Tumbal Pasung Perjanjian Gaib

Tumbal Pasung Perjanjian Gaib

Saat Aku Diculik

...Nurhalina...

...────୨ৎ────...

Aku enggak tahu ini mimpi atau bukan. Tapi yang jelas, kedua tanganku sedang ditarik seseorang dengan sangat kuat. Aku belum bisa memastikan siapa dia. Penglihatanku gelap, aku enggak bisa melihat sekeliling. Hanya bagian betis hingga pinggangku yang terasa panas akibat bergesekan dengan tanah.

“Errgh!” Aku mencoba berteriak, tapi suara itu hanya menggema di dalam kerongkonganku.

“Diam!” bentak seseorang di telingaku.

“Ha-ha-ha. Hari ini kita dapat barang bagus.” Terdengar suara lain menimpali.

“Si Mbah pasti senang sekali!” sahut suara lainnya lagi

“Tapi, Bos. Kenapa enggak kita perawanin aja dulu cewek ini? Baru habis itu kita taruh ke dukun itu. Sayang banget boss, cantik gini!”

Aku enggak paham apa yang mereka bicarakan dan aku enggak peduli. Yang paling aku inginkan sekarang adalah bisa melihat sekeliling, berteriak, lalu lari secepat mungkin.

Cuma sakit yang kurasakan. Beberapa tangan gempal mereka menjamah seluruh tubuhku tanpa tersisa.

BRUAKKK....

NGIIIIIIING....

Terang. Bayangan putih. Suara keran air mengalir. Dan aku enggak ingat lagi apa yang terjadi malam itu.

Saat terbangun, aku sudah berada di dalam sini, sebuah kurungan berukuran sempit yang tersusun dari besi. Di sudutnya ada segelas air dan sehelai handuk kotor menggantung di pegangan pintu. Seperti kandang hamster, hanya saja ukurannya sebesar tubuh manusia.

Di meja sana, puntung rokok masih mengepulkan asap. Beberapa pakaian dan surban tergantung di dinding, sementara puluhan keris berjajar rapi di dalam lemari kaca.

“Tutupin dulu tubuhmu, Nduk!!” tiba-tiba seorang kakek tua berteriak dari arah lain sambil melemparkan sehelai jarik.

Baru kusadari, sejak tadi aku enggak mengenakan apa-apa.

Kemana perginya pakaianku? Hijabku?Ponselku? Ya, Tuhan. Apakah mereka benar-benar telah menyetubuhiku malam itu?

“Ooohh? Ahhhh. Aaaaargghh? Auuuhhhh?”

Hah, apa-apaan ini? Kemana pula perginya suaraku?

“Haaaa!!! Aaaarhhhh!!! Hieeeeaaaaa!!!”

Kenapa aku enggak bisa bicara?

“Suaramu bakal balik setiap tanggal 11 Jawa, Nduk!” jawab sang kakek, seolah tahu apa yang sedang kurasakan.

Segera kututupi tubuhku dengan kain batik coklat tua itu.

“Arrrggghhh!”

“Jangan berisik!!” teriak sang kakek sambil menggoyangkan kandang besi. Kain yang baru saja kulilitkan di dada pun ikut terjatuh karena aku harus berpegangan pada sisi kandang.

“Makanya diam,” lanjutnya.

Aku enggak bisa melawan. Hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Aku cuma ingin pulang.

TOKK ... TOKK ... TOOKK ....

“Mbah, ini menyan sama dupanya. Sekalian dengan mahar yang kemarin kurang.”

“Tunggu sebentar!”

Si kakek menutupi kandang besiku dengan kain merah, menyembunyikanku.

Aku enggak tahu siapa yang datang. Apakah anak buahnya yang menyiksaku semalam?

Ruangan ini cukup luas. Karpet beludru hijau menutupi lantai. Dindingnya dipenuhi tengkorak kepala kerbau. Bau kenanga menyeruak ke seluruh penjuru. Kakek tua itu mengenakan kalung taring besar dan blangkon batik hitam.

“Masuk!”

KREEEETT ....

Pintu terbuka.

“Assalamualaikum,” ucap seorang pria yang baru masuk.

“Waalaikumsalam. Jadi gimana? Sudah ada perkembangan?” tanya sang kakek.

“Alhamdulillah sudah, Mbah. Saya kembali terpilih sebagai kepala desa. Semua ini berkat bantuan Mbah.”

“Mbah ikut senang mendengarnya. Tapi ingat perjanjian yang sudah kamu buat. Atau ....”

“Tenang saja, Mbah. Saya enggak akan ingkar janji ... He-he-he.”

“Bagus. Jadi, kapan diangkut?”

Kandang besi yang kutempati sedikit bergetar. Apakah mereka akan membawaku?

“Biar anak saya saja yang mengambilnya nanti, Mbah. Kalau begitu, saya pamit dulu. Sekali lagi terima kasih.”

“Hmm!!!”

KLEKKK ....

Kain merah yang menutupi kandang dibuka. Tapi bukan sang kakek yang menariknya.

“Mbah, kenapa tumbal kali ini besar sekali?” tanya seorang pemuda berpostur tinggi, bersarung dan mengenakan kopiah hitam.

“Biasanya cuma ayam jago cemani.”

“Karena keinginan si empunya juga besar. Jadi, korbannya pun harus sepadan,” jawab kakek tua. “Cepat mandikan dia dengan air kembang sebelas rupa, lalu rias dia,” tambahnya.

“Iya, Mbah.”

Meski sedikit lega bisa keluar dari kurungan, tetap saja ada rasa enggak nyaman. Pemuda itu menggandengku melewati jalan di belakang rumah. Kami melintasi bebatuan terjal. Tangannya yang lain menjinjing tas bambu berisi bunga.

Kami berada di atas bukit. Satu-satunya rumah di sini tampaknya hanya milik si kakek. Selebihnya hanyalah hutan jati dan aliran sungai jernih di kejauhan.

Kami tiba di pemandian, sebuah kolam berlumut. Lebih tepatnya, mata air dengan tepian yang dibeton, meski kini tampak retak dan usang. Ada sebuah patung raja memegang gada berdiri di ujung kolam.

“Maaf, Kak. Tapi Kakak harus mandi,” ucapnya sopan.

“Ahhh ... Ahhhhiiiihh?”

Aku masih belum bisa bicara, meski berusaha keras. Enggak. Aku enggak boleh mandi di sini. Tempat ini terlalu terbuka.

“Maaf, Kak. Aku hanya menjalankan perintah Mbah,” pintanya memelas.

“Eeehhh ... Aah... Ahhh!!!” pekikku. Namun ucapanku hanya membuatnya kebingungan.

Ia meletakkan keranjang bambu di tepian, lalu mengambil gayung. “Kakak tenang aja. Ini enggak bakal lama. Airnya bersih, kok. Maaf, ya, Kak ....” ucapnya sambil mencoba meraih kain yang menutup tubuhku.

Jangan. Enggak boleh. Dia enggak boleh memandikanku seperti ini. Ya, Tuhan. Tolong aku.

...BERSAMBUNG...

Terpopuler

Comments

Miu Nih.

Miu Nih.

aku datang untuk pertama kak 🌻 ,, penuh misteri, bikin terkepo-kepo...

dukung karya aku juga ya di alice celestia dalian, sama2 genre horror/misteri,, mohon ulasannya 🤗

2025-04-18

0

arif didu

arif didu

duh kasin bgt si nur

2025-03-15

1

zidan albady

zidan albady

Otw nyimak dl thor sepertiny seruuu

2025-05-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!