Arumi, gadis yang hampir berusia 18 tahun itu sangat tertarik ketika di jodohkan dengan pria dewasa berusia 32 tahun yang merupakan seorang duda tanpa anak.
Sungguh perbedaan usia yang sangat jauh, 14 tahun.
Kepribadian Arumi yang ceria, manja serta centil, membuat gadis itu terus menggoda calon suaminya hingga pria dewasa itu kewalahan menghadapi godaan bertubi-tubi setiap kali bertemu dengan Arumi.
"Om, kiss me pleaseee,,," Tanpa ragu Arumi mencondongkan tubuhnya ke hadapan pria tampan yang sedang duduk di kursi kemudi.
Bibir gadis berusia 18 tahun itu sengaja di majukan, kedua mata indahnya terpejam dengan bulu matanya yang lentik dan panjang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Berada di restoran cepat saji, Arumi menyendokan es krim vanilla ke dalam mulutnya. Burger yang di pesankan oleh Agam hanya di makan setengah, itupun karna dia di paksa oleh pria dewasa itu. Agam pasti tidak mau mengantarkan Arumi pulang dalam keadaan sakit, jadi dia memaksa gadis itu untuk sarapan.
"Apa Om serius.?" Tanya Arumi setelah cukup lama menahan diri ingin mengutarakan pertanyaan itu pada Agam.
Pria itu memang belum memberikan penjelasan apapun mengenai ucapannya yang mengajak Arumi untuk memulai dari awal.
"Hmm,," Jawab Agam seraya mengangguk samar. Wajahnya datar, tatapan matanya fokus pada layar ponsel di tangannya hingga membuat Arumi tidak yakin kalau Agam benar-benar serius.
"Jangan dipaksa Om." Ucap Arumi sedikit kesal. Jawaban Agam terlalu singkat dengan gestur yang acuh, membuat siapapun yang melihatnya bisa merasakan ketidak seriusan Agam.
"Kalau memang ingin di akhiri, aku sudah ikhlas." Lanjut Arumi dengan senyum getir. Ikhlasnya hanya di mulut saja, tidak dengan hatinya yang mungkin patah menjadi beberapa bagian.
"Ck,, tau apa kamu soal ikhlas." Desis Agam yang tersenyum mengejek. Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Asisten pribadinya baru saja memberi kabar kalau lusa dia harus pergi ke luar kota untuk menemui klien yang tidak bisa datang ke Bandung.
"Aku serius, tapi ada syaratnya." Kata Agam dengan ekspresi wajah yang membuat Arumi di landa curiga.
"Kenapa harus pakai syarat kalau memang serius.?" Arumi mencebikkan bibir.
"Jadi sekarang kamu yang menolak ku.?" Tegur Agam. Arumi semakin mencebikkan bibirnya. Bagaimana bisa Agam bicara seperti itu sedangkan selama ini pria itu tau kalau Arumi yang mengejarnya.
"Iish,,,! Bukan begitu maksudku." Arumi mendengus kesal.
"Jadi apa syaratnya.? Jangan membuat syarat yang aneh-aneh.!" Tegasnya memperingatkan. Agam mengedikkan kedua bahunya acuh. Dia yang akan memberikan syarat, jadi apapun yang akan dia minta tentu saja sesuai keinginannya.
"Berapa ukuran br a mu.?" Tanya Agam santai. Dia juga tidak memelankan suaranya karna tempat duduk mereka terletak di pojok dan hanya ada mereka berdua di sana.
Berbeda dengan Agam yang begitu santai melontarkan pertanyaan intim itu, Arumi justru membulatkan mata dengan mulut yang sedikit menganga. Dia tidak percaya Agam akan melontarkan pertanyaan frontal itu padanya.
"Ma,,maksud Om apa.?" Arumi terbata. Dia kaget sekaligus bingung karna tak bisa mencerna pertanyaan Agam yang ambigu. Entah menanyakan ukuran karna ingin membelikan br a untuknya, atau menanyakan ukuran untuk membulynya.
"Arumi,, da -da mu terlalu kecil.!" Ujar Agam penuh penekanan.
"Bagaimana aku bisa mencintai kamu kalau menciummu saja aku malas karna da- da mu rata." Celetuk Agam tanpa filter. Ucapnya semakin melantur saja, tapi masih bisa bersikap tenang. Sedangkan Arumi tampak celingukan, takut ada pengunjung lain yang mendengar ucapan Agam.
"Apa hubungannya cinta sama ciuman dan da- da.?" Arumi mencebik.
"Kalau seperti itu bukan cinta namanya, tapi naf su.!" Geramnya. Dia jadi kesal karna Agam menghina ukuran da- danya yang memang tak seberapa itu.
"Cinta dan naf su harus beriringan.!" Sahut Agam cepat.
"Bocah ingusan kayak kamu mana paham." Agam mencibir. Arumi tidak tau kalau hal semacam itu merupakan salah satu kebutuhan utama bagi pria dewasa. Bukan masalah siapa yang kuat iman atau lemah iman, tapi siapa yang burungnya paling normal.
