Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pria paruh baya itu menyadari kedatangan Verio dan segera menyambutnya dengan senyum licik, penuh kesombongan. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika pandangannya beralih ke sosok Ragna yang menggandeng tangan Verio dengan sikap mesra. Tatapan pria itu membeku, terpaku pada kecantikan Ragna yang memukau malam ini.
Mata pria itu menyusuri Ragna dari ujung rambut hingga ujung kaki, nyaris tanpa kedip, hingga tanpa sadar ia menelan ludah keras-keras. Aura anggun yang terpancar dari gadis itu seolah menjadi magnet, membuat darahnya berdesir tak karuan.
Ragna, yang merasakan tatapan menjijikkan itu, mempererat genggamannya pada tangan Verio, kemudian bersembunyi di belakang tubuh sang ayah angkat. Dalam hatinya, ia menahan dorongan kuat untuk mencungkil mata pria itu dengan belati kecil yang tersembunyi di tasnya.
Verio, yang menyadari perubahan sikap Ragna, menoleh sedikit ke arahnya, memperhatikan raut wajahnya yang dingin namun penuh ketegangan. Lalu, dengan suara rendah namun penuh ancaman, ia berujar kepada pria itu, "Kau menatap sesuatu yang bukan milikmu."
Pria paruh baya itu tergagap, cepat-cepat mengalihkan pandangannya sambil tersenyum canggung. "Oh, maafkan saya... saya hanya tidak menyangka, eh... betapa anggunnya pendamping Anda malam ini."
Verio menyeringai tipis, menepuk tangan Ragna seolah memberi isyarat agar ia tetap tenang. "Dia memang cantik, bukan? Tapi jangan terlalu lama memandanginya, kecuali kau ingin kehilangan sesuatu yang berharga."
Pria itu tertawa gugup, jelas merasakan ancaman terselubung dalam ucapan Verio. Sementara itu, Ragna tetap bersembunyi di belakang Verio, menatap pria itu dengan sorot dingin yang menyiratkan ancaman yang tak kalah mengintimidasi.
Verio dengan santai menarik kursi dan mendudukkan Ragna di sebelahnya. Ragna, meski enggan, tetap menjaga senyumnya, menyadari bahwa ini adalah bagian dari rencana. Pria paruh baya itu masih mencoba bersikap normal, meski pandangannya terus mencuri kesempatan melirik Ragna.
"Jadi, apa tujuan utama dari pertemuan ini?" tanya Verio dengan suara tenang, sambil menuangkan anggur ke gelasnya.
Pria itu tersenyum tipis, berusaha memulihkan kepercayaan dirinya. "Ah, langsung ke intinya, ya? Saya suka gaya Anda, Verio. Saya mendengar Anda adalah orang yang cukup berpengaruh. Saya rasa Anda bisa membantu saya menyelesaikan beberapa... masalah kecil."
Verio mengangkat alis. "Masalah kecil?"
Pria itu bersandar, mencoba menunjukkan kesan santai. "Ya, seorang rekan bisnis saya... atau lebih tepatnya, mantan rekan. Dia menjadi penghalang bagi rencana besar saya. Saya membutuhkan seseorang yang bisa membuatnya... menghilang tanpa meninggalkan jejak."
Ragna, yang sejak tadi hanya tersenyum sopan, akhirnya bersuara. "Dia tidak bekerja dengan sembarang orang, apalagi untuk pekerjaan kotor tanpa alasan jelas." Nada suaranya terdengar manis, tetapi matanya yang tajam mengisyaratkan sesuatu yang berbeda.
Pria itu tertawa kecil, meski jelas gugup. "Tentu, tentu. Saya yakin Anda akan tertarik jika mendengar imbalannya."
Verio melirik Ragna sejenak sebelum mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Dengar, aku tidak tertarik pada uang, apalagi jika urusannya melibatkan orang yang tidak tahu tempatnya. Jadi, sebelum kau melangkah lebih jauh, aku ingin tahu... apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
Pria itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berbisik, "Mikhael Narendra. Saya tahu dia juga menjadi masalah Anda. Kita punya musuh yang sama."
Senyum kecil terulas di wajah Verio, samar tapi mematikan. "Ah, jadi ini soal Mikhael? Kau tahu, aku tidak suka bekerja sama dengan orang yang hanya tahu bicara."
