Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 06
Kamala menghela napas panjang. Ia tidak bisa membiarkan Reyna kelaparan, bagaimanapun juga.
"Udah, bawa aja kucingnya. Tapi nanti kalau dia rewel, kamu yang urus," katanya akhirnya.
Reyna bersorak kecil, menggendong si kucing dengan hati-hati. "Makasih, Ibu! Aku janji bakal jaga dia!"
Kamala mengacak rambut Reyna singkat sebelum bangkit berdiri. "Ayo cari makan."
Mereka berjalan menyusuri gang sempit, menuju jalanan yang lebih ramai. Kamala tidak punya uang sepeser pun, jadi ia harus berpikir cepat.
Biasanya, jika sedang benar-benar kepepet, ia akan mencoba mencari sisa makanan di belakang warung makan atau restoran kecil. Itu bukan sesuatu yang ia banggakan, tapi di dunia yang keras ini, rasa malu tidak akan membuatnya kenyang.
Namun, pagi ini Kamala punya rencana lain.
"Ada tempat yang mau ibu datangi dulu," katanya, menggandeng tangan Reyna erat.
"Tempat apa?" tanya Reyna, masih sibuk membelai si kucing yang tertidur di pelukannya.
Kamala tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke arah pasar kecil di ujung jalan.
Di sana, ada banyak orang, dan di antara mereka, pasti ada seseorang yang bersedia membayar mahal untuk seorang anak kecil.
Pikiran itu membuat perut Kamala terasa mual, tapi ia menggigit bibir, memaksa dirinya untuk tetap berjalan.
Ia harus bertahan.
Bagaimanapun caranya.
Kamala melangkah mantap ke arah pasar, menggenggam tangan Reyna erat.
Pasar pagi itu ramai, penuh dengan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka. Aroma makanan bercampur dengan bau ikan asin, sayur-sayuran, dan keringat manusia. Kamala menoleh ke sana kemari, mencari seseorang yang terlihat... tertarik.
Seseorang yang mungkin sedang mencari anak kecil.
Reyna, sementara itu, masih sibuk dengan kucing kecil di pelukannya. Sesekali, ia menengadah menatap Kamala. "Ibu, kita cari makan di mana?" tanyanya polos.
Kamala tidak langsung menjawab. Pandangannya tertumbuk pada seorang pria berjas lusuh yang berdiri di dekat gerobak penjual bubur. Pria itu tampak tidak seperti orang biasa di pasar. Ada sesuatu yang aneh dari caranya memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
Kamala menggigit bibirnya. Mungkinkah dia orang yang tepat?
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, perut Reyna berbunyi keras.
"Ibu, aku lapar..." gumamnya, suaranya melemah.
Kamala mengalihkan pandangannya dari pria itu dan kembali fokus pada Reyna. Gadis kecil itu memang butuh makan. Menjualnya mungkin bisa menyelesaikan masalah ini, tapi itu juga berarti ia harus benar-benar melepaskan bocah itu selamanya.
"Ayo ke sana dulu," kata Kamala, menarik Reyna ke arah gerobak bubur.
Ia tahu ia tidak punya uang, tapi ia juga tahu cara mendapatkan makanan.
Kamala pura-pura mengorek saku celananya, lalu menampilkan ekspresi panik. "Aduh, Bang... duit saya jatuh kayaknya," katanya kepada penjual bubur, suaranya dibuat memelas.
Si abang bubur mengerutkan kening. "Waduh, jatuh di mana?"
Kamala memasang wajah putus asa, melirik Reyna yang memeluk perutnya. "Anak saya belum makan dari kemarin, Bang. Boleh nggak saya bayar besok? Saya janji, serius..."
Penjual bubur itu menatap Reyna yang terlihat lemas. Wajahnya menunjukkan keraguan, tetapi akhirnya ia mendesah. "Yaudah, deh. Saya kasih satu porsi dulu."
Mata Reyna berbinar. "Makasih, Om!"
Kamala menghela napas lega saat semangkuk bubur disodorkan padanya. Ia membawa Reyna duduk di kursi kayu di samping gerobak.
