Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perpustakaan
Happy reading guys :)
•••
Selasa, 7 Oktober 2025
Suara bising terdengar memenuhi seluruh koridor gedung SMA Garuda Sakti. Karena saat ini, bel pertanda istirahat baru saja berbunyi, membuat para siswa-siswi berbondong-bondong keluar dari dalam kelas untuk menuju lapangan, kantin, taman, perpustakaan, dan yang lainnya.
Dari banyaknya siswa-siswi di koridor, terlihat sosok Renata yang sedang berjalan sembari mengukir senyum ceria, dan bersenandung kecil. Gadis itu juga tidak lupa membalas beberapa sapaan dari adik kelas yang berpapasan dengannya.
Renata berbelok arah, memasuki ruangan perpustakaan. Ia mengamati sekeliling, mencari keberadaan dua orang gadis cantik yang sudah memiliki janji dengannya di ruangan ini.
Kedua mata Renata terus mengamati sekeliling ruangan perpustakaan. Namun, dua sosok gadis cantik itu belum juga tertangkap di indera penglihatannya, membuat Renata sedikit mengurangi senyuman di wajah.
“Renata,” panggil Ibu Noer, saat melihat gadis yang menjabat sebagai bendahara OSIS itu berada di areanya.
Mendengar namanya dipanggil, Renata sontak menoleh ke arah belakang. Senyuman yang tadi sedikit berkurang, kini kembali menjadi maksimal. Ia berjalan mendekati Ibu Noer yang sedang berdiri di salah satu rak buku, lalu mencium tangan kanan perempuan paruh baya itu.
“Selamat siang, Ibu,” sapa Renata, sedikit menunduk untuk menatap wajah Ibu Noer.
“Siang, Renata.” Ibu Noer membalas senyuman Renata, seraya mengelus lembut punggung gadis itu. “Ada perlu apa kamu ke sini? Tumben banget ke perpustakaan?”
“Ih, Ibu, mana ada Renata tumben ke perpus? Orang dulu hampir setiap hari Rena ke sini,” ujar Renata, sedikit tidak terima dengan pertanyaan dari Ibu Noer.
Ibu Noer menghentikan elusan pada punggung Renata, menggantinya menjadi cubitan pelan di hidung gadis itu. “Iya, dulu, sebelum kamu jadi bendahara OSIS. Setelah itu, kan, kamu jarang banget ke perpus.”
Renata menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sudah tidak dapat mengelak lagi setelah mendengar perkataan dari Ibu Noer. “Maaf, Bu.”
Ibu Noer melepaskan cubitannya seraya mengangguk. “Iya, gak papa. Ibu paham, kok, kamu pasti lagi sibuk banget. Oh, iya, kamu lagi nyari siapa? Ibu perhatiin dari tadi kayak lagi nyari seseorang.”
“ini, Bu, Rena lagi nyari Angel sama Vanessa, tadi malam kami janjian buat ketemu di sini, tapi dari tadi, Rena belum nemuin mereka berdua,” jawab Renata, mengangkat kepala, melihat beberapa siswa-siswi yang berjalan masuk ke ruangan perpustakaan.
Ibu Noer mengangguk seraya ber-”oh” ria, lalu memilih beberapa buku dari rak, mengambil, dan menaruhnya di meja kosong yang terletak di sampingnya. “Angel sama Vanessa belum datang ke sini, Ren. Mungkin mereka berdua masih di kantin. Coba kamu susulin mereka ke sana.”
“Nggak usah, ah, Bu. Rena di sini aja, nanti mereka juga bakal ke sini, kan?” Renata melihat beberapa buku tebal yang telah diambil oleh Ibu Noer. “Banyak banget, Bu, bukunya, mau buat apa?”
Ibu Noer tersenyum simpul, mengambil beberapa buku dari atas meja. “Ini, Ren, bukunya kemarin lupa Ibu kasih nomer. Jadi, sekarang baru mau Ibu kasih.”
Renata mengangguk paham, kemudian mengambil beberapa buku tebal itu dari atas tangan Ibu Noer. “Sini, Bu, biar Rena bantu bawain ke meja.”
Ibu Noer mengangguk, berjalan menuju meja pribadinya dengan di temani Renata.
Sepanjang perjalanan, kedua perempuan berbeda generasi itu saling mengobrol, sesekali tertawa saat mengingat hal-hal lucu yang telah dilakukan oleh Renata pada masa lalu.
“Ibu, ini buku-bukunya ditaruh di mana?” tanya Renata, melihat meja pribadi milik Ibu Noer yang sangat rapi.
Ibu Noer berjalan mendekati meja, membuka sebuah map dokumen, lalu mengambil beberapa kertas bertuliskan nomer yang ada di sana. “Taruh di lantai aja, Re.”
Renata mengangguk, menaruh buku-buku itu di lantai. Ia mendudukkan tubuh di samping buku-buku itu, menyelipkan rambut depannya ke telinga, mengangkat kepala, melihat Ibu Noer yang baru saja duduk di sampingnya.
“Cape, Ren?” tanya Ibu Noer, menaruh kertas berisi nomer di atas tumpukan buku, lalu mengelap keringat di kening Renata menggunakan tangan kanan.
“Sedikit, Bu. Tapi, gak papa, Rena suka bantu Ibu.” Renata tersenyum simpul ke arah Ibu Noer, mengambil kertas berisi nomer dari atas tumpukan buku. “Nomernya mau ditempeli ke semua buku ini, Bu?”
“Iya, semuanya, Ren. Tapi, kamu gak usah bantu, biar Ibu aja yang nempelin,” ujar Ibu Noer, mengambil kertas berisi nomer dari tangan Renata.
Renata mengerutkan kening seraya memanyunkan bibir. “Loh, kok, gitu, Bu? Rena, kan, juga mau bantuin.”
Ibu Noer mengambil satu buku, mengelupas kertas nomor, lalu menempelkannya di buku itu. “Kamu, kan, mau ketemu Angel sama Renata. Nanti kalo bantu Ibu, kamu gak jadi ketemu sama mereka, dong.”
“Tapi, kan, mereka berdua belum datang ke sini.” Renata mengambil kembali kertas nomor yang Ibu Noer taruh di atas lantai. “Jadi, Rena boleh bantu, ya, Bu? Bosen tau, kalo cuma ngeliatin Ibu doang.”
Ibu Noer menaruh buku yang telah dikasih nomor di samping tumpukan buku yang tadi dirinya ambil. Ia menoleh dan mengangkat kepala, tersenyum simpul saat melihat bibir Renata yang masih manyun.
“Ya, udah, boleh,” kata Ibu Noer, mencubit pelan kedua pipi Renata.
Mendengar perkataan Ibu Noer, membuat Renata sontak bersorak gembira. Ia dengan cepat mengambil beberapa buku dari atas tumpukan, mulai menempelkan nomor-nomor mengikuti petunjuk dari sang pustakawan.
Selama menempelkan nomor, kedua perempuan berbeda generasi itu beberapa kali tertawa, akibat kelakuan dan candaan yang mereka lontarkan.
“Yeay, akhirnya selesai.” Renata menaruh buku terakhir di atas tumpukan, bertepuk tangan pelan, puas dengan hasil kerja dirinya dan Ibu Noer.
“Makasih, ya, Ren, udah mau bantuin Ibu,” ujar Ibu Noer, menggeser tumpukan buku yang sudah memiliki nomor mendekati meja pribadinya.
Renata mengangguk, bersandar dengan bertopang kedua tangan di belakang. “Iya, Ibu Noer yang paling cantik.”
Setelah Renata mengatakan itu, terlihat sosok Angelina dan Vanessa yang baru saja memasuki ruangan perpustakaan. Mereka berdua mengamati sekeliling, berjalan menuju meja Ibu Noer saat melihat Renata berada di sana.
“Selamat siang, Kak Renata, Ibu Noer,” sapa Angelina dan Vanessa secara bersamaan.
Mendengar nama mereka dipanggil, membuat Renata dan Ibu Noer sontak menoleh ke arah belakang, tersenyum simpul saat melihat dua gadis yang sedari tadi telah ditunggu oleh Renata.
