Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aquarium Pejabat
...Nurhalina...
...────୨ৎ────...
"Kamu tahu apa yang telah kamu lakukan, Muis?" tunjuk Bahlil kepada Muis yang sontak melepaskanku dengan melompat kaget, membuatnya tak sengaja melepaskan lenguhan disertai cipratan benih-benih cinta di atas perutku. "Kalau sampai anak itu hamil, malapetaka akan datang ke rumah ini!"
"Oh, bos! Ta—tapi, itu—"
"Diam! Pergi sana!" potong Bahlil. "Nak, bersihkan dia! Kemudian bawa ke kurungan!"
"Iya, Pa!" jawab Ndaru. "Memang kenapa, Pa? Kok dia gak boleh hamil?"
"Entah, lah. Tapi mbah Cipto bilang kita harus hati-hati sama dia." kata Bahlil sambil memperhatikan butiran lendir yang mengucur dari kedua pangkal kakiku. "Cepat, bawa mandi sanda. Papa udah jijik!"
"Emang goblok, si Muis, Pa. Kekar doang tapi lemah, gitu doang udah moncrot!" timpal Ndaru sambil geleng-geleng kepala.
Aku dibawanya kembali menuju kamar mandi di mana tadi pagi aku membersihkan diri. Masih sama seperti tadi, angin berhembus dari ventilasi memberikan kesejukan di tubuhku dan airnya masih sangat dingin seperti es. Namun bedanya, kali ini Ndaru ada di dalam. Bersamaku.
Dia membersihkan tubuhku yang ternodai olehnya tadi. Mengusap setiap jengkal tubuhku dengan busa yang begitu banyak, dan dia melepaskan kecupan berkali-kali di pipi, leher dan hampir seluruh tubuh bagian atasku.
Jujur, dingin yang aku rasakan seketika memudar, ketika tangan-tangan itu mulai menjelajahiku kembali.
"Apa pun yang terjadi, aku tak peduli cantik!" bisiknya ke telingaku sebelum di lahapnya dengan lembut.
Jari-jarinya mencari jariku, kedua tangan kita bersatu dan dia menghimpitku ke tembok. Punggungku terasa hangat dipeluknya, begitu pun Ndaru yang ikut basah setelah menyentuh kulitku yang penuh dengan busa.
Telapak tanganku menempel di tembok abu-abu ini, ditindih oleh tangan lebar, besar, dan kuat. Sedangkan sesuatu yang keras kurasakan sedang memasukiku dari belakang.
Sakit kembali kurasakan berakar dari pinggang hingga ke ubun-ubun. Ndaru mendorongnya kuat-kuat, membuatku mengejang hebat. Aku tak tahu ini perasaan apa, tapi aku tak berontak sama sekali.
Apa aku menikmatinya?
Enggak.
Kamu lagi diculik, Nur.
Ingat, kamu akan dijadikan tumbal mereka.
Tak sampai 5 menit kami pun terjuntai ke lantai dengan kaki terlempar kedepan. Aku memeluk lututku, sedang Ndaru mengambil air di Bak mandi dengan gayung kemudian menyirami tubuh kami berdua yang belepotan cairan putih.
Aku lemah, suaraku serak, meski belum kembali, dadaku sesak, nyeri di semua badan dan air mataku mulai mengantong di kelopaknya.
"Ayo, cantik." Tangan Ndaru meraihku, mengajakku berdiri dengan sopan, dan kami keluar.
...ᯓᡣᯓᡣᯓᡣᯓᡣ...
Ada puluhan kerangkeng di halaman belakang rumahnya, mirisnya semua kerangkeng itu berisikan wanita dan sepertinya aku lah yang paling muda di antara penghuni di sini.
Anehnya lagi, mereka semua tak satu pun yang berbicara dengan normal. Ada yang menirukan suara lolongan anjing, kucing, burung, dan hewan lainnya. Dan aku.... Entah, masih belum bisa berbicara.
Aku juga berada di kerangkeng, ini cukup luas di bandingkan dengan kurungan yang ada di dukun itu. Ada tempat makan dan minum di pojok, dan aku bisa melihat penghuni lainnya dari jeruji besi ini.
Ada satu penjaga gendut yang sedari tadi mondar-mandir membawa setrum dan sesekali menyodorkannya ke besi-besi jeruji yang di rasa sering berteriak memekakan telinganya.
Tanpa sadar, dia sudah memperhatikanku dan berjalan menuju ke sini. Bahkan aku tak berteriak sedikit pun, dan ....
...Ndrrrrrrtttttt...
alat setrum itu menyentuh besi kerangkengku.
Tubuhku bergetar hebat.
Pusing.