Namun, ketika ia kembali menoleh ke arah pria berjas lusuh tadi, ia terkejut.
Pria itu sudah berdiri tidak jauh dari mereka, memperhatikan Kamala dengan tatapan tajam.
Jantung Kamala berdegup lebih cepat.
Apakah ini pertanda baik, atau justru awal dari masalah yang lebih besar?
Kamala langsung merasa ada yang tidak beres. Tatapan pria itu terlalu tajam, terlalu... menilai. Seakan-akan ia sedang mengamati sesuatu yang bisa dibeli atau dimanfaatkan.
Naluri Kamala menjerit. Ini bukan orang yang bisa dipercaya.
Ia buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk membantu Reyna meniup buburnya yang masih panas. Namun, dari sudut matanya, ia bisa melihat pria itu semakin mendekat.
"Sendiri?" suara pria itu terdengar berat dan serak.
Kamala tidak menjawab. Ia pura-pura tidak mendengar.
Pria itu tertawa kecil, lalu duduk di kursi panjang yang sama dengan mereka, hanya berjarak beberapa langkah. "Anakmu lucu," katanya pelan, seolah berbasa-basi.
Kamala menggenggam sendok di tangannya lebih erat. Ia tidak suka nada suara pria itu.
Reyna, yang masih polos, menoleh dengan ceria. "Om suka kucing? Aku punya kucing!" katanya sambil mengangkat kucing kecil di pelukannya.
Pria itu melirik kucing Reyna sebentar, lalu kembali menatap Kamala. "Bukan kucing yang menarik perhatianku."
Jantung Kamala berdegup kencang.
Ia langsung tahu.
Orang ini bukan calon orang tua angkat yang mencari anak dengan niat baik. Ini seseorang yang bisa membawa Reyna ke tempat yang lebih buruk.
Dan yang lebih buruk lagi, dia mungkin mengira Kamala memang sedang mencoba menjual Reyna.
Kamala bangkit cepat, menarik Reyna agar ikut berdiri. "Ayo pergi."
Namun, sebelum mereka sempat melangkah, pria itu berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam. "Jangan buru-buru. Aku bisa membayar mahal."
Kamala membeku.
Reyna menatapnya dengan bingung. "Ibu?"
Pria itu menyeringai, mengeluarkan sesuatu dari sakunya, segepok uang. "Sepuluh juta, langsung. Kalau kau butuh lebih, kita bisa bicara."
Darah Kamala mendidih.
Dulu, mungkin ia berpikir untuk menjual Reyna. Mungkin ia benar-benar sempat membayangkan mendapat uang dari bocah itu.
Tapi tidak seperti ini.
Bukan pada orang seperti ini.
Kamala menatap uang itu. Tangannya gemetar, bukan karena tergoda, tetapi karena marah.
Mereka kelaparan, miskin, dan dikejar utang. Tapi bahkan dalam kondisi seburuk itu, ia tidak akan menjual Reyna kepada seseorang yang jelas bukan orang baik.
Kamala mengambil napas dalam. Lalu, dalam satu gerakan cepat, ia menyambar mangkuk bubur di meja dan...
BYUR!
Bubur panas itu mendarat tepat di wajah pria itu.
Pria itu mengumpat keras, melompat berdiri dengan panik karena kepanasan.
Tanpa menunggu sedetik pun, Kamala menarik tangan Reyna dan berlari sekencang mungkin meninggalkan pasar.
"KEPARAT!" suara pria itu masih terdengar di belakang mereka. "AKU AKAN MENCARI KALIAN!"
Kamala tak peduli. Ia terus berlari, sambil menggendong Reyna erat, memastikan bocah itu tidak tertinggal.
Dada Kamala sesak. Ia hampir saja melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Sekarang ia tahu.
Reyna bukan sesuatu yang bisa dijual.
Ia adalah satu-satunya yang tersisa dalam hidup Kamala. Dan Kamala bersumpah, apa pun yang terjadi, ia akan melindungi bocah itu.
