Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9 apa yang kau inginkan
Satu minggu kemudian.
Eleanor duduk di balkon kamarnya, menikmati secangkir teh hangat sambil mengamati halaman kediaman Duke yang diterangi cahaya bulan. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikirannya tetap bekerja tanpa henti. Banyak hal yang telah terjadi selama seminggu terakhir, dan semakin lama dia berada di tempat ini, semakin jelas betapa kacaunya rumah tangga Duke Cedric.
Siena yang dulu sudah terbiasa hidup dalam dunia yang penuh pengkhianatan, tetapi bahkan di kehidupannya yang baru ini, dia tetap harus menghadapi kepalsuan dan kepentingan tersembunyi. Kali ini, bukan dalam bentuk pertempuran berdarah atau misi rahasia, tetapi permainan politik dalam keluarga bangsawan.
Saat Eleanor sedang berpikir, Maria datang dengan ekspresi ragu-ragu.
"Yang Mulia, ada seorang tamu yang ingin menemui Anda," ujarnya dengan suara pelan.
Eleanor mengangkat alis. "Tamu? Siapa?"
Maria tampak gelisah sebelum akhirnya menjawab, "Marquis Edgar, ayah Anda."
Mendengar nama itu, Eleanor tersenyum kecil, tetapi sorot matanya tetap dingin. Ayahnya baru saja datang ke sini seminggu yang lalu untuk meminjam uang. Dan sekarang, dia datang lagi?
"Tidak perlu," jawab Eleanor santai, kembali menyeruput tehnya.
"Tapi, Yang Mulia..." Maria tampak semakin gelisah. "Tuan Marquis bersikeras ingin bertemu dengan Anda."
Eleanor mendesah pelan. Dia meletakkan cangkirnya dan berdiri dengan anggun. "Baiklah, mari kita lihat apa yang diinginkan ‘ayah tercinta’ kali ini."
Saat Eleanor tiba di ruang tamu, Marquis Edgar sudah duduk dengan ekspresi angkuh, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan sedikit rasa tidak sabar. Begitu melihat Eleanor, dia langsung berbicara tanpa basa-basi.
"Eleanor, aku tidak akan bertele-tele," katanya tajam. "Aku butuh uang. Dan kau sebagai putriku seharusnya membantu keluargamu sendiri!"
Eleanor hanya menatap pria itu tanpa ekspresi sebelum akhirnya duduk di kursinya dengan tenang.
"Aku rasa kau lupa," katanya pelan, tetapi tajam. "Aku ini bukan lagi bagian dari keluargamu, bukan? Aku sudah ‘dibeli’ oleh keluarga Duke. Kau sendiri yang menukar putrimu dengan sekantong emas. Jadi mengapa sekarang kau datang meminta bantuan padaku?"
Wajah Marquis Edgar memerah karena marah. "Jangan bicara seolah-olah kau tidak berhutang apa pun padaku! Aku membesarkanmu! Memberimu makanan, pakaian, tempat tinggal—kau berutang segalanya padaku!"
Eleanor tertawa pelan, tetapi suara tawanya dipenuhi sarkasme. Dia menatap pria itu dengan mata penuh ejekan.
"Yang mana yang harus ku bayar?" tanyanya sinis. "Sisa makanan yang kau berikan padaku? Baju bekas yang bahkan sudah tidak layak pakai? Atau tempat tinggal yang hampir rubuh? Katakan padaku, Marquis, bukankah kau sudah menikmati uang hasil menjual diriku ini? Apa itu tidak cukup?"
Di ruangan yang kini sunyi, Marquis Edgar berdiri dengan wajah marah, tinjunya mengepal kuat. Eleanor tetap duduk dengan tenang, meskipun sorot matanya tajam, penuh ketidaksabaran terhadap pria yang seharusnya adalah ayahnya.
