Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 PERTEMUAN DENGAN AYAH
"Jadi, kamu benar-benar akan pergi ke sana?" tanya Araf dengan nada khawatir, matanya menatap tajam ke arah Cintia. Senja mulai turun di Tamansari, memantulkan warna oranye di jendela toko kecil tempat mereka berbicara.
Cintia hanya mengangguk pelan. Ia tidak bisa memandang Araf. Tangannya sibuk merapikan barang dagangan di rak, meskipun pikirannya benar-benar berantakan. "Aku harus," jawabnya singkat.
"Tapi, apa itu perlu? Kamu bisa saja menghindarinya. Tidak semua masa lalu harus dihadapi, Cintia," desak Araf, mencoba mencari alasan agar dia membatalkan niatnya.
Cintia menghela napas panjang, lalu berbalik menghadap Araf. Matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dibaca—campuran dari rasa benci, takut, dan mungkin juga keraguan. "Aku sudah menghindar selama ini, Araf. Berapa lama lagi aku harus lari? Dia ada di sini, di Tamansari. Aku tidak bisa pura-pura dia tidak ada."
Araf terdiam. Ia tahu Cintia terlalu keras kepala untuk dihalangi. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya cemas. Ia takut pertemuan itu akan membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Ia takut kehilangan Cintia yang perlahan mulai membuka diri padanya.
“Kalau begitu, aku ikut,” kata Araf tiba-tiba.
Cintia mengerutkan kening. “Tidak perlu. Ini urusanku.”
“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian,” jawab Araf tegas. “Kalau kamu tidak mau aku ikut, setidaknya biarkan aku menunggu di dekat sana. Aku tidak akan jauh-jauh.”
Cintia ingin membantah, tapi ia tahu Araf tidak akan mundur. Ia hanya mendesah pelan, lalu mengambil tas kecilnya. "Terserah kamu," gumamnya sambil berlalu keluar dari toko.
---
Langkah kaki Cintia terasa berat ketika ia berjalan menyusuri jalan kecil menuju rumah tua di ujung desa. Rumah itu tampak usang dan nyaris tak terawat, dengan cat yang mengelupas dan halaman yang dipenuhi rumput liar. Dulu, rumah itu adalah tempatnya tumbuh besar. Tempat di mana ia belajar takut. Tempat di mana ia kehilangan kepercayaan pada dunia.
Ia berhenti sejenak di depan pagar kayu yang sudah hampir roboh. Jantungnya berdebar kencang. Ia bisa mendengar suara langkah Araf yang sengaja menjaga jarak di belakangnya. Keberadaan Araf sedikit menenangkannya, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.
Tangan Cintia gemetar saat ia mendorong pagar itu perlahan. Suara derit kayu tua membuat bulu kuduknya meremang. Ia melangkah masuk ke halaman, mencoba mengontrol napasnya yang terasa sesak.
Ketika ia mendekati pintu, suara batuk terdengar dari dalam. Suara itu begitu familiar, meskipun terdengar jauh lebih lemah daripada yang ia ingat. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak.
Ia mengetuk pintu dengan ragu.
Tidak ada jawaban.
Setelah beberapa detik, ia mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, menyeret dan pelan. Lalu, pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok lelaki tua dengan tubuh kurus dan wajah kusut. Rambutnya sudah memutih, dan matanya cekung seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya.
"Ada apa?" suara itu serak, nyaris terdengar seperti bisikan.
Cintia terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Matanya bertemu dengan mata lelaki itu—mata yang pernah ia benci lebih dari apa pun di dunia ini. Mata yang pernah menatapnya dengan amarah, yang pernah membuatnya merasa kecil dan tidak berharga.
Ayahnya.
Lelaki itu tampak terkejut, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali seolah tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Cintia?" tanyanya, suaranya penuh dengan keraguan.
Cintia menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya. "Ya, ini aku."
---
Ruangan itu terasa lebih sempit dari yang ia ingat. Bau lembap dan obat-obatan memenuhi udara. Ia duduk di kursi kayu tua yang berderit setiap kali ia bergerak sedikit. Ayahnya duduk di kursi lain di seberangnya, memegang cangkir teh yang sudah dingin. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tidak menyangka kamu akan datang," kata lelaki itu akhirnya, memecah keheningan. Suaranya gemetar, seperti seseorang yang takut pada bayangannya sendiri.
