Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. STALKER KEMBALI
"Jangan salahkan orang
Jika mereka membuatmu kecewa
Karena semua itu bukan salah mereka
Tapi dirimu yang terlalu berharap
Karena ekspetasi dapat membunuh
Tanpa suara, namun mematikan."
Dibandingkan dengan marah, aku justru sangat kecewa. Seharusnya aku sadar siapa yang mengajakku, dan seharusnya tidak berharap terlalu tinggi. Tapi, setidaknya tidak bisakah sekedar memberitahu lewat pesan kalau ia tidak bisa datang? Mungkin juga aku yang terlalu bodoh karena mau menunggu sampai selama ini. Jika Rini dan Dini tahu tentang ini, aku bertaruh yagn disalahkan justru pasti aku bukannya Bos Juna. Karena sejam tidak datang saja harusnya sudah ditinggalkan, dan ini dengan bodohnya justru kutunggu selama berjam-jam.
Aku berjalan di trotoar menuju halte bus terdekat. Aku tidak tahu setiap langkah yang kuambil membuat dadaku sesak, tenggorokanku rasanya tercekat. Tanpa kumau cairan hangat sudah merembes turun dari sudut mataku, tidak peduli berkali-kali kuusap, air itu tetap meluncur turun dengan mudah.
Tak kupedulikan tatapan mata orang yang melintas ketika melihatku, menganggapku seperti orang bodoh karena menangis di jalanan. Toh lagi pula aku memang sudah menjadi orang bodoh seharian ini, jadi terlihat bodoh sebentar saja tidak masalah. Dengan begini rasa kesalku bisa sedikit berkurang, kan. Terkadang aku benci ketika air mata selalu tumpah saat aku sedang marah, bukannya sedang sedih seperti sekarang ini. Bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan kabel-kabel sarafku.
Begitu sampai di rumah, tidak kutemui siapa pun di dalamnya. Aku ingat kalau Dini dan Rini berencana keluar malam ini untuk jalan-jalan dan mencari sesuatu. Syukurlah, setidaknya mereka tidak melihatku dalam keadaan kacau, bisa-bisa mereka mengadukannya ke Kak Indra. Dan itu akan berujung rumit.
Demi menjaga perasaanku agar tidak kalut dan juga membuat perutku diam dari gemuruh lapar, kumasak dua bungkus mie instan. Merebusnya dengan telur dan juga daun bawang dan potongan cabai adalah pilihan terbaik untukku malam ini. Saat situasi hati buruk seperti sekarang, makanan adalah obat paling manjur, terutama yang pedas. Kurasa aku akan makan sambil nonton film. Entah kenapa otakku menginginkan film horor sekarang.
Begitu selesai menaruh mie dalam mangkuk, kudengar suara ketukan di pintu masuk. Kurasa Dini dan Rini sudah pulang, sepertinya acara jalan-jalan mereka tidak memakan banyak waktu. Bahkan sekarang belum jam delapan malam.
Tapi, bukan dua temanku itu yang kudapati ketika aku membukakan pintu. Melainkan sosok yang sedang tidak ingin kulihat kehadirannya saat ini, Bos Juna. Raut wajah yang ia tunjukan jelas sekali kalau ia memohon maaf, terlihat pula kilatan cemas dalam matanya.
“Mas, minta maaf karena nggak dateng. Kamu pasti udah nunggu lama. Mas bener-bener minta maaf,” katanya berhamburam sedetik setelah aku membukakan pintu.
Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Bohong kalau aku tidak kesal melihatnya, namun aku juga tidak senang melihat wajah sesalnya itu. Jadilah aku hanya berdiam diri, tidak memandangnya, tidak pula berniat membalas ucapannya. Mood-ku masih dalam kondisi buruk sekarang. Bicara dan melihatnya saat ini hanya membuatku ingin meninju wajahnya. Hah, lihatlah, aku berpikir tentang kekerasaan sekarang.
“Mas tahu kalau kamu baru pulang dari bioskop itu belum lama ini, kan? Mas punya temen di sana, dan bilang kalau ada cewek yang nunggu seharian itu pasti kamu, kan? Mas bener-bener minta maaf,” katanya lagi dengan nada jauh lebih lembut dari sebelumnya. “Mas bakal ngelakuin apa aja supaya kamu mau maafin Mas,” sambungnya.
“Mas pulang aja, ini udah malem. Saya mau istirahat, besok harus kerja,” tukasku. Untuk saat ini hanya itu yang bisa kukatakan padanya, tidak ingin tersulut emosi terlalu jauh.
Ada keterkejutan di wajah Bos Juna ketika aku mengatakan hal itu. Jelas sekali kalau aku mengusirnya secara tidak langsung. Mengatakan kalau ‘aku nggak mau liat kamu sekarang’, kurang lebih seperti itu.
Untuk beberapa saat ia terdiam, memandangiku lekat. Wajahnya terlihat ingin sekali mengatakan sesuatu padaku, namun urung melakukannya setelah ia menangkap raut penolakan dalam diriku.
“Kalau gitu Mas pulang dulu, sampai ketemu besok. Dan sekali lagi Mas minta maaf udah ingkar janji sama kamu. Besok kita bicara masalah ini, ya.” Bos Juna beranjak pergi sesuai dengan yang kukatakan padanya, akan tetapi langkahnya tidak mantab seakan berat meninggalkan area rumahku.
Lama aku berdiri di teras rumah, memandangi mobil hitam yang nampak samar dalam kegelapan malam. Perlahan mobil itu pergi, melaju dan menghilang di tikungan seperti biasa. Merasa lega karena Bos Juna mau mendengarkan ucapanku untuk pulang malam ini. Tidak tahu ucapan buruk apa yang akan terlontar jika dia tetap memaksa ingin membicarakan masalah hari ini.