“Aku sudah cukup sabar dengan sikap kurang ajarmu, Eleanor,” kata Marquis Edgar dingin. “Kau sudah menjadi seorang duchess, tapi masih tidak tahu bagaimana menghormati ayahmu sendiri. Aku hanya datang untuk meminta sedikit bantuan, tapi kau justru mempermalukan aku.”
Eleanor menatapnya datar, tidak sedikit pun terpengaruh oleh nada suaranya yang penuh tuduhan. “Permintaan bantuan?” ulangnya dengan nada mengejek. “Aku menyebutnya sebagai pemerasan.”
Wajah Marquis Edgar semakin merah. Amarahnya meledak, dan dalam satu gerakan cepat, dia mengangkat tangannya, siap menampar Eleanor.
Namun sebelum tamparan itu bisa mengenai pipinya—
"Tap!"
Tangan seseorang mencengkeram pergelangan tangan Marquis Edgar dengan kuat, menghentikan gerakannya seketika. Marquis Edgar menoleh dengan kaget, lalu tubuhnya menegang begitu melihat siapa yang berdiri di samping Eleanor.
Duke Cedric.
Wajah pria itu tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya cukup untuk membuat siapa pun merasakan tekanan yang luar biasa. Tanpa mengendurkan cengkeramannya, Cedric menatap Marquis Edgar dengan tatapan dingin dan datar.
Marquis Edgar dengan cepat menarik tangannya dan langsung memasang ekspresi terkejut, seolah dia adalah korban dalam situasi ini. “Yang Mulia Duke,” katanya, suaranya dipenuhi kepura-puraan. “Aku hanya mencoba menegur Eleanor karena sikapnya yang tidak hormat. Aku ini ayahnya, tentu saja aku punya hak untuk mendidiknya!”
Cedric tidak langsung menjawab. Dia menatap Eleanor sekilas, lalu kembali ke Marquis Edgar. Setelah beberapa detik hening, dia akhirnya berbicara, suaranya tetap tenang tetapi penuh ketegasan.
"Jika ini soal uang," ucapnya santai, "maka kau salah orang. Seharusnya kau menemuiku."
Mata Marquis Edgar berbinar mendengar kata ‘uang.’ Dia segera mengubah ekspresinya menjadi lebih lembut dan memasang wajah memelas. “Benar, aku memang membutuhkan sedikit bantuan keuangan. Beberapa urusan bisnis keluarga kami sedang mengalami kesulitan…”
Cedric tidak tertarik mendengar alasannya. “Berapa jumlahnya?”
Marquis Edgar tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi dengan cepat ia menyebutkan angka yang cukup besar. Cedric tanpa ragu membuka laci mejanya, mengambil sekantong penuh koin emas, lalu melemparkannya ke atas meja dengan santai.
“Ambil dan pergi.”
Marquis Edgar tidak menunggu dua kali. Dia dengan cepat meraih kantong itu dan mengeceknya sekilas sebelum menyembunyikannya di balik jubahnya. Tanpa sedikit pun rasa malu atau syukur, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan dengan cepat, seolah dia tidak ingin memberi kesempatan bagi Cedric untuk berubah pikiran.
Begitu pria itu menghilang dari pandangan, Eleanor langsung berdiri dan menatap Cedric dengan penuh amarah.
“Apa yang baru saja kau lakukan?” suaranya dingin, tetapi jelas menggambarkan kekecewaannya.
Cedric menatapnya tanpa ekspresi. “Memberinya uang. Bukankah itu sudah jelas?”
Eleanor mengepalkan tangannya. “Aku sudah mengatakan dengan jelas—jangan pernah lagi meminjamkan uang sepeser pun kepada pria itu! Apa kau tidak mengerti?”
Cedric bersedekap dan menatap Eleanor dengan tenang. “Itu uangku,” katanya santai. “Aku berhak memberikannya kepada siapa pun yang kuinginkan.”
Eleanor menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu itu uangmu,” katanya, suaranya lebih tenang tetapi tetap penuh ketegasan. “Tapi pria itu adalah ayahku. Aku lebih tahu seperti apa dirinya.”