Pria itu tersenyum kaku, lalu mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya. "Ini semua informasi yang Anda butuhkan. Termasuk kelemahan-kelemahan Mikhael."
Ragna menoleh sekilas ke arah dokumen itu, matanya menyipit. "Papa," bisiknya pelan.
Verio hanya tersenyum tipis, lalu mengambil dokumen itu dengan santai. "Kita lihat nanti apakah informasi ini berguna atau tidak. Tapi jika aku menemukan satu kebohongan saja, kau tahu konsekuensinya, bukan?"
Pria itu mengangguk cepat. "Tentu, tentu. Saya yakin Anda akan puas."
Ragna menatap pria itu tajam. Dalam hati, ia berjanji, jika pria ini berani bermain-main dengan mereka, maka ia sendiri yang akan menyelesaikannya dengan caranya yang "khusus."
✨
Ragna tiba di sekolahnya dan langsung mendapatkan sambutan yang tidak menyenangkan, seperti biasa. Bisik-bisik terdengar di setiap langkahnya seperti dengungan lebah yang mencari sarang baru.
Beberapa siswa menatap Ragna kagum, sisanya menatap gadis itu penuh rasa cemburu. Wajah yang sangat cantik dengan otak jenius, membuat para perempuan khawatir kekasih atau orang yang disukainya akan melirik ke arah Ragna.
Seorang siswi dengan nametag Silvi tiba-tiba menghampiri Ragna dan menjatuhkan diri di hadapan gadis itu, membuat suasana mendadak tegang.
"Hiks...hiks... Ragna, maafkan aku. Aku nggak bermaksud mengganggu hubunganmu dengan kak Reynold." Ucapnya sambil menangis sesegukan.
"Ragna! Apa yang kau lakukan?!" Teriak seorang pemuda sambil menghampiri mereka. Dia menatap Ragna dengan penuh amarah dan menenangkan Silvi yang menangis sesegukan.
Ragna memutar matanya malas dan memilih pergi, namun Reynold mencekal tangannya dan melayangkan tamparan ke arah gadis itu.
'Tap'
"Astaga, kau hanya berani bermain seperti ini? Kenapa kai pengecut sekali?" Ucap Ragna tajam, "Bagaimana kalau kita duel di lapangan? Aku muak terlihat drama pangeran dan Cinderella seperti ini setiap hari."
Suasana di sekitar mereka semakin tegang saat tamparan Reynold mengenai pipi Ragna, namun gadis itu tetap tenang, matanya memancarkan ketidakpedulian yang membuat Reynold semakin kesal.
"Kenapa? Cuma bisa tampar?" Ragna menyeringai, suaranya datar namun menusuk. "Kalau kau pikir ini akan membuatku takut atau merasa bersalah, kau salah besar."
Reynold menggertakkan giginya, masih memegangi tangan Ragna yang coba dilepaskannya. "Jangan bertindak seenaknya, Ragna. Kau sudah membuat Silvi merasa sangat buruk."
Ragna menatapnya dengan mata penuh kebosanan, seperti sudah sering mendengar alasan serupa. "Oh, jadi masalahnya sekarang aku? Kenapa bukan si Silvi itu yang belajar untuk menjaga jarak, ya? Atau mungkin... mungkin kalian berdua hanya suka mencari perhatian," ujarnya sarkastik.
Melihat Ragna tidak gentar sedikit pun, Reynold menarik napas dalam-dalam. "Kau memang selalu seperti ini, ya? Tidak ada rasa malu sedikit pun."
Ragna tertawa kecil, masih tidak terganggu dengan sikap Reynold. "Malu? Kenapa aku harus malu? Ini bukan masalah pribadi, hanya urusan kecil yang tak perlu diperdebatkan." Ragna melepas genggaman tangan Reynold dan melangkah mundur. "Kalau kau ingin berdamai dengan si Silvi itu, silakan. Aku nggak peduli. Aku sudah muak dengan drama kalian."
Reynold menatapnya dengan kemarahan yang mulai mereda, tapi masih tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Sementara Silvi, yang masih terisak, mendekati Reynold dan berusaha menenangkan dirinya.
Ragna hanya melirik sekali ke arah mereka, lalu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan keduanya dalam kebingungan dan ketegangan yang masih menggantung.
✨
Ragna dan Althea menghabiskan waktu istirahat di cafetaria sekolah. Keduanya tampak menikmati makan siang dengan tenang.