Akan tetapi, ada satu hal yang tertangkap mataku dan membuatku bergidik ngeri ketika berdiam diri menatap jalan saat kepalaku memikirkan kejadian hari ini.
Seseorang tengah mengawasiku dari seberang jalan. Sosok itu terlihat dari celah pagar rumahku, dan kuyakin kalau aku tidak salah lihat.
Apakah orang itu kembali?
Bergegas aku masuk rumah, mengunci pintu dan mengambil ponselku. Kuabaikan mie yang kubuat tadi, melupakan rasa laparku setelah melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. Aku bisa merasakan bahaya sekarang. Intuisiku mengatakan untuk menelepon dan memberitahu orang lain.
Kutelepon Dini dan Rini, akan lebih baik jika mereka pulang lebih cepat. Namun, layaknya film atau drama yang sering kutonton, tidak ada dari mereka yang mengangkat teleponnya. Berkali-kali kucoba tapi hasilnya tetap sama. Aku berani bertaruh kalau mereka berdua pastilah sedang berjalan menuju satu tempat, sehingga ponsel mereka berada di tas dan tidak dapat mereka dengar panggilannya.
Kuberanikan diriku untuk mengintip keluar, melihat orang yang mengawasiku entah sejak kapan. Lengah karena berpikir aku telah aman dari penguntit setelah serangan malam itu.
Aku terkesiap kaget ketika orang itu berada di depan pagar rumah, melihat ke arah pintu masuk. Jantungku berdetak keras, rasa takut memelukku dengan erat hingga bisa kurasakan tubuhku gemetar.
Mungkinkah itu pria yang melakukan kejahatan padaku sebelumnya? Pakaiannya sama, serba hitam dengan topi dan juga sarung tangan sama seperti penguntit tempo hari. Mati aku, pikirku tidak tenang.
Kucari nomor telepon yang saat ini menjadi satu-satunya yang telintas di benakku. Menekan tombol dial dan mendekatkannya ke telinga. Mulutku terus bergumam agar yang sedang kutelepon cepat mengangkat panggilanku.
“Halo, Ayuni?” Teleponnya diangkat.
“Ha-halo, Mas Juna. Bi-bisa dateng ke rumah lagi nggak?” suaraku gemetar, bicara amat pelan seolah takut kalau orang yang kini tengah berdiri di depan pagar sana dapat mendengar.
“Suara kamu kenapa? Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?” tanyanya.
“Tolong saya, Mas. A-ada orang yang ngeliatin rumah, dari tadi dia berdiri di depan pager. Tolong, Mas. Dini sama Rini lagi nggak ada. Orangnya mirip kayak yang waktu di halte bus kemarin,” ucapku dengan suara terdengar seperti ingin menangis, atau mungkin memang itulah yang nyaris terjadi karena saking takutnya.
Kudengar suara decit ban dari seberang telepon, membuatku berasumsi kalau Bos Juna terkejut dan menghentikan laju mobilnya tiba-tiba. “Apa?! Kamu tenang, Mas bakal ke sana sekarang juga. Kunci semua pintu, dan jangan bergerak dari tempat kamu,” suruhnya.
Panggilan telepon berakhir.
Kugenggam ponselku, kemudian mengintip lagi dari tirai jendela. Dan pria itu masih di sana, matanya nanar seakan mencari sesuatu. Perlahan tangan pria itu masuk ke sela pagar, membuka kunci pagar secara perlahan dan tanpa mengeluarkan suara.
Oh, apa yang harus kulakukan? Pria itu masuk ke dalam rumah!
Dengan tangan gemetar kucoba menekan kembali nomor Bos Juna dan meneleponnya. Bersamaan dengan itu, suaraku nyaris berteriak jika saja tidak kutahan ketika kulihat pria itu berjalan ke arahku—pintu.
“Ayuni? Kamu nggak apa-apa, kan? Mas bentar lagi sampai sana, kamu tenang,” katanya berhamburan, ia juga terdengar panik.
“Mas, orang itu udah masuk pager. Saya takut, Mas. Dia ada di depan pintu masuk,” bisikku dengan suara bertambah gemetar.
“Apa?! Kamu kunci pintunya, Mas bentar lagi sampai, kamu jangan biarin dia masuk, oke. Tenang aja, Mas bakal tolongin kamu.”
Aku duduk di depan pintu, tak berani mengintip lagi dari jendela apakah orang itu ada di balik pintu. Kututup mulutku dengan tangan, agar tidak mengeluarkan suara. Ketakutan membuatku menangis tanpa sadar, sekuat tenaga berusaha tenang dan tidak mengeluarkan suara berisik.
Lagi. Aku terkesiap, saat mendengar suara ketukan dari pintu. Tak ada suara yang memanggil dari luar, dan itu membuatku sadar kalau pria itu ada begitu dekat denganku. Hatiku tidak henti untuk berdoa agar pria itu segera pergi, dan tidak masuk ke dalam rumah.
Suara dering teleponku membuatku kaget, lebih parahnya membuatku panik karena suaranya yang keras. Spontan kumatikan panggilan yang entah siapa itu, tidak ingin pria yang ada di luar sana mendengarnya.
Sepertinya terlambat. Suara ketukan di pintu semakin keras, gagang pintu bergerak dengan paksa, seolah orang yang di luar berusaha membukanya. Ditambah dengan dorongan pintu dan dobrakan kecil, membuatku mau tidak mau berteriak. Kutahan sekuat tenaga agar pintu tidak terbuka, memberanikan diri untuk minta tolong.
Mataku membelalak, jantungku seakan berhenti sesaat ketika pintu terbuka dengan kasar menampilkan sosok yang memandangiku dengan pandangan menakutkan.
Tidak, jangan lagi, kumohon!