Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17
Tisha pergi dengan wajahnya yang memerah menahan amarahnya, dia tidak menduga jika Baruna berani dan tak tahu malu berciuman di depan umum.
“Aku akan mencari waktu yang tepat dan cara yang bagus untuk membalas perbuatan kalian padaku!” ancamnya Tisha.
Adinda memukuli dada bidang suaminya ketika pasokan udara di dalam rongga hidungnya stoknya akan habis.
Bugh!!
Bugh!!
Baruna segera tersadar dan mengakhiri kegiatannya yang cukup memakan waktu yang lama.
Baruna kebingungan dengan apa yang sudah dilakukannya, dia tidak habis pikir kenapa bisa berbuat seperti itu.
Adinda menatap tajam Baruna,” apa Om ingin melihat aku kehabisan nafas dan koid gitu sehingga Om menjadi duda kedua kalinya jadi bisa bebas menikahi perempuan plastik tadi ha!?”
“Maafkan Om, aku tidak bermaksud…”
Nafasnya ngos-ngosan dadanya kembang kempis,” maksudnya apa Om!? Apa Om ingin mempermalukan aku di depan umum! Apa Om ingin merusak citra kita berdua!? Orang lain mana tahu kita suami istri Om!?” geramnya Adinda yang kembali memukuli dadanya Baruna.
Baruna tidak mencegah Adinda memukulinya padahal pukulan Adinda cukup keras.
“Ini negeri Konoha Om! Bukan di negara Eropa atau Mamarika yang bebas ciuman sana sini dengan siapapun! Ingat budaya kita budaya Timur bukan barat!” kesalnya Adinda kemudian segera pergi meninggalkan suaminya yang terdiam.
Baruna cosplay jadi patung Pancoran Jakarta dia tidak menyangkal dan tidak membela diri karena memang dia mengakui dirinya lah disini yang bersalah.
Adinda menangis sejadi-jadinya karena ciuman pertamanya diambil oleh Baruna pria yang tidak mencintainya.
Adinda sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan menyerahkan segalanya kepada suaminya yang mencintainya.
Prinsipnya Adinda adalah lebih baik hidup dengan pria yang mencintainya daripada harus hidup dengan pria yang ia cintai.
Adinda mengusap wajahnya dengan kasar dan terus berlari tak tentu arah. Dipikirannya saat ini adalah pergi sejauh mungkin dari pria yang bernama Baruna.
“Om Baruna jahat! Om Baruna sama saja seperti lelaki mata keranjang di luar sana!”
Hingga beberapa menit lamanya Adinda pergi, barulah Baruna tersadar dari lamunannya ketika ponselnya bergetar di dalam saku celananya.
“Astaghfirullah aladzim apa yang sudah aku lakukan!? Pasti Adinda sangat marah padaku,” gumamnya.
Baruna mengedarkan pandangannya ke sekeliling parkiran tapi, tidak menemukan keberadaan dari istri kecilnya. Bahkan dia tidak menghiraukan ponselnya yang terus bergetar.
“Ya Allah Adinda pergi kemana? Kenapa pergi tidak pamitan, bagaimana kalau dia kesasar,” lirihnya yang kemudian berjalan mengitari mobilnya dan masuk ke dalam mobil.
Baruna mengemudikan mobilnya tanpa tujuan dia hanya mengikuti jalan raya yang mungkin dilalui oleh Adinda.
Baruna mengusap wajahnya dengan gusar,” ya Allah jaga dan lindungilah istriku dimana pun dia berada. Aku sangat mengkhawatirkannya ya Allah.”
Sudah setengah jam menyusuri jalan kota tapi tanda-tanda keberadaan perempuan muda itu tak terlihat.
Ponselnya yang terus berdering tak dipedulikannya sedikitpun, bahkan ponselnya kehabisan daya baterai pun tidak diketahuinya karena fokus mencari keberadaan Adinda.
“Maafkan Om, aku tidak bermaksud untuk menyakiti atau mempermalukan kamu. Aku juga heran dengan apa yang aku rasakan dan itu reflek aku melakukannya,” lirih Baruna.
Baruna memicingkan matanya ketika melihat ada siluet perempuan yang persis dengan pakaian yang dipakai oleh Adinda.
“Alhamdulillah akhirnya aku menemukanmu,”
Baruna segera menepikan mobilnya di trotoar badan jalan dan gegas berlari ke arah perempuan yang dikiranya Adinda.
Tanpa segan-segan dia menarik kuat tangan wanita itu,” Adinda kenapa kamu…”
Ucapannya terpotong ketika melihat dengan jelas wajah dari orang yang terputar tubuhnya karena saking kuatnya Baruna menarik tangan orang itu.
“Apaan sih Pak!? Kenapa main tarik-tarik segala!” ketusnya wanita itu.
“Maafin saya Mbak, saya pikir Anda adalah istri saya karena baju yang Mbak pakai warnanya sama,” jelasnya Baruna.
Perempuan itu menatap jengah Baruna, “Besok-besok kalau mencari keberadaan seseorang jangan langsung tarik kayak gini Pak! Sakit tau tangannya saya!” Ketusnya wanita itu.