Althea mengawasi sekitar dan ekor matanya matanya memicing saat melihat Silvi yang mencoba mencelakai Ragna, terlihat dari caranya berjalan dengan nampan berisi kuah panas.
"Silvi sedang mencoba mencari masalah denganmu. Apa yang akan kau lakukan?"
Ragna tersenyum dan menyalakan bom molotov kecil rakitannya secara diam-diam dan...
'Bom!'
Ledakan kecil terjadi di cafetaria sekolah, membuat semua siswa panik dan berlari ketakutan meninggalkan cafetaria. Bahkan Althea hanya bisa memekik kaget dan menatap gadis itu dengan kesal.
Ragna memandang dengan tenang ke arah Althea yang tampaknya terkejut dengan ledakan kecil yang baru saja terjadi. Suasana di cafetaria berubah dalam sekejap, para siswa berlarian meninggalkan cafetaria, sementara Ragna masih duduk dengan santai, menyaksikan kekacauan yang ditimbulkannya.
Althea menatap Ragna dengan tatapan yang tidak bisa disembunyikan, campuran rasa kesal dan bingung. "Kau benar-benar seperti saudara angkatku. Dia juga suka membuat masalah seperti ini."
Ragna mengangkat bahu dan tersenyum sumbing, "Aku hanya tidak bisa tahan melihat drama yang mereka buat. Seseorang perlu mengajarkan mereka untuk berhenti mengganggu orang lain."
Althea menggelengkan kepala, tidak bisa memutuskan apakah ia harus terkejut atau justru tertawa. "Kau membuat semuanya semakin rumit, Ragna. Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Jangan khawatir," jawab Ragna sambil mengambil napas panjang. "Aku sudah mengatur semuanya. Silvi akan mendapatkan pelajaran kecil tentang bagaimana menghargai orang lain."
Althea menatapnya dengan kesal, namun juga ada rasa penasaran yang timbul. "Kau tidak takut pada konsekuensinya? Kalau sampai mereka tahu ini semua ulahmu..."
Ragna hanya tertawa ringan, "Jangan khawatir, Althea. Mereka tidak akan pernah bisa membuktikan apa-apa. Aku tahu caranya untuk tetap berada di luar jangkauan mereka."
Namun, tiba-tiba langkah-langkah berat terdengar dari pintu masuk cafetaria. Seorang guru dengan wajah penuh amarah memasuki ruangan, diikuti oleh kepala sekolah yang tampak terkejut dengan kekacauan yang terjadi.
"Siapa yang bertanggung jawab atas ledakan ini?" teriak sang guru dengan nada serius. Semua mata tertuju pada Ragna, yang dengan tenang terus menyantap makanannya.
Althea menatap Ragna dengan cemas, namun Ragna tetap tenang. "Itu... hanya kecelakaan kecil, Pak. Mungkin ada kerusakan di dapur atau sistem pemanas. Tidak perlu khawatir."
Namun, ekspresi kepala sekolah semakin serius. "Kecelakaan atau bukan, kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi. Ragna, kau harus ikut ke ruang kepala sekolah sekarang juga."
Ragna tersenyum dingin. "Tentu, Pak. Tapi jika saya ikut, pastikan kalian punya bukti yang cukup untuk menyalahkan saya."
Althea menatapnya dengan takjub. "Kau memang tak terduga, Ragna."
✨
Tiga pria dewasa memasuki ruang kepala sekolah dengan langkah tegas. Stevan, pria yang mengenakan jas formal mahal, tampak begitu khawatir sambil melirik ke arah pintu ruang kepala sekolah. Di sampingnya, dua pria lainnya—Verio dengan pakaian kasual namun elegan dan Leon yang tampak lebih santai—hanya saling melirik, seakan sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
"Silvi, aku harap kau baik-baik saja, princess kecilku," gumam Stevan dengan wajah cemas, matanya penuh kekhawatiran meskipun suaranya tetap terjaga.
Sementara itu, Verio dan Leon hanya berjalan dengan ekspresi tenang, sudah terbiasa dengan kenakalan putri mereka yang selalu berujung di ruangan ini. Mereka lebih memilih untuk tidak ikut campur, meskipun mereka tahu bahwa drama ini pasti ada kaitannya dengan anak-anak mereka.
