Ariana tak sengaja membaca catatan hati suaminya di laptopnya. Dari catatan itu, Ariana baru tahu kalau sebenarnya suaminya tidak pernah mencintai dirinya. Sebaliknya, ia masih mencintai cinta pertamanya.
Awalnya Ariana merasa dikhianati, tapi saat ia tahu kalau dirinya lah orang ketiga dalam hubungan suaminya dengan cinta pertamanya, membuat Ariana sadar dan bertekad melepaskan suaminya. Untuk apa juga bertahan bila cinta suaminya tak pernah ada untuknya.
Lantas, bagaimana kehidupan Ariana setelah melepaskan suaminya?
Dan akankah suaminya bahagia setelah Ariana benar-benar melepaskannya sesuai harapannya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat
Dan seperti permintaan Monalisa, akhirnya Bu Manisa, ibu dari Monalisa dibawa ke rumah sakit Husada. Sebelum orang-orang mempertanyakan bagaimana ia bisa membawa ibu Monalisa ke rumah sakit itu, Danang sudah lebih dulu beralibi kalau ia tidak sengaja melihat Monalisa berdiri di pinggir jalan mencari taksi yang lewat. Monalisa ingin memesan taksi secara online, tapi ternyata ponselnya dalam keadaan mati. Danang yang merasa mengenal Monalisa sebagai salah satu perawat di rumah sakit Husada lantas menawarinya tumpangan.
Danang bernafas dengan lega saat akhirnya ibu Monalisa sudah berhasil ditangani. Akibat jatuh terpeleset, Bu Manisa mengalami benturan ringan di kepalanya hingga berakhir pingsan. Beruntung tidak berdampak fatal sebab tak sedikit kasus seseorang terjatuh di kamar mandi sehingga mengakibatkan kematian.
Setelah selesai segala urusannya dengan Monalisa dan ibunya, Danang pun segera kembali ke ruang rawat inap Ariana.
Melihat Danang kembali, Giandra melirik sinis.
"Baru pulang, Kak?" sarkas Giandra.
"Iya. Tadi aku ada keperluan sebentar di luar."
"Sebegitu pentingkah urusan di luar itu sampai Kak Danang meninggalkan kak Ana seorang diri? Bahkan makan malamnya pun tidak dipedulikan. Untung saja ada seseorang yang padahal bukan siapa-siapa justru lebih peka terhadap kak Ana. Coba kalau tidak ada, pasti sampai malam kak Ana belum makan," sinis Giandra.
Danang seketika gugup. Ia tidak menyangka adik Ariana akan mencecarnya sedemikian tajam.
"Iya. Tadi ada salah seorang pasien kakak yang bermasalah jadi kakak harus ... "
"Basi. Berhenti beralasan. Apa kau pikir aku percaya? Ingat ini, awas saja kalau kak Danang sampai menyakiti Kak Ana. Kalau itu sampai terjadi, aku akan membuat kakak menyesal!" ancamnya dengan sorot mata tajam dan mengintimidasi.
Danang menelan ludahnya kasar. Kemudian ia tersenyum setelah bisa mengendalikan diri.
"Kau tenang saja, kakak tidak akan pernah menyakiti kakakmu."
Giandra tersenyum miring, "kita lihat saja nanti!"
Giandra yang malas berbicara dengan Danang pun merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang di ruangan itu. Di ruangan itu ada satu sofa berukuran sedikit panjang dan 3 buah sofa single. Lalu ada sebuah kursi yang diletakkan di dekat ranjang.
Melihat Giandra sudah memejamkan matanya membuat Danang bernafas lega. Namun itu hanya sementara, saat menyadari tidak ada tempat yang nyaman untuknya tidur membuat laki-laki itu menghembuskan nafas kasar.
Ariana sudah tertidur lelap. Giandra pun sudah memejamkan matanya.
"Aku tidur dimana kalau begini? Tidak mungkin kan aku mengusir Giandra?"
Danang mengacak rambutnya. Lalu ia menghempaskan bokongnya di salah satu sofa single. Meringkuk ke kanan dan ke kiri, mencari posisi yang nyaman, tapi Danang tak kunjung bisa tidur dengan nyaman. Tubuhnya justru terasa sakit karena tidak bisa merebahkan tubuh dengan posisi semestinya. Diam-diam Giandra yang sebenarnya belum benar-benar tertidur mengulum senyum.
