja?” akhirnya ucap Vandra pelan, mencari jalan tengah. Ia tidak mau anak-anaknya trauma, tetapi juga tidak ingin terlihat kalah di depan Erika.
Vero tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, melihat bayangan pepohonan berlari di kaca mobil. Ia tahu kenapa ayahnya tidak mau langsung mengembalikannya ke rumah. Vandra takut kehilangan kesempatan berikutnya untuk mendekat.
“Dasar bocah-bocah nakal!” batin Erika menahan rasa kesal.
Akhirnya, mobil berbalik arah menuju rumah Papa Indera. Tak ada percakapan lagi. Hanya suara mesin dan napas tertahan. Axel tertidur di pelukan Vero, masih sesekali terisak kecil.
Ketika mobil masuk ke halaman rumah besar itu, pintu gerbang sudah terbuka. Namun, suasananya sunyi, seolah menandakan sesuatu akan terjadi.
Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka dan seseorang keluar dengan langkah terburu-buru. Zara muncul, wajahnya terkejut begitu melihat mobil asing berhenti di depan rumah.
“Tante!” teriak Vero lewat jendela kaca.
“Loh, Vero?!” seru Zara, bingung.
Namun, keterkejutannya berubah menjadi kebencian saat melihat siapa yang duduk di kursi depan. Erika membuka kaca jendela mobil dan tersenyum sinis.
“Ngapain kamu datang ke sini?” bentak Zara, suaranya bergetar karena emosi yang mendidih.
Erika mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Sungguh tidak sopan,” katanya dengan nada mengejek. “Apa orang tua kamu tidak mengajari sopan santun?”
Kata-kata itu seperti bahan bakar di atas api. Zara kehilangan kendali. Dalam sekejap, ia menarik rambut Erika dengan kasar. Jeritan melengking memecah udara.
“Aaaa! Lepaskan! Sakit!” Erika menjerit, mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Zara kuat.
“Kamu tuh yang nggak dididik orang tua yang bener! Sudah merusak rumah tangga orang lain!” teriak Zara, wajahnya merah karena marah.
Vandra panik, turun dari mobil dan berusaha memisahkan mereka.
“Zara, cukup! Erika, berhenti!” Suara Vandra keras sedikit panik. Ia menarik bahu keduanya dengan susah payah.
Sementara itu, Vero yang ketakutan segera membuka pintu belakang, menurunkan Axel dari pangkuannya. Anak kecil itu masih menangis, memanggil bundanya. Tanpa pikir panjang, Vero menggendong adiknya dan berlari masuk ke dalam rumah.
Vero merasa kalau ibunya yang bisa membuat keadaan di sini kembali aman dan hatinya merasa tenang.
kalo baca pas lg konflik suka ikutan emosi tp giliran udh manis2 gini suka takut ditamatin sm othornya 😂😂