"Terus maksud Om apa.? Om mau nyuruh aku buat implan da -da.?!" Tanya Arumi dengan kesabaran yang sudah menipis. Kalau sampai Agam menyuruhnya untuk implan, lebih baik dia meminta kedua orang tuanya untuk membatalkan perjodohan mereka saja.
"Apa enaknya.!" Sahut Agam cepat. Agaknya dia juga tidak mau mendapatkan da- da palsu.
"Kamu pikirkan sendiri cara membuat da- da mu besar, setelah itu aku bersedia memulai dari awal." Tegas Agam serius.
Arumi kembali di buat melongo. Dia baru tau kalau Agam bisa seliar itu dengan ucapannya yang frontal. Karna selama ini Agam terkesan acuh dan tidak tertarik untuk melakukan kontak fisik dengannya. Rupanya pria itu hanya akan tertarik untuk menciumnya jika memiliki ukuran da -da sesuai keinginannya.
"Om pikir selama ini aku nggak berusaha memperbesar ukurannya.?" Keluh Arumi dengan wajah lesu.
"Aku sudah mencoba minum obat pembesar dan pakai minyak untuk memperbesar, tapi nggak ada hasilnya." Arumi semakin tak bersemangat. Dia hampir frustasi lantaran iri melihat teman-temannya memiliki ukuran di atas rata-rata.
Bahkan punya sang Mama saja ukurannya cukup besar, harusnya ukuran itu menurun padanya sebagai anak.
"Jadi selamanya ukuran da- damu tetap kecil seperti itu.?" Agam menyipitkan mata, menatap tepat pada area da- da Arumi. Gadis itu reflek menutupnya dengan kedua tangan.
"Om,! Kondisikan mulut dan matanya, ini tempat umum." Tegur Arumi. Selain malu di lihat orang lain, dia juga tidak percaya diri pada Agam karna pria itu memperhatikan da -da ratanya.
Arumi lalu menggeser kursi ke samping Agam hingga nyaris tanpa jarak. Gadis itu mendekatkan wajahnya di telinga Agam dan membisikkan sesuatu yang membuat jakun pria itu turun naik karna menelan saliva.
"Mau kan Om.?" Seru Arumi setelah selesai membisikkan sesuatu pada Agam. Gadis itu menatap penuh harap, dia bahkan sangat tidak sabar untuk segera mempraktikkannya. Selain penasaran, Arumi juga ingin membuktikan apa cara itu ampuh atau tidak.
"Akan aku pikirkan." Jawab Agam datar.
"Ya ampun, untuk apa di pikirkan.?!" Protes Arumi.
"Bukannya Om sendiri yang ingin da -daku besar, jadi sudah seharusnya Om yang melakukannya. Nggak mungkin aku minta bantuan orang lain kan.?" Keluhnya dengan bibir yang cemberut.
Agam terdiam, pria itu tampak sedang mempertimbangkan tawaran Arumi yang tadi dibisikkan padanya.
"Om.? Bagaimana.?" Arumi menggerakkan lengan Agam karna pria itu tampak melamun.
Sebuah anggukan kecil dari Agam membuat Arumi mengulum senyum malu. Pipinya langsung merona karna membayangkan hal itu.
"Sekarang aku antara kamu pulang. Orang tuamu sudah menunggu,," Agam beranjak dari duduknya. Mau tidak mau, Arumi ikut beranjak dan mengikuti langkah Agam.
Pria itu mengantarkan Arumi sampai ke rumah dan menemui kedua orang tua Arumi untuk memberikan penjelasan agar mereka tidak salah paham.
"Maafkan saya, harusnya semalam saya mengantarkan Arumi pulang, tapi tiba-tiba demam dan pusing." Ucap Agam pada Andrew dan Amira. Mereka memang tidak menanyakan hal itu lagi karna semalam Agam sudah menjelaskannya, tapi Agam merasa perlu mengatakannya langsung agar mereka lebih percaya.
"Nggak masalah nak Agam, Tante percaya sama kamu." Amira mengusap pucuk kepala putrinya yang sedang mendekap lengan dan meletakkan kepala di bahunya. Amira sedikit terharu melihat raut wajah Arumi yang berbinar, putri tunggalnya itu terlihat lebih bahagia dari sebelumnya.
"Lain kali kabari lebih dulu kalau terlambat pulang, kami khawatir terjadi sesuatu." Ucap Andrew pada Agam.
"Baik Om, saya pastikan ini terakhir." Jawab Agam tegas.
Pria itu selalu membuat siapapun akan percaya penuh padanya, mungkin karna kewibawaan dan kharisma yang dia miliki.
gw gak baca berurutan..malas gw sama ayahnya😒
tapi kalau ujung"nya Sofia bersatu dengan Andrew...apa gunanya memaafkan, apa gunanya selama ini Amira marah, kecewa dan ujung"nya bercerai kalau pd akhirnya oengehianta bersatu?
gak guna!