'Rasakan! Salah sendiri datang terlambat. Urusan apa sampai istri sendiri yang sedang sakit pun diabaikan? Awas saja kalau ia berselingkuh di luar! Aku bersumpah akan memberikanmu pelajaran bila itu sampai benar terjadi,' batin Giandra bertekad.
...***...
Pagi ini Dokter Samudera memiliki jadwal kunjungan ke bangsal anak penyintas kanker yang dirawat di rumah sakit itu. Ia ditemani beberapa dokter anak dan dokter spesialis yang bersangkutan serta beberapa publik figur, volunteer, dan para donatur untuk melihat perkembangan pengobatan anak-anak yang dirawat di sana. Selain itu, kedatangan mereka juga untuk menghibur serta menarik perhatian para donatur agar mau menyumbangkan sebagian rejeki mereka untuk pengobatan anak-anak tersebut.
Saat sedang berjalan menuju bangsal anak penyintas kanker, Samudera melewati ruangan rawat inap kelas 1. Namun saat melewati ruangan tersebut, Samudera menangkap sosok seseorang yang begitu ia kenali di salah satu ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat. Dahi Samudera sampai mengernyit saat melihat sosok itu berbincang akrab dengan salah seorang perawat. Bahkan perawat tersebut tanpa sungkan menyentuh telapak tangan seseorang yang tak lain menantunya tersebut.
"Ada apa, Dok?" tanya salah seorang dokter spesialis anak. Dokter spesialis anak itupun sedikit melirik ke arah pintu yang tidak tertutup rapat tersebut.
Samudera tersentak. Kemudian ia menggeleng. "Ah, tidak. Tidak apa-apa."
Dokter spesialis anak yang merupakan junior Samudera di fakultas kedokteran dulu pun mengangguk. Mereka pun kembali melanjutkan langkah mereka menuju bangsal yang dituju untuk melakukan tugasnya.
Menjelang siang, dokter spesialis anak yang sudah berteman cukup baik dengan Samudera pun masuk ke ruangan Samudera.
"Tiada hari tanpa makanan yang dimasakkan istri, hm?" goda dokter spesialis anak bernama Rahman.
Samudera tersenyum, "kau pun sama."
Keduanya terkekeh. Rahman memang membawa makan siangnya ke ruangan Samudera agar mereka bisa makan bersama.
"Btw, kau lihat kan perawat yang tadi berbincang dengan Danang. Apa kau mengenalnya?" tanya Samudera setelah selesai menyantap makan siangnya.
Rahman menyimpan sendoknya ke dalam kotak bekal setelah selesai makan. Lalu menutup kotaknya sambil menghela nafas. Rahman mengangguk, membenarkan.
"Namanya sus Lisa. Nama panjangnya Monalisa," jawab Rahman.
"Interaksi mereka terasa janggal."
Seketika ingatan Samudera terlempar ke masa lalu. Masa-masa bagaimana ia melakukan kesalahan sehingga hampir kehilangan Tatiana. Sebenarnya ia tadi kesal saat melihat Danang sedang berdua dengan perempuan lain yang entah ruangan siapa itu. Tapi ia tidak bisa langsung mengultimatum Danang sebab ia khawatir, ini hanya kesalahpahaman sama seperti saat ia dan Triani dulu yang kepergok berpelukan di ruangannya. Ia harap, ini pun tak jauh berbeda. Bagaimanapun, ia khawatir anak sulungnya disakiti. Bagaimanapun ia sebagai seorang ayah tak ingin anaknya menanggung kesalahannya di masa lalu. Sudah cukup masa lalunya itu membuat Tatiana menderita. Bahkan Ariana pun ikut merasakan dampaknya karena terpaksa terpisah dengan ibu sambungnya.
"Em, maaf, Dok, sebenarnya sudah beberapa kali aku mendengar selentingan kabar kalau sus Lisa kerap menyambangi ruangan dokter Danang. Namun aku belum bisa memastikan hubungan keduanya. Semoga saja hubungan mereka tak lebih dari sekedar rekan kerja."