“Maafkan saya sekali lagi Mbak! Saya benar-benar tidak bermaksud menyakiti Mbak, saya hanya mengkhawatirkan kondisi istri saya,” sesalnya Baruna sambil menundukkan sedikit tubuhnya.
Perempuan itu mendelikkan matanya ke arah Baruna, “Makanya pak jangan suka selingkuh kalau sudah punya istri! Kan kalau pusing kalau istrinya Bapak main kabur-kaburan kayak gini,” sindirnya perempuan itu kemudian pergi meninggalkan Baruna dengan sejuta penyesalannya.
Baruna berdiri di kap mobilnya dengan bersandar sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan malam itu.
“Ya Allah pasti Adinda lapar, dia tidak bawa hp dan dompetnya. Pasti dia kesasar dan ketakutan karena dia jarang ke kota,” gumam Baruna.
Baruna menatap ke arah langit dimana begitu banyak bertaburan bintang-bintang yang berkerlip-kerlip. Bulan purnama malam ini begitu indahnya. Tapi, tidak sanggup membuat perasaannya nyaman dan tenang.
Baruna menyugar rambutnya,” ya Allah aku memang bodoh dan telah lancang melakukannya padahal kami sudah setuju dan berjanji kalau tidak akan melakukan apapun padanya sebelum aku mencintainya.”
Baruna berjalan ke arah pintu mobilnya dan hendak menghubungi siapapun orang yang memungkinkan mengetahui keberadaan Adinda.
“Sial!! Kenapa juga baterainya lowbet disaat seperti ini! Tidak bawa chargernya lagi!” rutuknya Baruna sambil melempar ponselnya ke dasbor mobil.
Baruna melajukan mobilnya ke arah yang berlawanan dari mall tadi.
“Mungkin dia pulang ke kampungnya,” duganya Baruna.
Baruna melupakan kalau dari kampung halamannya Adinda ke kota itu butuh satu jam lebih mengendarai kendaraan kalau jalan kaki silahkan dihitung sendiri mak othor puyeng kalau minta dihitung berapa kilometer jaraknya dari kota sampai ke kecamatan X hehehe.
Baruna melajukan mobilnya menuju rumah Adinda, berselang beberapa menit kemudian. Dia sudah sampai di depan rumahnya Adinda. Tapi, kondisi rumah yang sangat sepi dan sedikit gelap karena hanya lampu depan terasnya yang menyala pertanda bahwa tidak ada penghuninya.
“Astaghfirullah aladzim kamu di mana? Om sangat takut terjadi sesuatu kepadamu.”
Pak Badrun yang baru pulang dari kampung sebelah tanpa sengaja melihat mobil Baruna yang terparkir di depan pagar kayu rumahnya Adinda.
“Bukannya itu mobilnya Pak Kapolsek yah?” Tanyanya pada rumput tetangga eh rumput yang bergoyang.
Pak Badrun berjalan mendekati mobil putih yang terparkir di depan rumahnya Almarhumah Bu Mariana.
Pak Badrun mengetuk kaca jendela mobilnya,” Pak Baruna, apakah benar Anda Pak Baruna suaminya Adinda?”
Baruna yang lagi melamun tersentak mendengar suara seseorang yang mengetuk kaca jendelanya.
Dia buru-buru membuka pintu mobilnya dan turun menemui tetangganya Adinda yang sudah sangat baik kepada istrinya.
“Assalamualaikum, Pak bagaimana kabarnya?” Tanyanya Baruna sambil berjabat tangan dengan Pak Badrun.
“Waalaikum salam, Alhamdulillah baik Pak, apa bapak kemari barengan dengan Nak Adinda?” Tanyanya Pak Badrun yang celingak-celinguk mencari keberadaan Adinda.
Der… jeder…
“Jadi Adinda tidak ke sini kalau tidak ada disini terus kamu ada di mana istriku?” monolognya Baruna.
Baruna salah tingkah,” istriku ada di rumah Pak, kebetulan saya lewat sini jadi mampir lihat-lihat kondisi rumahnya Ibu mertua. Amankan kondisi di kampung sini Pak?”
Keduanya pun berbincang-bincang santai tapi pikirannya Baruna tertuju kepada keadaan istrinya.
“Mampir ke dalam rumah dulu Pak Baruna kebetulan tadi sore habis panen singkong yang banyak,” pintanya Pak Badrun.
“Makasih banyak Pak, insya allah kapan-kapan saja saya akan mampir, mau pulang sudah larut malam soalnya Pak, assalamualaikum,” pamit Baruna.
“Waalaikum salam, hati-hati di jalan Nak,”
Baruna benar-benar dibuat kalang kabut, pusing setengah hidup dan dibuat frustasi dalam waktu yang bersamaan.
“Ya Allah aku harus mencari istriku dimana lagi!?”
Beberapa jam kemudian, Baruna memutuskan pulang ke rumah. Dia sudah cukup kelelahan karena hampir tujuh jam berkeliling mencari keberadaan Adinda.
Baruna memarkirkan mobilnya di dalam carport rumahnya bersama dengan beberapa mobil lainnya.
Dia berjalan gontai ke arah dalam dan matanya membulat sempurna saking terkejutnya melihat siapa sosok orang yang tertawa terbahak-bahak.