Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 01
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan palu dari hakim ketua penanda berakhirnya biduk rumah tangga sepasang suami istri yang baru seumur jagung.
Pihak laki-laki tidak hadir, hanya diwakilkan oleh pengacaranya saja.
Nirma, wanita cantik dengan tinggi badan semampai mulai beranjak dari kursinya, bersama dengan sang pengacara, mereka menunduk hormat sebagai bentuk terima kasih kepada pak hakim beserta jajarannya.
Langkah pastinya melambat dan berakhir gontai, sampai membutuhkan pegangan dari sosok pengacara muda yang sedari awal membantunya agar segera terbebas dari pernikahan tidak sehat.
“Menangislah bila hal itu dapat sedikit melegakan hatimu! Saya akan menunggu di depan,” ucapnya prihatin, lalu melangkah menjauhi lorong sepi.
“Ya Rabb, ajari hamba untuk ikhlas menerima ketentuan-Mu ini.” Tubuhnya luruh, bersandar pada dinginnya dinding tembok.
Nirma menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, menangis tanpa suara sampai bahunya bergetar hebat.
“Maaf Mbak, dulu diriku begitu congkak, bertingkah layaknya wanita murahan, bahkan lebih rendah daripada kupu-kupu malam, tanpa hati merebut tunanganmu, mencoreng kening Mamak dengan arang, menginjak-injak martabat almarhum Bapak … maafkan aku yang sesungguhnya tak layak mendapatkan sebuah pengampunan.” Nirma memukul dadanya yang terasa sesak, menyesali perbuatan bejatnya di masa lalu.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana dulu dirinya begitu tega menyakiti saudari kandungnya yang sudah berkorban besar untuknya, membiayai kuliah sampai jadi sarjana. Begitu lulus, bukan topi toga yang disematkan pada kepala sang Kakak sebagai tanda terima kasih, tapi malah mengabarkan tentang kehamilannya bersama calon suami kakak kandungnya sendiri, Nur Amala.
“Ya Allah ….” Nirma menekuk kedua lututnya, membenamkan wajah pada lipatan kaki.
Rasa bersalah dan berdosa begitu menggerogoti hatinya, meskipun sudah mendapatkan kata maaf dari kedua orang yang ia sakiti dengan begitu hebatnya, tetap saja ia masih berkubang dalam penyesalan tidak bertepi.
“Ima ….”
Sebuah suara bass, rendah nan dalam itu berhasil mengusiknya, ia mendongak menatap sosok pria dewasa yang tidak lagi muda, tatapan mereka saling mengunci, satu memandang sendu, dia sendiri menatap pilu.
“Kamal sudah mulai rewel, sepertinya dia haus.” Sosoknya kembali berdiri tegak, tanpa sedikitpun memutuskan pandangan mereka. “Sudahi kesedihanmu, mulailah kembali menata hidup, tak perlu terburu-buru, tapi tak jua berhenti disitu saja. Kau berhak maju, berdiri dengan kedua kakimu sendiri, Nirma!”
Byakta Nugraha, duda tampan, mapan, hartawan, berumur 40 tahun, berperut sedikit bergelambir dikarenakan malas berolahraga, lebih suka berdiam diri seraya memantau mangsa yang berani mengusik ketenangannya.
Kini targetnya bukan lagi sesama pesaing bisnis ataupun para preman maupun bandit kala berebut lahan kekuasaan, tapi seorang wanita yang baru saja berstatus janda, Nirma.
Nirma mengangguk, kedua tangannya membenahi hijab yang terlihat kusut, lalu berusaha berdiri dengan menekan lututnya sendiri sebagai tumpuan.
“Ini!” Byakta, atau yang sering disapa Juragan itu mengulurkan sapu tangan.
Sedikit ragu Nirma menerimanya, kemudian mulai mengelap wajah yang sudah bersimbah air mata. “Terima kasih, Mas.”
“Hem. Nirma ….” Byakta mengedarkan pandangannya, memastikan bahwa tidak ada yang mencuri dengar, lalu kembali menatap sang wanita. “Saya tahu bila sekarang bukanlah waktu yang tepat, tapi tetap ingin mengutarakan nya … mengenai lamaran tempo hari, apa dirimu tidak mau memikirkannya lagi?”
Nirma gamang, bingung hendak mengatakan isi hatinya, mencoba merangkai kata-kata tanpa menyakiti harga diri pria yang sudah banyak membantunya ini. “Maaf, Mas. Saya belum kepikiran menikah lagi. Hanya ingin fokus membesar Kamal, dan membenahi diri agar pantas kembali ke kampung halaman, biar bisa hidup berdampingan dengan Mamak dan Mbak Mala.”