Kamala terus berlari melewati gang-gang sempit, napasnya tersengal, dadanya naik-turun seiring detak jantung yang menggila. Ia menoleh ke belakang, memastikan pria itu tidak mengejar mereka.
Setelah merasa cukup jauh, ia akhirnya berhenti di sebuah lorong kecil yang sepi. Temboknya penuh coretan, dan bau lembap khas gang kumuh memenuhi udara. Kamala menekan punggungnya ke dinding, mencoba mengatur napas.
Reyna menatapnya dengan mata besar dan penuh kebingungan. "Ibu... kenapa kita lari?"
Kamala menatap anak itu, hatinya mencelos. Apa yang harus ia katakan? Bahwa ia hampir menjualnya? Bahwa pria tadi mungkin akan membawa Reyna ke tempat yang mengerikan?
Ia menelan ludah. "Om tadi jahat, Rey. Ibu nggak mau dia dekat-dekat kita."
Reyna mengangguk pelan, lalu memeluk kucing kecil di pelukannya. "Tadi Ibu siram dia pakai bubur... Pasti panas, ya?"
Kamala mendengus kecil. "Biarin. Itu pelajaran buat dia."
Reyna tersenyum kecil, tapi kemudian perutnya berbunyi lagi.
Kamala menghela napas. Mereka masih lapar. Lari dari pria tadi bukan berarti masalah mereka selesai.
Ia harus berpikir cepat.
Uang? Tidak punya.
Makanan? Hanya harapan kosong.
Tempat berlindung? Sama tidak pastinya.
Ia menyapukan pandangan ke sekitar, lalu melihat sebuah warung nasi yang sudah tutup. Ada tumpukan plastik hitam di sampingnya, tempat sampah.
Pilihan terakhir.
Kamala menggigit bibir, lalu menoleh ke Reyna. "Rey, kamu duduk di sini dulu ya, jaga kucingnya baik-baik."
Reyna mengangguk patuh, sementara Kamala melangkah ke arah tumpukan sampah itu. Dengan tangan gemetar, ia mulai membuka salah satu plastik, berharap menemukan sisa makanan yang masih layak makan.
Ia mengaduk-aduk isi kantong itu dengan hati-hati, berharap ada sesuatu yang tidak terlalu busuk, nasi sisa, mungkin, atau potongan ayam yang belum basi.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari belakang.
"Lagi nyari makanan, Mbak?"
Kamala terkejut, langsung menoleh.
Seorang pria berdiri di sana. Tidak seperti pria berjas lusuh tadi, pria ini terlihat lebih sederhana. Kemejanya kumal, tetapi wajahnya ramah. Ia membawa kantong plastik putih berisi sesuatu yang masih mengepul.
"Aku tadi lihat kalian lari-lari," katanya. "Kayaknya kalian butuh makan."
Kamala menegang. Ia tidak bisa langsung percaya begitu saja. Tapi bau dari kantong plastik itu... nasi hangat.
Reyna, yang masih duduk di belakang, menatap dengan mata berbinar. "Ibu, itu makanan, ya?"
Kamala menggenggam erat ujung bajunya. "Kamu siapa?" tanyanya curiga.
Pria itu tersenyum tipis. "Cuma orang biasa yang pernah lapar juga. Ambil aja, nggak usah takut. Aku nggak minta imbalan."
Kamala menatapnya lama, mencoba mencari tanda-tanda bahaya. Tapi pria itu hanya berdiri di sana, menawarkan sesuatu yang selama ini ia cari, sedikit kebaikan.
Akhirnya, dengan hati-hati, Kamala mengulurkan tangan dan menerima kantong itu.
"Terima kasih," ucapnya lirih.
Pria itu mengangguk. "Semoga kenyang. Dan hati-hati di luar sana."
Lalu ia pergi, menghilang di antara bayang-bayang gang sempit.
Kamala kembali duduk di samping Reyna, membuka kantong plastik itu. Di dalamnya ada nasi, tahu goreng, dan sedikit sayur. Sederhana, tapi lebih dari cukup.
Reyna bertepuk tangan kecil. "Makasih, Ibu!"