Makin risaulah Samudera mendengarnya. Ia ketakutan. Benar-benar ketakutan. Dalam Islam memang tidak ada yang namanya karma, tapi tabur tuai ada. Simpelnya hukum sebab akibat. Ia takut, apa yang telah diperbuatnya di masa lalu dengan istrinya justru berbalik dirasakan sang putri.
"Aku akan menanyakannya sendiri apa hubungannya dengan suster itu."
"Yah, sepertinya itu lebih baik. Semoga saja rumah tangga anakmu dan menantu mu baik-baik saja," ucap dokter Rahman yang bisa melihat kekhawatiran di wajah Samudera.
...***...
Ddrrtt ...
"Halo. Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumussalam. Wah, suara kamu kok terdengar adem sekali ya semenjak memanggil ibu dengan benar, bukan mommy lagi. Sepertinya benar, saat kamu kecelakaan, kepala kamu sempat kepentok," ujar seorang yang tak lain adalah Azura tersebut.
Athariq menghela nafasnya, "Ariq nggak ada kepentok apa-apa, Bu. Masa' cuma gara-gara itu ibu mikir aku kepentok. Dokter aja bilang nggak ada masalah dengan kepalaku," jawab Athariq.
"Kamu itu sebenarnya kepentok, Ariq. Cuma ya, nggak sadar aja."
"Oh ya? Tapi aku kok nggak ngerasa, Bu."
"Ya mau terasa gimana, yang kepentok itu bukan benar-benar kepala kamu, tapi otak kamu. Kepentok istri orang, tepatnya." Azura cekikikan sendiri di seberang sana.
"Udahlah, Bu, bercanda melulu sih. Ariq sedang sibuk, nih. Kalau cuma mau gangguin Ariq, mending teleponnya Ariq tutup nih!" sewot Athariq.
"Eh, eh, jangan tutup dulu dong! Ibu aja belum bilang apa tujuan ini telepon," omel Azura.
"Oh, kirain Ariq ibu telepon cuma mau usil doang seperti biasa." Athariq terkekeh.
"Eh, sembarangan. Buat apa coba usilin kamu? Mending ibu telepon ayah daripada usilin kamu, ya."
"Iya, deh, iya. Yang soulmatenya ayah kenapa telepon Ariq jam segini? Ada hal penting kah?"
"Ck, sok sibuk banget sih! Memangnya ibu cuma boleh telepon saat ada yang penting?"
"Ya, nggak. Kan Ariq cuma nanya. Katanya tadi ada yang mau dibilangin."
Terdengar suara decakan dari seberang telepon. Ia yakin, ibunya saat ini sedang mencebikkan bibirnya kesal.
"Nanti pulang lebih awal ya," tukas Azura akhirnya.
"Memangnya ada apa, Bu?"
"Nggak usah pake banyak tanya. Pokoknya pulang lebih awal. Titik."
Tut Tut Tut ...
Mata Athariq seketika membeliak saat panggilan ditutup sebelah pihak oleh sang ini. Baru beberapa detik panggilan ditutup, ponsel Athariq kembali berdering. Sang ibu ternyata menghubunginya lagi.
"Ha---"
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Tut Tut Tut ...
Athariq melongo dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Ternyata ibunya menghubunginya lagi hanya untuk mengucapkan salam.
Athariq lantas terkekeh. Ia sudah tidak aneh lagi dengan sikap ibunya. Dibalik sikap absurd sang ibu, tapi Azura merupakan sosok ibu terbaik bagi ia dan adik-adiknya. Azura memang kerap bersikap menyebalkan, tapi ia tetap ibu yang baik, penuh perhatian dan kasih sayang. Ia bisa menjadi sosok yang tegas dan keras, tapi ia juga bisa menjadi sosok yang manja dan lemah di depan ayahnya. Dan Athariq serta adik-adiknya begitu menyayangi dan menghormati sosok ibunya tersebut.
"Ibu, ibu, ada-ada saja."
Tak mau terlalu memikirkan sebenarnya apa tujuan ibunya menyuruh pulang lebih awal, Athariq pun memilih melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Soale kan kandungan nya emang udah lemah ditambah pula,sekarang makin stress gitu ngadepin mantannya Wira
bukannya berpikir dari kesalahan
kalou hatinya tersakiti cinta akan memudar & yg ada hanya kebencian...