Mual.
Lemas.
...Bruuuuggg...
Aku hanya bisa melihat kotak makanku sedekat ini.
Saat aku tersadar, si Gendut sedang mengenakan celana, mengikat sabuk bergesper naga itu dengan kencang membalut pinggangnya.
Sedangkan aku?
Kalau kalian berharap aku diperkosa lagi, lebih baik kalian pergi. Karena aku lelah menahan sakit di seluruh tubuhku.
Aku selamat, aku hanya tertidur sebentar akibat setrum bertegangan tinggi milik si Gembul. Tapi nahas, sepertinya wanita yang berada di kerangkeng sebelahku menjadi sasarannya.
Benar saja, pintu kerangkengnya terbuka dan tampak wanita itu menangis sesenggukan memegangi dadanya. Kakinya basah, berlumuran cairan adiktif, dan sekujur lehernya ada banyak bekas cubitan, sepertinya habis dicubit dengan bibir.
...Klakkkkk Klallllkkkk...
Tampak si gembul kesusahan mengunci kerangkeng, karena perut buncitnya menghalangi penglihatannya.
"Jangan ribut!" bentaknya ke arah wanita lain yang mencoba menjerit histeris. Kali ini wanita yang ada di paling ujung. "Nanti juga kalian bakal dapat jatah masing-masing. Sabar, ya Nona-nona, pangeran harus memulihkan tenaga."
Serius?
Mereka sungguh akan dapat giliran oleh si gembul ini?
Satu, dua, tiga, empat .....
Gila, dengan dua puluh enam wanita?
Salah, dua puluh tujuh, termasuk dengan aku.
Enggak, jangan sampai dia menyentuhku.
Si Gembul kembali duduk dan menyeruput kopi. Sedang wanita yang baru saja digarapnya masih tersedu-sedu membersihkan tubuh yang penuh dengan cairan cinta.
...ᯓᡣᯓᡣᯓᡣᯓᡣ...
Adzan Isya berkumandang, bagaimana caranya aku bisa melakukan ibadah kalau tetap terkurung dalam keadaan tak suci seperti ini. Apalagi dengan pakaian yang sobek-sobek begini.
Belum selesai aku menyesali keadaanku, tiba-tiba sepasang suami-istri datang dengan membawa sekantong keresek merah besar dan berhenti tepat di depan kerangkengku.
"Udin! Tolong bagi-bagiin ini!" pinta Bahlil kepada si Gembul yang dipanggil Udin itu. "Sama, ehhm... Muis sudah saya mutasi, jadi malam ini dia gak bisa jaga. Tolong kamu bersedia lembur dulu, ya, Din. Sampai kita dapat pengganti si Muis."
"Siap, Bos!" sigap Udin sambil membuka kantong keresek, yang ternyata isinya penuh dengan puluhan kotak pembalut. "Memang si Muis dimutasi ke mana, Bos?"
"Biar dia ikut jaga aquarium di pasar malam, karena sekarang tanggal muda, aquarium kita penuh dan butuh tenaga tambahan." timpal wanita bertubuh bangkok dengan rentengan gelang emas di kedua lengannya. Aku rasa dia memang Istri si Bahlil. "Dan sepertinya, kita butuh wanita tambahan dari sini."
"Oh, siap, Nyonya. Apa yang Nyonya perlukan, bilang saja biar saya yang atur."
"Kamu sudah urutkan mereka dari usia yang paling muda kan, Udin?"
"Be—belum, Nyonya. Tadi siang ketambahan penghuni baru jadi belum se—."
"Bodoh!" bentak wanita itu.
"Puan, sudah. Jangan marah-marah terus, nanti cantikmu hilang." rayu si Bahlil. "Lagian, tua-muda itu relatif."
"Maksudnya relatif?"
"Tergantung service, nyatanya Mama udah tua pun masih dapat nilai 9." tatapnya ke arah Udin sambil memberikan isyarat untuk mengangguk. "Kita ambil yang cantik-cantik aja, Ma! Lupakan soal usia."
Mereka menuju kerangkeng paling ujung, dan aku tak bisa lagi mendengar percakapannya dengan jelas. Samar-samar, tapi sudah cukup buatku untuk mencernanya.
Jadi mereka sedang membicarakan Aquarium, aku pun baru tahu kalau di dunia ini memang ada tempat yang seperti itu.
Sebuah tempat hiburan malam yang menyediakan wanita sebagai hiburannya. Dengan tarif yang di bandrol per/jam, si pembeli bebas melakukan apa pun kepada wanita itu. Dan mirisnya, justru klien-klien tempat itu didominasi oleh teman-teman sejawat Bahlil.
Pejabat.