“Akhirnya, kalian berdua datang juga,” ujar Renata, melihat Angelina dan Vanessa secara bergantian.
“Maaf, ya, Kak. Gue sama Vanessa agak telat datangnya, soalnya tadi habis nyelesain tugas dulu di kelas,” jelas Angelina.
Renata mengangguk paham, menoleh ke arah Ibu Noer, lalu berpamitan kepada pustakawan itu. Ia bangun dari tempat duduk, mengajak Angelina dan Vanessa untuk duduk di salah satu meja yang ada di perpustakaan.
“Kalian tadi habis ngerjain tugas apa?” tanya Renata, setelah duduk di salah satu kursi meja.
Angelina menarik kursi, duduk di hadapan Renata bersama dengan Vanessa. “Tugas dari bu Kiki, Kak, tentang matriks. Oh, iya, Kak. Ini Vanessa, kata lu kemarin, kan, mau kenalan.”
Renata mengangguk, tersenyum manis ke arah Vanessa, dan mengulurkan tangan kanan ke arah sang adik kelas. “Iya. Vanessa, salam kenal, ya, gue Renata.”
Vanessa membalas senyuman dan uluran tangan Renata. “Salam kenal juga, ya, Kak. Aku Vanessa.”
Angelina menopangkan dagu, ikut mengukir senyuman, melihat Renata dan Vanessa. Ia benar-benar sangat bahagia ketika sang sahabat mendapatkan lebih banyak teman.
“Oh, iya, Kak. Soal permintaan lu kemarin, gue boleh minta tolong, kan, buat jelasin ke Vanessa? Soalnya gue bingung banget, Kak, cara jelasinnya gimana.”
Mendengar pertanyaan Angelina, membuat Vanessa sedikit mengerutkan kening, menatap penuh tanda tanya ke arah sang sahabat. “Jelasin soal apa, Ngel?”
“Biar Kak Renata aja, ya, yang jelasin. Gue beneran bingung harus mulai dari mana,” jawab Angelina, semakin melebarkan senyuman hingga kedua matanya tertutup.
Renata kembali mengangguk, melipat kedua tangan di atas meja. “Iya, gak papa, biar gue aja yang jelasin. Jadi, gini, Van, lu pasti tau, kan, kalo jabatan OSIS angkatan gue udah mau selesai?”
Vanessa hanya mengangguk sebagai jawaban, menatap lekat wajah Renata, mendengarkan baik-baik hal yang ingin disampaikan oleh sang kakak kelas.
“Nah, gue sama anak-anak angkatan, beberapa hari yang lalu udah mulai berunding, buat jadiin lu sama Angel calon ketua dan wakil ketua OSIS yang baru.” Renata melihat sekilas ke arah Angelina. “Kemarin, gue udah bilang ke Angel, tapi dia bilang mau mikir-mikir dulu, sama mau ngomong ke lu dulu soal rencana kami ini. Kalo lu gimana, Van? Lu mau gak nerima rekomendasi dari gue sama anak-anak angkatan kelas dua belas?”
Mendengar semua penjelasan dari Renata, membuat Vanessa terdiam dengan mulut sedikit terbuka dan kedua mata yang melebar. Sama seperti respon yang diberikan oleh Angelina kemarin, Vanessa sekarang juga sangat terkejut saat mendengar dirinya direkomendasikan menjadi pengganti ketua dan wakil ketua OSIS saat ini.
Renata menggenggam tangan kanan Vanessa, kala melihat gadis itu hanya diam setelah mendengar penjelasannya. “Van, lu gak papa, kan?”
Vanessa menggeleng pelan. “Aku gak papa, kok, Kak.”
“Jadi, gimana, Van, lu mau nerima rekomendasinya gak?” tanya Renata, dengan penuh harap.
“Aku gak tau, Kak. Aku bingung, kenapa Kakak dan teman-teman Kakak milih aku buat gantiin posisi kak Fajar sama kak Gita?”
“Jawabannya simple, Van. Karena lu sama gue siswi paling populer di sekolah ini. Gitu, kalo kata Kak Renata kemarin,” sahut Angelina, mengikuti gaya bicara Renata kemarin siang.
Renata yang mendengar Angelina mengikuti gaya bicaranya pun terkekeh.
“Kak Renata,” panggil Vanessa.
Renata menghentikan kekehanya. “Iya, gimana, Van?”
“Ini terlalu berlebihan gak, sih, Kak? Soalnya aku pindah ke sekolah ini aja baru beberapa bulan, terus juga aku gak sepopuler yang Kakak katakan. Aku takut kalo nerima rekomendasi dari Kakak, malah bikin siswa-siswi yang lebih baik dan lebih lama di sekolah ini jadi cemburu.” Vanessa menunduk, menggigit bibir bawah, tubuhnya sedikit bergetar, bayang-bayang buruk atas respons para siswa-siswi mulai memenuhi kepalanya.
Melihat tubuh Vanessa bergetar, membuat Angelina sontak melebarkan mata. Ia dengan cepat memeluk tubuh sang sahabat, memberikan usapan lembut di bahu Vanessa untuk membuat gadis itu kembali menjadi tenang.
Renata yang melihat itu juta tidak tinggal diam. Gadis itu memberikan genggaman lembut dan hangat di kedua tangan Vanessa. “Van, lu gak usah khawatir, gue bisa jamin, gak akan ada yang cemburu sama rekomendasi ini. Malah, anak-anak kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas pasti pada setuju. Please, percaya sama gue. Oh, iya, kalaupun ada yang cemburu, gue sama anak-anak kelas dua belas, pasti bakal jadi tameng buat lu, lu jangan khawatir, Van.”
“Ta … tapi, Kak, aku beneran takut,” gumam Vanessa, suaranya mulai ikut bergetar.
“Ssstt … jangan bilang kayak gitu, Van. Gak ada yang perlu ditakuti, di samping lu selalu ada gue sama Karina yang siap buat jagain lu selama dua puluh empat jam,” ujar Angelina, masih terus memberikan elusan lembut pada bahu Vanessa.
Getaran pada tahun Vanessa perlahan-lahan mulai berhenti. Gadis itu sedikit merasa lebih tenang akibat mendengar perkataan Angelina dan Renata.
Vanessa perlahan-lahan mengangkat kepala, menatap wajah Renata yang terlihat khawatir. “Boleh gak, Kak, kalo aku pikir-pikir dulu?”
Renata mengangguk, mulai mengukir senyum simpul. “Boleh banget, kok, Van. Pemilihannya juga masih satu bulan lagi. Jadi, gak usah terburu-buru, ya, buat ambil keputusan.”
“Makasih, ya, Kak.” Vanessa membalas genggaman tangan Renata.
Suara dering handphone milik Renata berbunyi, membuat sang pemilik sontak melepaskan genggaman dari tangan Vanessa, lalu mengambil benda pipih itu dari dalam saku seragam. Gadis itu melihat nama orang yang meneleponnya dari layar kunci, kemudian mengangkat panggilan telepon itu.
“Halo, Git. Kenapa?” tanya Renata, saat telepon tersambung.
“Halo, Ren. Lu di mana?”
Renata menggaruk pelan hidung. “Gue lagi di perpus, kenapa?”
“Bisa ke ruang OSIS sebentar gak? Ada sesuatu yang harus kita cek.”
“Oke, gue langsung ke sana,” jawab Renata, menyadarkan tubuh pada sandaran kursi.
“Gue tunggu, Ren,” kata Gita, sebelum mematikan sambungan telepon.
Renata menaruh handphone ke dalam saku seragam, melihat ke arah Angelina dan Vanessa secara bergantian. “Ngel, Van, gue pergi duluan, ya, ada masalah sedikit di ruangan OSIS.”
“Iya, Kak. Hati-hati di jalan,” jawab Angelina dan Vanessa secara bersamaan.
Renata bangun dari tempat duduk, tersenyum manis sejenak ke arah Angelina dan Vanessa, lalu berjalan meninggalkan kedua gadis itu di ruangan perpustakaan.
To be continued :)