Kamala tersenyum lemah, mengusap kepala anak itu. "Ayo makan."
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka bisa makan tanpa rasa takut.
Setelah makan, Kamala menghela napas panjang, merasa sedikit lebih tenang. Namun, masalah mereka belum selesai. Ia masih harus mencari tempat berlindung untuk malam ini.
Mereka tidak bisa terus berada di jalanan. Pria berjas lusuh tadi mungkin masih mencari mereka.
Ia menatap Reyna yang mulai mengantuk, masih memeluk kucing kecilnya. Kamala tidak bisa membiarkan anak itu tidur di gang yang dingin.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu.
Dulu, sebelum hidupnya hancur, ia pernah punya seorang teman lama, Sinta. Mereka pernah tinggal di tempat yang sama waktu kecil, di rumah susun. Dan akhirnya terpisah karena nasib masing-masing. Terakhir kali Kamala mendengar kabar, Sinta bekerja sebagai penjaga di sebuah panti asuhan kecil di pinggiran kota.
Mungkin, hanya mungkin, Sinta bisa membantu.
"Rey, ayo kita jalan lagi," katanya lembut.
Reyna menguap kecil. "Ke mana, Ibu?"
"Kita cari tempat yang lebih aman," jawab Kamala, menggandeng tangan anak itu erat.
Mereka berjalan menyusuri trotoar, melewati jalanan yang semakin sepi. Lampu-lampu jalanan berkedip lemah, sementara udara malam mulai menusuk kulit. Reyna menggigil sedikit.
Kamala melirik putrinya dengan khawatir. Ia harus menemukan Sinta secepatnya. Jika benar temannya itu masih bekerja di panti asuhan, mungkin mereka bisa tinggal di sana untuk sementara waktu.
Tapi bagaimana jika Sinta sudah tidak ada di sana? Atau lebih buruk, bagaimana jika Sinta menolaknya?
Kamala menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran buruk. Ia tidak boleh menyerah sekarang.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di halte bus tua yang catnya sudah mengelupas. Kamala ingat panti asuhan tempat Sinta bekerja berada di pinggiran kota, cukup jauh dari tempat mereka sekarang. Satu-satunya cara untuk sampai ke sana adalah dengan naik angkutan umum.
Masalahnya, ia tidak punya uang.
Kamala duduk di bangku halte, mendekap Reyna yang mulai mengantuk. Beberapa orang berdiri menunggu bus, tetapi kebanyakan sibuk dengan urusan masing-masing.
Saat ia tengah berpikir keras, seorang pria tua yang duduk di ujung bangku melirik ke arah mereka. Pakaiannya sederhana, dan di pangkuannya ada kantong plastik berisi roti.
"Kalian mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya tiba-tiba.
Kamala menegang, lalu menjawab hati-hati, "Ke rumah teman, Pak."
Pria itu mengangguk pelan. "Kalian butuh uang buat naik bus?"
Kamala terkejut, tetapi segera menunduk, malu. "Saya nggak minta, Pak..."
Pria itu tersenyum samar. "Saya tahu. Tapi saya juga tahu wajah orang yang kepepet. Saya pernah ada di posisi itu dulu."
Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kecil. "Ambil ini. Nggak banyak, tapi cukup buat ongkos bus."
Kamala menatap uang itu dengan ragu. Ia ingin menolak, tetapi ia juga tahu ini satu-satunya kesempatan agar ia dan Reyna bisa keluar dari jalanan malam ini.
Akhirnya, dengan mata berkaca-kaca, ia menerima uang itu. "Terima kasih, Pak... Saya nggak akan lupa kebaikan Bapak."
Pria tua itu hanya tersenyum. "Kalau nanti bisa bantu orang lain, lakukan hal yang sama."
Tak lama, bus yang mereka tunggu tiba. Kamala menggandeng Reyna naik ke dalamnya, lalu duduk di kursi dekat jendela.
Saat bus mulai melaju, ia menarik napas dalam.
Mereka belum aman.
Tapi setidaknya, mereka sedang menuju tempat yang bisa memberi mereka harapan.