Sesampainya mereka di dalam ruang kepala sekolah, suasana terasa tegang. Beberapa siswa sudah berada di dalam ruangan, dan di sudut ruangan, Silvi tampak menangis sesegukan di pelukan teman laki-lakinya, sementara dua orang lainnya hanya berdiri dengan ekspresi kosong dan acuh tak acuh.
"Papa~" Silvi menghamburkan diri ke pelukan Stevan, suaranya penuh isak tangis. "Aku takut, Pa, hiks..."
"Ah, hai, Pa. Hehe..." Ragna menyapa Verio dengan senyum canggung, mencoba menghindari tatapan serius pria itu. Namun, Verio hanya bisa menghela napas panjang dan melirik Ragna dengan pandangan lelah.
"Ayah, aku tidak tahu kenapa aku diseret kemari." Althea berkata dengan ekspresi polos, menghadapi Leon yang hanya menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Leon mengangguk sedikit, seolah mengerti situasinya.
Kepala sekolah, yang sudah siap dengan penjelasan panjang lebar, tersenyum ramah kepada mereka. "Ah, Pak Stevan, Pak Verio, Pak Leon. Silakan duduk," ucapnya dengan suara yang terdengar terlalu formal, seolah menyembunyikan niat di balik senyuman tersebut.
Verio dan Leon duduk di kursi yang disediakan, namun tatapan mereka menunjukkan bahwa mereka tidak begitu percaya dengan senyum ramah kepala sekolah itu. Mereka berdua tahu betul bahwa senyuman itu bukanlah sesuatu yang tulus. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan.
Kepala sekolah menjelaskan alasan memanggil ketiga pria itu sambil melebih-lebihkan cerita, membuat Althea dan Ragna saling bertukar pandang dengan ekspresi datar.
"Kenakalan Ragna cukup memprihatinkan. Dia mengganggu Silvi, yang merupakan donatur terbesar sekolah ini. Karena itu, saya berniat memberikan skors selama sebulan agar dia bisa merenungkan kesalahannya. Adapun Althea, dia dipanggil karena kedekatannya dengan Ragna, yang bisa membawa pengaruh buruk," ucap kepala sekolah, nada suaranya penuh dengan kepalsuan.
Verio dan Leon menatap kepala sekolah itu dengan pandangan tajam. Suasana di ruangan itu menjadi dingin, seperti badai yang siap melanda.
Verio, dengan senyum sinis yang penuh sarkasme, melipat tangannya. "Ya ampun, ternyata hanya drama murahan tanpa substansi. Kalau kau merasa putriku tidak pantas bersekolah di sini, katakan saja secara langsung, Pak. Tidak usah bertele-tele."
Dia melirik ke arah Ragna, yang duduk dengan wajah dingin, sorot matanya penuh kekesalan yang tertahan. "Ragna, aku benar-benar tidak menyangka kau memilih tempat seperti ini. Tempat sampah yang mengaku sebagai sekolah. Tempat ini membuat citraku buruk, hanya karena seseorang yang bahkan tidak mampu mendidik putrinya sendiri dengan baik," lanjut Verio dengan nada yang memotong, tatapannya tertuju ke Stevan, ayah Silvi, yang tampak mulai memerah karena marah.
Leon, yang sebelumnya diam, mendesah panjang sebelum ikut angkat bicara. "Aku setuju denganmu, Verio. Aku bahkan meninggalkan pekerjaanku hanya untuk mendengar masalah picisan seperti ini. Althea, tempat ini tidak pantas untukmu. Kita cari sekolah yang mendidik manusia, bukan tempat yang mengagungkan kekuasaan orang tua kaya."
Stevan, yang sedari tadi menahan amarahnya, berdiri dengan wajah merah. "Kalian berdua terlalu lancang! Apa kalian tahu berapa banyak kontribusi yang diberikan keluarga kami untuk sekolah ini?"
Verio tersenyum kecil, matanya menyipit tajam. "Kontribusi, ya? Kalau begitu, mungkin kau harus mulai belajar bedakan antara donasi dan membeli kekuasaan. Ini sekolah, bukan perusahaan keluargamu."
Leon menambahkan dengan nada datar yang menusuk. "Dan jika donasimu hanya menghasilkan moral rendah seperti ini, aku rasa kau lebih baik menyumbangkannya ke tempat yang lebih membutuhkan. Bukan membayar untuk mencoreng nama baik siswa lain."