Cintia menatapnya tajam. "Aku juga tidak menyangka akan datang ke sini," jawabnya dingin.
Ayahnya tersenyum tipis, tapi senyum itu dipenuhi kesedihan. "Bagaimana kabarmu?"
Pertanyaan itu membuat Cintia mendidih. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja. "Kamu benar-benar bertanya itu?" suaranya meninggi. "Setelah semua yang kamu lakukan?"
Lelaki tua itu menundukkan kepalanya. Ia tidak membantah, tidak membela diri. "Aku tahu aku salah," katanya pelan. "Aku tahu aku tidak akan pernah bisa memperbaiki apa yang telah aku lakukan."
"Kamu tidak tahu apa-apa!" bentak Cintia. "Kamu tidak tahu bagaimana rasanya tumbuh dengan ketakutan setiap hari! Kamu tidak tahu bagaimana rasanya dihancurkan oleh seseorang yang seharusnya melindungi!"
Air mata mulai mengalir di pipinya, tapi ia tidak peduli. Semua kemarahan yang ia pendam selama ini tumpah begitu saja. "Kamu tidak tahu apa yang telah kamu lakukan padaku! Kamu telah merusak hidupku!"
Ayahnya tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk lebih dalam, bahunya bergetar. "Aku tahu aku tidak pantas meminta maaf," katanya dengan suara serak. "Tapi aku benar-benar menyesal, Cintia. Setiap hari aku menyesal."
"Tapi kamu tidak pernah meminta maaf!" balas Cintia dengan suara bergetar. "Bahkan sekarang, kamu tidak bisa mengatakannya! Kamu hanya duduk di sana, mencoba mencari simpati!"
"Aku tidak tahu harus bagaimana," jawab lelaki itu, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tahu aku sudah menghancurkan semuanya. Aku tidak pantas mendapatkan pengampunanmu."
Cintia tertawa pahit. "Kamu benar. Kamu tidak pantas."
Keheningan kembali memenuhi ruangan. Cintia merasa sesak. Ia ingin pergi, tapi kakinya tidak bisa bergerak. Ia ingin berteriak, tapi suaranya terhenti di tenggorokannya.
"Aku sakit, Cintia," kata lelaki itu tiba-tiba. "Dokter bilang aku tidak punya banyak waktu lagi."
Cintia menatapnya tajam. "Jadi, apa kamu ingin aku merasa kasihan? Itu tidak akan terjadi."
"Aku tidak meminta belas kasihanmu," jawabnya. "Aku hanya ingin kamu tahu."
Cintia berdiri dari kursinya. Ia tidak bisa lagi berada di ruangan itu. "Aku tidak peduli," katanya dingin. "Aku tidak peduli apa yang terjadi padamu."
Ia berjalan menuju pintu, tapi langkahnya terhenti ketika ayahnya berbicara lagi.
"Cintia," panggilnya pelan. "Aku tahu aku tidak pantas mengatakan ini, tapi aku bangga padamu. Aku bangga kamu bisa bertahan."
Kata-kata itu membuat Cintia terpaku. Ia tidak berbalik, tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Setelah beberapa detik, ia membuka pintu dan berjalan keluar tanpa melihat ke belakang.
---
"Aku tahu ini tidak akan mudah," kata Araf ketika Cintia kembali ke tempatnya menunggu.
Cintia tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewatinya, wajahnya datar, matanya merah. Araf mengikutinya dari belakang tanpa berkata apa-apa. Ia tahu Cintia butuh waktu untuk memproses semuanya.
Dalam perjalanan pulang, Araf akhirnya memecah kesunyian. "Apa kamu merasa lebih baik setelah bertemu dengannya?"
Cintia berhenti melangkah dan menatapnya. "Apa menurutmu aku bisa merasa lebih baik?" tanyanya dengan nada tajam.
Araf menghela napas. "Aku hanya ingin kamu menemukan kedamaian, Cintia. Itu saja."
Cintia memalingkan wajahnya. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Pertemuan itu tidak memberinya jawaban, hanya lebih banyak pertanyaan. Ia merasa bingung, marah, dan lelah.
"Apa kamu benar-benar percaya aku bisa menemukan kedamaian?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.
Araf menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku percaya," jawabnya. "Tapi pertanyaannya, apa kamu percaya pada dirimu sendiri?"
Cintia tidak menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa detik sebelum melanjutkan langkahnya. Di dalam hatinya, pertanyaan itu terus bergema.
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku