Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ally
Bacin menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kacau setelah semua yang terjadi. Ia menatap kertas daftar nama itu sekali lagi sebelum berkata dengan suara mantap, "Asep, serahkan ini padaku. Aku seorang polisi di dunia nyata. Aku akan mencoba menyelidiki ini lebih dalam. Jika tempat di foto ini ada di dunia nyata, aku akan menemukannya."
Asep mengangguk, memahami tekad Bacin. "Baiklah, kalau begitu beri aku nomor teleponmu. Kita akan tetap berhubungan."
Mereka berdua bertukar nomor, memastikan bahwa mereka bisa tetap saling menghubungi meskipun berada di dunia yang berbeda.
Setelah itu, Asep menatap Bacin dengan raut penasaran. "Ngomong-ngomong, kau masuk ke dunia ini lewat pintu mana?"
Bacin menghela napas, mengingat kembali awal perjalanannya yang penuh dengan kengerian. "Aku masuk lewat pintu dari hotel terkutuk, hotel kesialan yang mengarah ke desa kecil bernama Desa Melati, di Bandung."
Mata Asep langsung membelalak, seperti baru saja melihat hantu. "Apa?! Bukankah hotel itu dipenuhi oleh Disgrace yang sangat menyeramkan?"
Bacin mengangguk pelan. "Ya, dan resepsionis di sana, Rain, benar-benar gila. Dia mencoba membunuhku setiap kali aku bertemu dengannya."
Asep tampak semakin terkejut. Ia menggelengkan kepala perlahan. "Kau benar-benar beruntung masih hidup setelah berurusan dengannya. Semoga kau bisa bertahan lebih lama."
Bacin hanya tersenyum tipis. "Aku sudah terbiasa dengan keberuntungan yang buruk."
Lalu, ia menatap Asep. "Bagaimana denganmu? Kau masuk ke dunia ini lewat pintu mana?"
Asep menyilangkan tangan dan menjawab, "Aku dari sebuah tower bernama Daylight, yang mengarah langsung ke ibu kota, Jakarta."
Bacin mengangguk, mencerna informasi itu. Masing-masing dari mereka memiliki pintu masuk yang berbeda, dan itu berarti ada banyak jalur lain yang mungkin belum mereka ketahui.
Asep menarik napas panjang lalu menepuk bahu Bacin. "Baiklah, aku akan menunggu kabar darimu. Jangan mati dulu, polisi."
Bacin tersenyum miring. "Sampai nanti, Asep."
Asep mengangguk sekali lagi sebelum mengangkat tangannya. Angin berputar di sekeliling tubuhnya, lalu dalam sekejap, ia melesat ke udara, menghilang dari pandangan.
Kini Bacin sendirian lagi, berdiri di dalam ruangan penuh kegelapan itu.
Dengan foto dan daftar nama di tangannya, Bacin sudah menetapkan tujuan berikutnya—kembali ke Hotel Kesialan dan kembali ke kantornya di dunia nyata untuk menyelidiki ini lebih lanjut.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung melompat dari jendela. Ia bahkan tidak sempat memperkirakan ketinggiannya, menganggap ini hanyalah bangunan dua lantai yang seharusnya mudah untuk dilompati.
Namun, tubuhnya langsung menghantam tanah dengan keras. Tulang-tulangnya patah seketika.
"Sial... ternyata lebih tinggi dari yang kukira..." gumamnya, merasakan rasa sakit yang tajam menjalar ke seluruh tubuhnya.
Namun, rasa sakit itu hanya berlangsung beberapa detik. Dalam sekejap, kekuatannya sebagai Disgrace bekerja—tulang-tulangnya menyambung sendiri, luka-lukanya menghilang seperti tidak pernah ada.
Bacin berdiri dan menghela napas, lalu menatap bangunan megah itu sekali lagi. Ia memperhatikan pintu masuk utama yang tampak mengerikan.
Dari dalam, terdengar suara-suara aneh—jeritan, desahan yang tidak manusiawi, dan suara makhluk yang bergumam dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti. Bacin menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas ke dalam.
Di ambang pintu, dua penjaga berdiri kaku.
Mereka tidak bergerak, tidak bereaksi, dan ekspresi mereka benar-benar kosong—seperti boneka yang ditinggalkan tanpa jiwa. Wajah mereka pucat, mata mereka kosong tanpa kehidupan, namun mereka tetap berdiri tegap, seperti patung yang dipasang untuk menjaga pintu neraka.
"Apa mereka masih hidup?" pikir Bacin.
Perlahan, ia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh salah satu dari mereka.
Tidak ada reaksi.
Mereka tetap berdiri kaku, seperti tidak menyadari kehadirannya.
Bacin mengernyit. Rasa penasaran menguasainya, dan tanpa berpikir panjang, ia mengepalkan tangan dan menghantam wajah salah satu penjaga itu sekuat tenaga.
Suara tulangnya berbenturan dengan rahang penjaga itu menggema di udara.
Sejenak, tidak ada yang terjadi.
Namun kemudian, sesuatu yang mengerikan terjadi—mata penjaga itu tiba-tiba melotot lebar, urat-urat hitam muncul di wajahnya, dan ekspresinya yang kosong berubah menjadi kemarahan yang mengerikan.