Ragna dan Althea hanya diam, menyaksikan perdebatan itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Namun, dari tatapan Ragna, terlihat jelas bahwa dia merasa lega karena ayahnya berdiri membelanya dengan lantang.
Pada akhirnya, Verio bangkit berdiri. "Ragna, kita pergi. Jangan buang waktu lebih lama di sini. Kita akan cari sekolah yang lebih layak. Kepala sekolah, terima kasih atas drama kecilnya."
Leon juga berdiri, menggandeng tangan Althea. "Kalian bisa terus hidup dalam sistem ini. Kami tidak tertarik untuk jadi bagiannya."
Dengan langkah tegas, keduanya keluar dari ruangan itu, meninggalkan kepala sekolah dan Stevan dalam amarah yang tak terungkap.
Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Verio, Leon, Ragna, dan Althea berjalan menyusuri lorong sekolah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Suasana di antara mereka terasa tegang, namun aura kemenangan yang tersirat di wajah Verio dan Leon menciptakan atmosfer yang penuh otoritas.
Saat mencapai halaman sekolah, Verio berhenti sejenak, menatap Ragna dengan tatapan tegas. "Aku harap ini jadi pelajaran buatmu. Jangan pernah buang waktumu di tempat yang bahkan tak layak menyebut namamu."
Ragna menatap Verio, sorot matanya berbinar meski wajahnya tetap dingin seperti biasa. "Aku mengerti, Papa. Terima kasih... sudah membelaku."
Leon, yang berdiri di samping Althea, menatap putrinya dengan lembut sambil menepuk pundaknya. "Althea, mulai besok kita akan cari sekolah baru. Kau lebih pantas berada di tempat yang memperlakukanmu dengan hormat."
Althea mengangguk penuh semangat. "Aku mengerti, Ayah. Tapi aku nggak pernah menyesal berteman dengan Ragna. Dia salah satu hal terbaik yang pernah terjadi di hidupku... sekaligus sangat mirip dengan tokoh antagonis wanita favoritku."
Ragna melirik Althea, dan untuk pertama kalinya hari itu, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. "Terima kasih, Althea. Aku juga merasa beruntung punya teman sepertimu."
Verio melirik Leon dengan senyuman kecil yang bercampur ejekan. "Kurasa kita harus membiarkan mereka tetap berteman. Tapi jangan harap aku akan membiarkan Ragna terjebak dalam drama seperti ini lagi."
Leon mengangguk setuju. "Begitu juga dengan Althea. Anak-anak kita terlalu berharga untuk dihabiskan dengan permainan kekuasaan murahan seperti ini."
Tanpa banyak kata lagi, Verio memberi isyarat pada Ragna untuk masuk ke mobilnya, sementara Leon dan Althea berjalan menuju kendaraan mereka sendiri. Sebelum berpisah, Leon menatap Verio dengan tatapan penuh penghargaan. "Aku senang kau ada di pihak kami, Verio. Kau bicara seperti pengacara terbaik yang pernah kulihat."
Verio menyeringai kecil. "Ini bukan soal bicara, Leon. Ini soal siapa yang tahu cara menghancurkan lawan. Sampai jumpa."
Di dalam mobil, Ragna duduk dengan tatapan menerawang. Hatinya dipenuhi perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan sedikit puas.
"Jadi," suara Verio memecah keheningan, "apa rencanamu sekarang?"
Ragna mengalihkan pandangannya ke arah Verio, matanya memancarkan kilatan tekad. "Mungkin aku akan mengikuti jejak Papa. Di kota seperti ini, predikat anak baik terlalu sempit untukku. Aku ingin mempelajari caramu... dan suatu hari, aku akan menggantikan posisimu."
Verio menatapnya dengan tatapan puas dan penuh kebanggaan. "Itu yang ingin kudengar. Tapi ingat, Ragna, siapa pun yang mencoba menyakitimu lagi, jangan pernah ragu untuk melawan. Aku selalu ada di belakangmu."
Ragna mengangguk pelan, senyum tipis kembali muncul di wajahnya. Dalam hatinya, dia tahu ini bukanlah akhir dari perjalanannya. Justru, ini adalah awal untuk membuktikan bahwa dirinya bisa bangkit lebih kuat. Bukan hanya untuk membalas, tetapi untuk menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang tak bisa dihancurkan oleh siapa pun.
Semangat author...jangan lupa mampir 💜