"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 13
Ia pernah menikah saat ia berumur 20 tahun, pernikahan itu berjalan selama 2 tahun, dan selama
itu Ruben tidak pernah menyentuhnya. Pria itu menjadikan Ariella tetap perawan semata-mata karena dia tidak normal.
Padahal sebelumnya Ariella penasaran, meskipun ia sendiri memiliki trauma karena penolakan suaminya itu, ia terus bertanya-tanya apakah ia bisa merasakan percintaan yang hebat, tetapi percintaan yang ia inginkan adalah hubungan dengan pria yang ia cintai.
Bukan pria asing, menakutkan, dan bermata tajam seperti pria di atasnya itu.
"Kau tidak bersuara, kupikir kau pingsan," bisik Carlton, semakin senang karena Ariella diam saja kecuali mengeluarkan suara napas yang keras. Sejak dulu, Carlton memang tidak suka wanita yang berisik di atas tempat tidur.
"Kau tahu, Ariella. Aku pernah menikah, pernikahan kami hanya berjalan selama beberapa bulan."
Carlton menggeram, menekan mulutnya ke nadi di leher Ariella.
"Aku bahkan berpikir itu bukan pernikahan, tetapi hanya sebuah perjanjian politik."
Suara ikat pinggang yang dilempar jatuh ke seberang kamar membuat jantung Ariella seolah lepas dari dadanya.
"Melody gadis yang lugu dan cantik, aku sangat membencinya karena dia pengkhianat. Padahal kupikir dia berbeda dari gadis-gadis lainnya. Setelah kupikirkan lagi, kalian itu satu jenis, dan kau tidak berbeda dari mereka."
Carlton tertawa pendek.
"Hentikan... Tuan Carlton. Aku tidak sama seperti mantan istrimu, atau siapa pun wanita yang pernah bersamamu. Aku hanya ingin dilepaskan, aku mohon."
"Jangan terus-terusan memohon, semakin kau melakukannya. Semakin aku tidak ingin melepaskanmu."
Ariella kehabisan kata-kata, lidahnya seolah kelu, seolah Carlton telah mengambil alih fungsinya.
"Kau penjahat!"
"Semua orang yang mengenalku mengatakan aku bahkan lebih buruk dari penjahat."
"Lepaskan aku!"
"Tidak sekarang."
Seringai di mulut Carlton semakin lebar, dan bersamaan dengan itu Carlton menyerang Ariella, ia memaksanya membuka mulut. Gadis itu tersengal-sengal setelah ia memberinya kesempatan bernapas, ketakutan setengah mati,dan Carlton tidak pernah ingat bahwa ia sangat menyukai ekspresi seperti itu.
"Menyerahlah, maka aku akan melakukannya dengan lembut."
"Tanganku sakit."
"Kau ingin aku melepaskannya?"
Ariella tidak dapat menahan air matanya, ia mengangguk. Dengan cepat Carlton melepaskan benda yang menahan tangan Ariella.
Pria itu melepaskan tangan Ariella, dengan cepat gadis itu terbebas, tetapi Ariella sudah terlalu letih untuk mengambil kesempatan memberontak, jadilah ia hanya terbaring di sana, dengan mata berkabut dan bibir bengkak yang terbuka kecil.
Lalu, tangan Ariella diraih oleh Carlton. Pria itu menahan kepala Ariella agar menatap ke samping, sementara bibir lelaki itu mendekati pergelangan tangan Ariella yang memerah. Di sana sangat menyakitkan, tetapi saat Carlton membubuhkan kecupan kupu-kupu, napas Ariella seolah terhenti.
"Sakit?"
Gadis itu tidak menjawab. Carlton
menyapukan sentuhan lembut di sepanjang memar itu sampai Ariella bernapas cepat.
Ini tidak benar.
Tidak seharusnya Ariella merasakan hal seperti itu pada pria yang berniat menyakitinya, seharusnya Ariella marah, memberontak dan juga memakinya, tetapi di sanalah ia, terpana, begitu rapuh dalam godaan.
Mulut Ariella terbuka, bibirnya bergetar seraya berkata, "Kau mencintainya."
Carlton berhenti.
"Apa?"
"Kau mencintai lukaku."
"Mencintai? Jangan bercanda."
"Ya, kau mencintainya."
"Cinta, cinta. Jangan bicara soal itu denganku, sialan! Aku benci mendengarnya!"
Carlton benar-benar berhenti total. Ekspresi di wajahnya lebih gelap daripada sekadar kemarahan sebelumnya. Ia langsung menegakkan tubuh, menyingkir dari atas Ariella dan menatap gadis itu dengan tatapan dingin.
"Pergi."
Ariella bangkit dengan susah payah. Rahang Carlton mengeras.
"Pergi!"