Cedric diam sejenak, lalu menatap Eleanor dalam-dalam. “Aku tidak peduli siapa dia bagimu. Jika dia datang padaku dan memintanya, aku akan memberinya.”
Eleanor mengertakkan giginya, merasa frustasi dengan jawaban Cedric yang begitu dingin dan acuh.
Lagi-lagi, pria ini benar-benar sulit dimengerti.
Dan semakin lama, Eleanor semakin yakin bahwa dia tidak bisa hanya diam dan membiarkan semua ini terus terjadi.
Cedric tetap diam, matanya menatap Eleanor tanpa ekspresi yang dapat dibaca. Wanita itu berdiri di hadapannya, menatapnya dengan penuh amarah dan kekecewaan, seolah mencari jawaban yang mungkin tidak akan pernah dia dapatkan.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Cedric?" suara Eleanor bergetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang tertahan. "Katakan!"
Eleanor melangkah lebih dekat, menantang pria itu dengan tatapannya. Sorot matanya yang tajam berusaha menembus dinginnya ekspresi Cedric, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa memberinya pemahaman tentang pria di depannya ini.
"Kau ingin membuatku semakin menderita?" lanjut Eleanor dengan nada yang semakin meninggi. "Kau ingin membuat semua orang berpikir bahwa aku terus menyulitkanmu? Begitu?"
Cedric masih diam.
Eleanor mengepalkan tangannya, matanya mulai memerah karena amarah dan frustasi yang terpendam. "Kau ingin aku dianggap rendah di kediaman ini? Benar begitu?" suaranya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena dadanya terasa begitu sesak. "Katakan!"
Namun, yang dia hadapi hanyalah keheningan.
Cedric memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan—seolah dia sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, pria itu akhirnya membuka mulutnya.
Tapi bukan untuk menjawab.
"Sudah selesai?" tanyanya dengan nada datar, membuat dada Eleanor terasa semakin sesak.
Matanya membulat, tidak percaya dengan jawaban yang begitu acuh tak acuh. Seakan semua yang dia rasakan, semua yang ingin dia pahami, tidak ada artinya bagi pria ini.
Eleanor mengertakkan giginya.
Saat Eleanor hendak mengangkat kepalanya, tiba-tiba saja rasa pusing yang tajam menghantamnya. Dunia di sekelilingnya berputar, pandangannya kabur, dan kekuatan di tubuhnya perlahan menghilang. Tubuhnya melemas begitu saja, dan sebelum dia sempat memahami apa yang terjadi, kesadarannya pun lenyap.
Cedric refleks menangkap tubuh Eleanor yang hampir terjatuh. Dia terdiam, merasakan betapa dinginnya tubuh wanita itu di dalam dekapannya. Alisnya berkerut dalam, tidak menyangka bahwa Eleanor akan pingsan begitu saja di hadapannya.
“Eleanor?” panggilnya, namun tidak ada jawaban.
Napasan Eleanor lemah, wajahnya terlihat pucat, dan untuk pertama kalinya, Cedric merasakan sesuatu yang aneh di dadanya—sebuah kegelisahan yang tak biasa.
Tanpa membuang waktu, Cedric mengangkat tubuh Eleanor dalam gendongannya. Langkahnya tegap dan cepat saat dia membawa wanita itu keluar dari ruangannya.
"Edwin!" suaranya tegas, memanggil sekretaris pribadinya yang langsung muncul dari balik pintu.
"Ya, Tuan Duke?"
"Panggil tabib sekarang juga," perintah Cedric tanpa basa-basi.
Edwin menelan ludah, menyadari situasi yang tidak biasa ini. Dia pun segera bergegas tanpa bertanya lebih lanjut, meninggalkan Cedric yang masih memeluk Eleanor dengan ekspresi sulit ditebak.
Untuk pertama kalinya, Cedric menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang membuatnya tidak nyaman—perasaan asing yang muncul saat melihat Eleanor dalam keadaan lemah seperti ini.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor