Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Dua di antara jurus tersebut adalah jurus andalan Surojoyo selama mengarungi dunia Persilatan, yakni jurus Pedang Segoro Geni dan jurus Pukulan tanpo Wujud. Sedangkan ajian Saipi angin adalah ajian meringankan tubuh.
"Ranu, Sekarang sudah saatnya kau mempelajari jurus yang ada di dalam kitab Jurus Dewa Api. Namun Sebelumnya kau harus bisa menguasai tenaga dalam Dewa Api."
Ranubaya mengangguk pelan. Tak terasa sudah tiga tahun lamanya dia berada di dasar jurang angker, dan kini usianya sudah mencapai angka 18 tahun.
"Kakek hanya akan mengajari cara mempelajari cara memaksimalkan tenaga dalam Dewa Api. Setelah kau bisa menguasainya, kau harus belajar sendiri jurus-jurus yang ada di dalam kitab itu."
"Kenapa harus belajar sendiri? Bukankah kakek bisa mengajariku?"
"Apa kau ingin semua ilmu kanuragan yang kakek miliki musnah?""Oh, iya ... maafkan Ranu, Kek. Aku baru ingat kalau jurus yang ada di dalam kitab itu tidak bisa dikuasai sembarang orang," jawab Ranu lalu sambil terkekeh pelan.
"Kau ini bercanda saja, Ranu. Sekarang ikut aku!" Surojoyo berdiri dan mengajak Ranu menuju suatu tempat yang cukup jauh dari gua tempat mereka berdiam selama ini.Beberapa saat kemudian, keduanya sampai di suatu tempat yang berbentuk seperti cekungan namun sangat luas. Di dalam cekungan tersebut, terlihat lava yang membara dan mengeluarkan asap mengepul tebal tiada henti.
"Kau lihat batu yang berada di sana!" tunjuk Surojoyo.
Ranu melihat sebuah batu yang berbentuk lingkaran namun tidak besar dan hanya cukup untuk berdiri saja.
"Ada apa dengan batu itu, Kakek?"
"Kamu ke sana dan makan batu itu!" sahut Surojoyo dengan sedikit kesal.
"Baiklah, Kek. Aku akan meloncat kesana dan mengambil batu itu," jawab Ranu dengan polos. Dia lalu bersiap untuk meloncat namun langsung dicegah Surojoyo."Kau ini dibilang bodoh juga tidak. Dibilang pintar tapi bodohnya luar biasa. Apa kau mau gigimu rompal semua karena memakan batu itu?"
Ranu terkekeh pelan. "Siapa juga yang mau memakan batu itu? Aku hanya mau mengambil batu itu untuk Kakek. Siapa tahu Kakek lagi ngidam."
"Oooh ... Bocah semprul Sontoloyo! Sekarang bukan waktunya bercanda!"
"Bukannya Kakek dulu yang mengajak bercanda, bagaimana sih!?" Ranu membalas dengan gaya cuek.
"Duh Gusti Kang Moho Agung, kenapa Pendekar Dewa Api bisa memilih bocah semprul seperti ini sebagai penerusnya," gumam Surojoyo sambil menepuk jidatnya.
Surojoyo sendiri tentunya sangat heran dengan pilihan Pendekar Dewa Api yang memilih Ranu sebagai penerusnya. Sebab mereka berdua memiliki dua sifat yang jauh berbeda. Pendekar Dewa Api memiliki sifat yang tenang dan berwibawa. Sedangkan Ranu sifatnya konyol dan semaunya sendiri.
Ranu tertawa kecil sambil menutup mulutnya, ketika mendengar Kakek angkatnya menggerutu.
"Sudah, waktunya serius! Apakah kamu sudah menghapalkan cara membangkitkan tenaga dalam Dewa Api?"
Ranu mengangguk pasti.
"Meloncatlah dan berdiri di batu itu. Lalu praktekkan apa saja tahapan untuk membangkitkan tenaga dalam Dewa Api."
Ranu terkejut luar biasa. Dia tidak menyangka jika untuk membangkitkan tenaga dalam Dewa Api saja sampai harus bertaruh nyawa. Dia bergidik ngeri membayangkan jika sampai terjatuh ke dalam lava yang mendidih.
"Kalau aku sampai terjatuh bagaimana, Kek?"
"Ya ... kau akan menjadi seperti bebek hangus,hehehe." Surojoyo terkekeh melihat ekspresi muka yang ditunjukkan Ranu.
"Kalau kau tidak berani, berarti kau tidak pantas menjadi penerus pendekar legendaris tersebut," lanjutnya.