Lehernya bergerak dengan kaku, lalu kepalanya berputar perlahan ke arah Bacin.
Bacin mundur selangkah, jantungnya berdegup kencang.
Penjaga itu menatapnya tajam, napasnya mulai terdengar berat.
Dari dalam bangunan, jeritan makhluk-makhluk aneh semakin keras, seolah mereka tahu bahwa sesuatu baru saja membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap diam.
Penjaga itu mulai bergerak, langkahnya kaku namun cepat. Tangannya yang besar dan pucat terangkat tinggi, siap menghantam Bacin.
Bacin, yang awalnya hanya ingin menguji sesuatu, kini merasakan bahaya nyata di depan matanya. Panik mulai menguasainya.
"Sial! Kenapa aku malah bikin masalah?!" teriaknya dalam hati.
Tanpa berpikir lebih jauh, ia langsung berbalik dan berlari secepat mungkin.
Di belakangnya, penjaga itu mengejar dengan langkah berat namun menakutkan. Meskipun gerakannya kaku, kecepatannya semakin bertambah, seperti mesin kematian yang tidak akan berhenti sampai menangkap buruannya.
Suara langkahnya bergema di udara, setiap pukulan kakinya membuat tanah sedikit bergetar.
Bacin berlari tanpa menoleh, satu-satunya pikirannya saat ini adalah mencapai Hotel Kesialan.
Ia melintasi lorong-lorong gelap, menghindari reruntuhan dan bayangan-bayangan mengerikan yang bergerak di kejauhan. Matanya mencari-cari tanda-tanda hotel itu—satu-satunya pintu keluar dari dunia neraka ini.
Namun, suara langkah penjaga itu makin dekat.
Napas Bacin memburu. Jika ia tertangkap, ia tidak tahu apa yang akan terjadi.
Tapi satu hal yang pasti—ia tidak ingin mengetahuinya.
Namun, tiba-tiba, penjaga itu berhenti.
Bacin, yang sudah siap berlari sampai kelelahan, terkejut melihat sosok itu berbalik dan kembali ke tempatnya semula.
"Hah…?" Ia terengah-engah, dadanya naik turun. "Itu saja? Mereka punya batasan jarak?"
Bacin menghela napas lega, tapi rasa takutnya belum sepenuhnya hilang.
Perlahan, ia mulai menyesali kebodohannya.
"Aku nyaris mati hanya karena penasaran… Sialan!" gumamnya, mengusap wajahnya yang masih penuh keringat.
Ia mulai melangkah lagi, kali ini lebih berhati-hati.
Namun, sebelum ia bisa bernapas dengan tenang—sesuatu bergerak di langit di atasnya.
"Apa lagi sekarang?!"
Dari kegelapan, sesosok kepala mayat busuk berapi melayang, matanya membara seperti obor neraka.
Seketika, makhluk itu membuka mulutnya yang membusuk, dan—
Bola api melesat ke arahnya!
"Brengsek!"
Bacin melompat ke samping, menghindari tembakan api yang meledak menghantam tanah di tempatnya berdiri tadi. Panasnya terasa membakar kulitnya, bahkan dari jarak jauh.
Tanpa pikir panjang, ia menghunus kapaknya.
"Kalau kau mau bertarung…" gumamnya, menatap tajam ke arah kepala busuk itu.
"Aku akan memotongmu jadi dua!"
Bacin berlari ke depan, kapaknya siap diayunkan.
Namun, kepala busuk itu tidak tinggal diam. Ia melayang cepat ke samping, menghindari serangan pertama Bacin, lalu menyemburkan bola api lagi!
"Sial!"
Bacin melompat mundur, tapi panas dari serangan itu membakar lengan bajunya. Ia menepuk-nepuk lengannya, berusaha memadamkan api sebelum kulitnya ikut terbakar.
Makhluk itu tertawa.
Tawa yang aneh—serak, bercampur dengan suara gemeretak seperti tulang yang retak. Seolah-olah ia menikmati pertarungan ini.
Bacin menggertakkan giginya.
"Kalau begitu…"
Ia menjejak tanah dan berlari zig-zag, menghindari semburan bola api berikutnya.
Dalam sekejap, ia sudah berada di bawah makhluk itu.
"Makan ini!"
Bacin melompat tinggi, mengayunkan kapaknya ke atas dengan kekuatan penuh.
Kapak itu menebas kepala busuk itu tepat di rahangnya—
—Dan kepala itu terbelah dua!
Api yang menyelimuti makhluk itu padam seketika. Sisa tubuhnya jatuh ke tanah dengan suara berat, seperti bongkahan daging busuk yang dibanting.
Bacin mendarat, mengatur napas.
"Itu… mudah?" pikirnya, sedikit curiga.
Namun, sebelum ia bisa merasakan kemenangan, bau busuk yang menyengat menusuk hidungnya.
Daging kepala itu mulai bergerak.
Jahitannya yang putus mulai menyatu kembali.
Bacin membelalakkan mata.
"Kau bercanda…"
Seketika, makhluk itu bangkit kembali, kali ini dengan api yang lebih besar menyelimuti tubuhnya.
Dan dari kejauhan, terdengar suara lain…
Lebih banyak kepala busuk terbang mendekat.
"Sial, ini baru mulai…"