Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Aku Sangat Merindukanmu, Cha.
“Kamu kenapa, Sha?” Tanya Chef Robby. Mereka kini tengah makan malam berdua di unit apartemen yang di tempati oleh Marsha.
Sejak memasak tadi, Chef Robby melihat gadis itu lebih banyak diam dan melamun. Pasti ada sesuatu yang membebani pikiran gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu.
“Sha?” Chef Robby memberanikan diri menyentuh punggung tangan Marsha.
Plang.. !!
Suara alat makan terjatuh di atas piring.
Marsha terkejut dengan sentuhan tiba-tiba di tangannya.
“Maafkan aku, Sha.” Ucap Chef Robby melihat keterkejutan gadis itu. “Apa terjadi sesuatu? Kenapa sejak tadi, aku perhatikan kamu lebih banyak diam?”
“Chef, bagaimana jika aku mengundurkan diri dari hotel?” Tanya Marsha kemudian.
Dahi Chef Robby berkerut halus. Ia ikut meletakan alat makannya di atas piring.
“Kamu ingin berhenti bekerja? Kenapa? Ada masalah?” Tanya Chef Robby penasaran.
Kepala Marsha menggeleng pelan. Untuk saat ini, belum ada masalah yang menghampirinya di tempat kerja. Tetapi, tidak tahu kedepannya. Apalagi, Aldo mengetahui keberadaan gadis itu. Itu artinya, Rafael juga pasti sudah tahu dan akan segera menemuinya.
Apa mungkin Rafael akan menemuinya?
“Aku— Marsha menjeda ucapannya. Ia menghela nafas pelan. “Seandainya, Chef. Aku ingin mencari pengalaman baru.”
“Yakin kamu tidak apa-apa? Kita baru satu bulan disini. Apa terjadi sesuatu?” Chef Robby masih percaya ucapan Marsha.
“Tidak ada, Chef. Aku hanya bertanya saja. Bagaimana jika aku mengundurkan diri. Hanya berandai-andai jika aku ingin mencari pengalaman baru. Siapa tahu, ada hotel yang menawarkan gaji yang lebih besar.” Ucap Marsha sembari terkekeh. Ia pun kembali melanjutkan makannya.
Chef Robby menghela nafas pelan. Sepertinya membuat Marsha jujur padanya sangat sulit.
“Jika kamu tidak lupa, kamu baru menandatangani perpanjangan kontrak kerja dua bulan yang lalu. Kamu ingatkan, berapa penalti yang harus kita bayar jika melanggar atau memutus kontrak di tengah jalan? Bukan di tengah jalan, lebih tepatnya di awal. Apa kamu punya simpanan sebanyak itu untuk membayar penalti? Kalau iya, ya Silahkan. Aku tidak keberatan memiliki asisten yang baru.” Gurau pria itu di akhir kalimatnya.
Ucapan Chef Robby membuat selera makan Marsha hilang seketika. Bagaimana ia bisa lupa dengan isi kontrak kerja yang mengharuskan karyawan membayar penalti, jika memutus kontrak sebelum waktunya?
“Kenapa? Jadi kapan kamu mau mengundurkan diri? Biar aku bisa membuka lowongan calon asisten yang baru—
“Tidak jadi.” Ucap Marsha seraya bangkit membawa piring yang masih terisi ke arah dapur. Ia membuang makanan ke dalam tong sampah, kemudian mencuci piringnya di wastafel.
Sungguh sangat menyebalkan. Perusahaan macam apa yang membebani karyawannya dengan membayar penalti jika memutuskan kontrak kerja.
\~\~\~
Pagi menjelang.
Marsha bersiap untuk pergi bekerja walau dengan berat hati. Langkahnya pun terasa sangat gontai. Ia ingin lari, namun apa daya ada tali tak kasat mata yang mengikat pergerakannya.
Dan dengan menghela nafas kasar, gadis itu pun keluar dari unit apartemen, menuju halte bis di depan gedung.
“Sha, tunggu. Aku ingin bicara denganmu.” Aldo melebarkan langkahnya ketika merasa Marsha menghindar darinya.
Aldo sengaja datang ke gedung apartemen itu untuk menemui Marsha. Ia merasa perlu berbicara dengan gadis itu.
Perasaan pria itu menjadi tidak tenang setelah kemarin ia mendapati Marsha melihat ke arahnya yang sedang berbicara dengan Rafael.
“Sha, please. Aku ingin bicara sama kamu.” Aldo menahan lengan gadis itu dengan lancang. Ia sungguh takut jika Marsha akan pergi lagi. Pria itu masih sayang dengan nyawanya. Tidak ingin mati muda karena di habisi oleh Rafael.
