Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 - PERKEMAHAN (2)
Matahari baru saja muncul, menyinari perkemahan yang mulai ramai dengan suara-suara murid yang terbangun. Revan menggeliat di dalam tenda sebelum akhirnya membuka mata dengan malas.
“Revan, cepet bangun, ayo sarapan!” suara Farel terdengar dari luar tenda.
Dengan enggan, Revan merangkak keluar tenda. Udara pagi yang segar menyambutnya, tapi tak bisa menghilangkan kantuk yang masih menempel. Di sekelilingnya, kelompok lain sudah mulai menyalakan kompor portable dan mengeluarkan bahan makanan.
“Masak apa?” tanya Revan, masih setengah sadar.
“Nasgor” jawab Danudara dengan percaya diri. “Gampang, tinggal campur semuanya, goreng, jadi.”
Indira, yang duduk di atas batu sambil menguap, hanya mengangkat alis. “Kayaknya nggak bakal semudah itu deh, firasatku ga enak.”
Tapi tetap saja, mereka mulai memasak. Alisha mencuci beras dan memasukkannya ke panci. Farel, yang ditugaskan menyalakan kompor, malah membuat api terlalu besar, hampir membakar alas kompor.
“WOI! KECILIN APINYA KOCAK!” teriak Revan panik.
“SABAR!” Farel buru-buru mengecilkan api, sementara Alisha memukul kepalanya dengan spatula.
Setelah nasi mulai matang, mereka beralih ke bagian menggoreng telur dan sosis. Indira memecahkan telur ke dalam wajan, tapi lupa menambahkan minyak. Hasilnya? Telur lengket seperti lem super.
“Indira… ini gimana?” tanya Revan sambil mencoba mengangkat telur yang menempel.
“Gosong dikit nggak papa kan?,” jawab Indira santai.
Sementara itu, Farel mencoba membalik sosis dengan gaya koki profesional. Namun, entah bagaimana, sosis itu meluncur keluar wajan dan jatuh ke tanah.
“WOI, SOSISNYA JATUH!”
Mereka semua menoleh ke arah sosis yang kini tergeletak di atas tanah berdebu.
“Kita bersihin aja terus goreng lagi?” usul Farel.
Alisha langsung menatapnya tajam. “Lu serius mau makan sosis yang udah nyium tanah rel?”
“Protein tambahan?” Farel mencoba tersenyum, tapi Alisha sudah mengangkat spatula seperti mau memukulnya lagi.
Akhirnya, tanpa sosis, mereka lanjut menggoreng nasi. Revan mengambil kecap dan menuangkannya… terlalu banyak.
“KOK NASGORNYA JADI GOSONG?!” Farel panik.
Revan menatap nasi gorengnya dengan pasrah. “Yah, ini namanya nasgor… edisi gosong dikit.”
Dengan ragu-ragu, mereka semua mencoba satu suapan.
“PAIT BANGET SIALAN!!!” Semua langsung berebut minum air.
Indira menghela napas, meletakkan sendoknya, dan berkata dengan datar, “Gue makan roti aja udah.”
Sementara itu, di kejauhan, para guru hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelompok Revan yang terlihat lebih seperti korban eksperimen dapur daripada peserta perkemahan.
Setelah insiden nasgor gosong, kelompok Revan duduk melingkar dengan wajah lesu. Alisha sibuk mengunyah roti tawar, Danudara memakan mie instan tanpa dimasak, sementara Indira hanya menyeruput teh hangat dengan ekspresi tanpa emosi.
Revan menatap piringnya yang masih berisi nasi gosong. “Jadi… siapa yang bakal ngabisin nasgor ini?”
Farel langsung menggeleng. “udah pasti bukan gue.”
Indira menyesap tehnya lagi. “Buang aja ke hutan. Mungkin ada makhluk yang doyan.”
Danudara mengangkat bahu. “Atau bisa jadi makhluk itu yang buang balik ke kita karena nggak tahan sama rasanya.”
Revan mendesah. “Udah, udah. Kita kubur aja biar nggak ada bukti kejahatan.”
Akhirnya, mereka menggali lubang kecil di belakang tenda dan mengubur nasi goreng gagal mereka seperti sedang melakukan ritual pengusiran roh jahat.
Beberapa saat kemudian…
Saat mereka sedang bersantai di bawah pohon, seorang guru lewat sambil membawa peralatan masak.
“Kalian udah sarapan?” tanyanya.
Mereka semua mengangguk cepat-cepat.
“Tadi masak apa?”
Revan dan Farel saling pandang sebelum akhirnya menjawab bersamaan, “Nasgor… pak.”
“Wah, hebat. Lihat dong, mana hasilnya?”
Mereka semua langsung kaku.
“Ehhh… udah habis, Pak,” kata Alisha cepat-cepat.
Guru itu mengangguk puas. “Bagus! Kalo begitu, nanti makan siang kalian masak sendiri juga ya! Saya mau lihat hasilnya!”
Setelah guru itu pergi, Revan menepuk dahinya. “Gawat, kita bakal masak lagi?”
Indira menyeruput tehnya sekali lagi dan berkata dengan datar, “Mungkin kita mulai puasa dari sekarang.”
Hari kedua perkemahan berjalan dengan penuh cobaan bagi kelompok Revan. Setelah insiden "nasgor gosong," mereka berusaha menghindari dapur sebisa mungkin.
Sayangnya, rencana mereka gagal total ketika pengumuman dari guru terdengar di seluruh area perkemahan.
"Seluruh kelompok akan memasak makan siang sendiri hari ini! Tidak boleh ada yang membeli atau minta dari kelompok lain! Saya ulangi…"
Revan, Farel, Alisha, Danudara, dan Indira saling menatap dengan wajah horor.
“Keknya kita harus puasa deh…” gumam Indira sambil menyeruput tehnya yang entah datang dari mana.
Farel mengacak-acak rambutnya. “Nggak mungkin! GUE NANTI KELAPARAN BNGS*T!”
Alisha menghela napas. “Yaudah, kita coba masak sesuatu yang… nggak gampang gosong.”
Revan berpikir keras. “Kita bikin yang simpel aja. Mie instan?”
Danudara langsung mengangguk. “Bisa. Itu makanan yang nggak bisa gagal.”
Tapi, seperti takdir yang sudah tertulis, segalanya berjalan di luar rencana.
Saat mereka mulai memasak, tiba-tiba Farel berteriak, “Awas! Apinya terlalu gede sial!”
Mereka semua menoleh ke arah panci. Dan benar saja—air yang mereka panaskan mendadak mengeluarkan asap tebal, seakan-akan mereka sedang mencoba memanggil jin dari dalamnya.
“Farel! Lu masak apa sih?!” seru Alisha panik.
“Gue cuma naruh air, sumpah!”
Indira mendekati panci, menatapnya lama, lalu berkata, “Ini bukan air biasa.”
Revan menelan ludah. “Maksud lu…?”
Indira mengambil botol yang tadi mereka gunakan. Semua orang membaca labelnya dengan saksama.
"Cuka."
Danudara menepuk dahinya. “Ya ampun, kita baru aja masak cuka mendidih.”
Farel nyaris menangis. “Gue cuma mau makan enak, kenapa jadi gini?!”
Pada akhirnya, mereka membuang cuka mendidih itu dan kembali dengan rencana baru: beli makanan dari kelompok lain secara diam-diam.
Tapi sialnya, setiap kelompok juga mengalami tragedi kuliner masing-masing. Kelompok sebelah kehilangan semua lauk mereka karena dimakan rakun, kelompok di ujung sana membuat sup yang lebih mirip cat tembok, dan kelompok lainnya bahkan membakar sosis sampai jadi arang.
Sore harinya, Revan, Farel, Alisha, Danudara, dan Indira duduk dengan lesu, masing-masing hanya makan biskuit seadanya.
Farel menghela napas. “Gue kira perkemahan bakal seru…”
Revan menyikutnya. “Ya seru sih. Serunya itu kita semua menderita bareng-bareng.”