Merasa tertantang, Ranu mengangkat mukanya, "Siapa bilang aku takut!? Kalau aku terjatuh ke bawah, arwahku akan menghantui Kakek seumur hidup, hahaha!"
Tanpa berpikir panjang, Ranu kemudian menggunakan ajian Saipi Angin dan meloncat ke atas batu yang dikelilingi lava panas mendidih.
Surojoyo menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa membayangkan kalau sebentar lagi akan ada pendekar besar yang muncul dan mempunyai sifat yang begitu konyol.
Sebelum berkonsentrasi dengan penuh, Ranu terlebih dahulu menyeimbangkan tubuhnya. Tentu dia tidak ingin direbus hidup-hidup dalam danau lava yang bergejolak hebat.Sesaat kemudian dia menyingsingkan lengan kanannya dan menyilangkan pergelangan tangan kanan yang bergambar ular merah ke dadanya.
Untuk beberapa saat tidak ada perubahan apapun yang terjadi. Namun dalam setengah jam berikutnya, gambar ular merah melingkar yang berada di pergelangan tangan kanan Ranu mengeluarkan sinar terang. Tak lama kemudian sinar terang itu menjadi api yang membara dan seperti membakar seluruh tubuh pemuda tersebut.
Melihat hal tersebut Surojoyo menjadi sedikit ngeri. Dia tidak menyangka proses untuk membangkitkan tenaga dalam Dewa Api akan semengerikan itu.
"Apa Ranu tidak matang jika dibakar seperti itu?"
Tubuh Ranu terus terbakar dengan hebat, tapi yang dirasakannya seperti tidak terjadi apa-apa, sebab dia sedang dalam posisi berkonsentrasi penuh.Di dalam konsentrasinya, Ranu melihat dirinya berada di sebuah kobaran api yang sangat hebat. Dia berusaha menerobos api tersebut untuk mengambil sebuah pedang yang bercahaya sangat terang. Namun anehnya, meski dalam posisi di dalam kobaran api, tubuhnya tidak terbakar sama sekali.
Sebelum mencapai pedang tersebut, muncullah sebuah ular besar yang terbentuk dari api. Ular api itu lalu memberikan serangan kepada Ranu.
Dari mulutnya keluar kobaran api yang menyembur dan terasa begitu panas. Pemuda berusia 18 tahun itu berusaha berkelit menghindar ke samping, namun ekor ular api berhasil menyambar dirinya dengan kecepatan tinggi.
Ranu terlempar jauh ke belakang namun segera bangkit kembali. Dari sudut bibirnya mulai keluar darah segar. Dia lalu berlari menuju pedang tersebut namun kobaran api kembali menghadangnya.
Dengan cepat Ranu meloncat tinggi ke atas untuk menghindari semburan tersebut. Lagi-lagi ekor ular api berhasil menyambar dirinya. Kembali dia terlempar jauh hingga keluar dari kobaran api yang mengelilingi pedang.
Surojoyo masih terus memperhatikan proses yang dilakukan Ranu. Dia sedikit khawatir melihat tubuh pemuda yang diselimuti api itu sedikit oleng dan bergerak gerak.
Menyadari jika ular api itu mengetahui kemanapun dirinya bergerak, Ranu lantas diam dan berpikir, "Aku tidak boleh kalah dari makhluk sialan itu!"
Dia kembali berlari menembus kobaran api, tapi lagi-lagi tubuhnya harus terlempar jauh.
Pemuda tanggung itu mengambil posisi duduk bersila menyeka darah yang mengalir keluar dari sudut bibirnya.
"Buang jauh ambisi yang bersarang di pikiranmu. Ambisi itulah yang akan mengganggu perjalananmu!"
Ranu mendengar suara seorang laki-laki di pikirannya. Dia lalu diam dan mencoba mengartikan arti suara yang didengarnya.
Cukup lama pemuda itu memeras otaknya untuk mencari tahu apa yang dimaksud suara tersebut. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju kobaran api dengan begitu tenang.
Secara ajaib, api yang berkobar seperti tersibak oleh langkah kakinya. Ular api besar yang tadi selalu menghadangnya pun kemudian menghilang masuk ke dalam pedang yang masih menancap di sebuah batu.
Ranu tersenyum tipis ketika sudah sampai di depan pedang. Dia lalu meraih gagangnya dan kemudian menariknya secara perlahan sebelum mengangkatnya ke atas.
Tiba-tiba pedang yang dipegangnya menjadi butiran cahaya dan kemudian masuk ke dalam tubuhnya hingga membuatnya bergetar hebat.