“Aku merasa tidak ada yang perlu kita bicarakan, Al.” Marsha mendorong tangan Aldo agar terlepas dari lengannya.
“Tidak. Kita memang harus bicara. Ikut aku.” Aldo bersikap semau dirinya. Ia menarik pelan lengan Marsha dan membawa gadis itu ke dalam mobilnya.
Tak jauh dari mereka, Chef Robby menyaksikan dan mendengar semuanya. Pria dewasa itu merasa di bohongi. Sepertinya, ada sesuatu di antara Marsha dan Aldo yang gadis itu sembunyikan darinya.
“Apa pemuda itu alasan di balik kamu ingin mengundurkan diri dari hotel, Sha?”
Chef Robby ingin mengikuti kemana perginya mobil Aldo, namun ia urungkan. Ia tidak punya hak untuk ikut campur urusan pribadi muda-mudi itu.
Aldo melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pria itu membawa Marsha ke taman dimana gadis itu merenung kemarin.
Kini mereka tengah duduk bersisian di atas bangku taman. Tempat itu cukup sepi, mengingat, hari masih sangat pagi. Hanya ada beberapa pasang lansia yang sedang berjalan-jalan.
“Sha.”
Aldo membuka suara setelah mereka cukup lama diam. Sepertinya, gadis itu marah padanya karena tidak mau berkata apapun.
“Jadi, General Manager itu adalah dia, Al? Apa kamu sengaja merahasiakannya dari aku?” Tanya Marsha kemudian.
“Maafkan aku.” Ucapnya sembari menghela nafas pelan.
“Kenapa Al?” Tuntut Marsha.
“Rafael juga tidak tahu kamu disini, Sha. Aku tidak pernah mengatakan keberadaanmu padanya.” Jelas Aldo.
“Jangan bohong, Al. Kamu teman baiknya. Kenapa aku harus percaya sama kamu?” Suara Marsha terdengar sedikit bergetar.
“Kamu boleh tidak percaya padaku, Sha. Tetapi itulah kenyataannya.” Pria itu kemudian berjongkok di depan Marsha.
“Lihat bekas lebam ini, Sha.” Pria itu menunjuk sudut bibirnya yang masih ada bekas sedikit membiru.
Marsha menatap tidak perduli. Ia merasa telah di bohongi oleh pria yang di anggapnya baik itu.
“Ini adalah bekas pukulan Rafael. Kemarin, dia melihatmu. Kemudian dia marah padaku karena tidak mengatakan keberadaan mu padanya.”
Marsha menatap ke dalam manik mata Aldo. Terlihat kesungguhan disana, pria itu tidak membohonginya.
“Aku tidak mau kamu pergi lagi, Sha. Karena itu, aku merahasiakan keberadaan kamu. Walau aku tahu, cepat atau lambat Rafael akan mengetahuinya.” Ucap Aldo yang kemudian menundukkan kepalanya.
“Bangun, Al. Kita jadi tontonan orang-orang.” Ucap Marsha melihat sekitar taman. Ada beberapa orang yang memperhatikan mereka.
Aldo menurut. Ia kembali duduk di samping Marsha.
“Aku ingin mengundurkan diri, Al.”
Kalimat yang Marsha ucapkan membuat Aldo gelagapan. Gadis itu ingin pergi lagi.
“Sha, please. Aku tahu, sangat sulit untuk kamu tetap disini. Apalagi, Rafael sudah tahu. Tetapi, aku mohon ijinkan dia menjelaskan apa yang terjadi lima tahun lalu. Setelah itu, kamu boleh pergi.”
Marsha kembali menatap Aldo. Pria itu juga sedang melihat ke arahnya penuh harap.
“Aku hanya tidak ingin menjadi sasaran amukan dia lagi, Sha. Jika kamu pergi lagi, maka habislah aku saat itu juga.”
\~\~\~
Marsha berjalan gontai menyusuri lorong penghubung dapur menuju gudang penyimpanan. Ia teringat ucapan Aldo. Rafael akan menghabisi pria itu jika Marsha pergi lagi.
Gadis itu juga kasihan melihat luka lebam pada wajah tampan Aldo. Apa Rafael semarah itu saat Marsha pergi? Lalu, apa pria itu tidak memikirkan bagaimana perasaan Marsha saat ia tinggalkan?
Sibuk berkutat dengan pikirannya, gadis itu tak menyadari jika ada orang lain yang mengikutinya, bahkan hingga masuk ke dalam gudang.
Ia menjerit tertahan, saat dua pasang lengan melingkari pinggangnya.
“Aku sangat merindukanmu, Cha.”