Indira menyeruput teh lagi dan berkata datar, “Setidaknya, kita masih hidup.”
Danudara mengangguk. “Tapi besok kita sudah mulai pulangkan?”
Mereka semua terdiam, menatap kosong ke langit, perkemahan ini benar-benar ujian hidup.
Keesokan paginya, setelah dua hari penuh dengan penderitaan kuliner, kelompok Revan akhirnya bisa bernapas lega. Ini adalah hari terakhir perkemahan. Tidak ada lagi jadwal memasak. Tidak ada lagi tragedi dapur. Tidak ada lagi teror dari spatula Alisha.
Revan menghirup udara pagi dengan penuh kemenangan. “Akhirnya, hari kebebasan telah tiba.”
Farel menepuk bahunya. “Tapi sebelum kita pulang, kita tetap harus ikut acara penutupan.”
Revan mengerutkan dahi. “Acara penutupan?”
Indira menyeruput tehnya seperti biasa dan menjelaskan dengan nada datar, “Ada lomba-lomba, pengumuman kelompok terbaik, dan refleksi kegiatan. Standar lah.”
Alisha menambahkan, “Dan juga… kita harus bersihin tenda.”
Revan dan Farel saling pandang.
“Kayaknya kita bisa kabur sekarang dan langsung naik bus aja, deh.”
“Setuju,” balas Farel.
Tapi rencana mereka langsung gagal total ketika seorang guru berdiri di depan tenda mereka sambil berkacak pinggang.
“Kalian berlima, ayo bantu beres-beres perkemahan!”
Dan di situlah mereka terjebak, mengemasi tenda, memungut sampah, dan mengumpulkan peralatan yang dipinjamkan oleh sekolah.
Ketika akhirnya acara penutupan dimulai, mereka duduk di lapangan terbuka bersama kelompok lain. Guru mulai mengumumkan penghargaan.
“Kelompok dengan tenda terbersih… Kelompok 3!”
“Kelompok dengan kerja sama terbaik… Kelompok 7!”
“Kelompok dengan kreativitas masakan terbaik…”
Revan dan teman-temannya langsung menegang.
“…Kelompok 5!”
Mereka semua menghela napas lega. Itu bukan mereka.
“Dan terakhir, kelompok dengan pengalaman memasak paling unik…”
Revan merasa firasat buruk.
“…Kelompok 2, yaitu kelompoknya Revan dan teman-teman!”
Mereka semua membeku.
Farel mengerjapkan mata. “Tunggu… kita dapat penghargaan?”
Alisha menoleh ke Revan dengan wajah penuh tanda tanya. “Gimana ceritanya kita bisa menang sesuatu?”
Indira tetap tenang seperti biasa, menyeruput tehnya, lalu berkata, “Mungkin karena nasi goreng kita dikubur dengan cara paling dramatis.”
Revan, dengan enggan, maju ke depan bersama kelompoknya untuk menerima hadiah: sekotak mie instan.
Ketika mereka kembali duduk, Danudara membuka kotaknya dan menatap isinya dengan wajah datar. “Kalau kita dapet ini dari awal, kita nggak perlu menderita dua hari terakhir.”
Revan mendesah. “Hidup emang suka bercanda.”
Setelah acara penutupan selesai, mereka naik bus untuk kembali ke sekolah. Selama perjalanan pulang, semua orang tertidur kelelahan.
Saat bus akhirnya tiba di sekolah, Revan turun dengan perasaan campur aduk. Ia melihat teman-temannya yang juga kelelahan, tapi entah kenapa, ia merasa mereka semua jadi lebih dekat setelah berbagai insiden di perkemahan.
Farel menepuk pundaknya. “Perkemahan tahun depan… ikut lagi nggak?”
Revan tertawa pahit. “Gue bakal belajar masak dulu sebelum jawab pertanyaan itu.”
Dan dengan itu, petualangan perkemahan mereka yang penuh penderitaan akhirnya berakhir. Untuk sementara…