“Namun, saya tidak akan membatasi bila Mas ingin dekat dengan Kamal, pun tentang berperan sebagai bapak angkatnya, telah saya setujui,” tambahnya cepat, agar tidak menyinggung perasaan pria baik hati yang divonis oleh dokter, susah memiliki keturunan.
Senyum masam terbit di bibir berwarna kecoklatan akibat pecandu nikotin, dirinya berusaha menyamarkan raut kecewa dengan ekspresi biasa saja. “Ayo temui anak kita!”
Nirma mengangguk, melangkah lebih dulu. Dirinya tidak mengetahui bagaimana tajamnya tatapan laki-laki di belakangnya seraya menyeringai culas.
‘Tak apa, diri ini masih memiliki seribu cara untuk membuat mu setuju ku nikahi Nirma,’ batinnya berbisik, otaknya memikirkan cara halus sampai kasar, dari yang halal hingga haram, semua akan dia lakukan agar bisa mempersunting ibu dari anak yang telah berhasil menawan hatinya.
Kamal Rashad, bayi yang sangat disayangi oleh seorang tuan tanah kejam, pemilik perkebunan kelapa sawit dan penginapan pinggir pantai.
Dibalik keinginan menggebu-gebu itu, ternyata ada tujuan lebih besar lagi, sampai membuat dirinya begitu berambisi ingin segera memiliki Nirma sekaligus putranya, apa tujuan itu, hanya ia dan Tuhan, beserta orang kepercayaannya lah yang tahu.
.
.
“Anak Ibuk haus ya?” Nirma masuk ke dalam mobil bagian penumpang, mengambil sang anak dalam gendongan wak Sarmi, pengasuh yang dikirim dari kampung halaman ibunya.
Bayi berumur enam bulan itu terlihat tidak sabaran, rautnya sudah memerah siap menangis kencang.
“Putra kesayangan Ayah, sabar sedikit ya Nak!” Byakta mencondongkan badan, posisinya berdiri di tengah pintu mobil terbuka, sedikit membungkuk sampai sisi wajahnya hampir menyentuh lengan atas Nirma, diusapnya lembut pucuk kepala Kamal, bayi itu sibuk mencari sumber makanannya yang masih tertutup sempurna pakaian muslimah sang ibu.
“Keluarlah dulu, biar Kamal bisa tenang menyusu!” titahnya tidak terbantahkan, langsung saja sang sopir beserta pengasuh dan dirinya sendiri keluar, lalu menutup rapat pintu mobil yang terparkir di halaman gedung pengadilan agama kabupaten.
“Sayang, maafkan Ibuk ya! Di usiamu yang masih terlalu dini ini, sudah kehilangan figur ayah kandung. Maaf, Ibuk memilih menyerah mempertahankan biduk rumah tangga bersama bapak mu, Nak.” Nirma mengelus lembut pipi putranya yang tengah menyusu, jarinya meraba bagian bibir sumbing sang anak.
Hatinya begitu nelangsa bila melihat bukti nyata ketidakbecusan nya menjadi seorang ibu, dulu demi menyenangkan suami dan juga ibu mertuanya, dia sampai mengabaikan tumbuh kembang sang janin, berakhir sang anak terlahir sumbing di bagian bibir sebelah kiri.
Selepas menyusui, mobil juragan Byakta mulai melaju kembali ke rumah kontrakan Nirma yang berjarak 15 menit dari gedung pengadilan.
.
.
“Ayah tak mampir dulu?” tanyanya lembut, bila sedang bersama Kamal dan lainnya, maka Nirma akan memanggil juragan Byakta dengan sebutan ‘Ayah’, begitupun dirinya yang di panggil ‘Ibuk’.
“Lain kali saja, Buk. Sedang ada urusan mendadak.” Juragan Byakta memiringkan badan dan mencondongkan tubuhnya ke belakang agar bisa mencium kening Kamal yang sedang tertidur dalam dekapan ibunya.
Nirma pun turun, begitu juga dengan Wak Sarmi. Setelah mobil juragan Byakta sudah melaju jauh, bergegas mereka melangkah hendak masuk rumah.
Kamal diambil alih oleh sang pengasuh, agar Nirma bisa membuka pintu. Saat pintu dibuka, ada amplop lumayan besar dan tebal.
Wanita yang baru saja menjadi janda itu begitu penasaran, langsung saja membungkuk untuk mengambilnya, merobek bagian ujung amplop, mengeluarkan isinya, netranya langsung berembun, hatinya seperti diremas tangan tak kasat mata, ternyata …?
.
.
Bersambung.
Setting tahun 1990-an. Wilayah transmigrasi pelosok Sumatera Utara.
Terima kasih banyak Kak, sudah berkenan mampir ke karya sederhana saya, semoga betah, tertib membaca dari awal hingga akhir 🙏🥰
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