Cahaya Yang Tak Pernah Sampai

Sore itu, Arga duduk di ruangannya dengan pandangan mata yang lebih gelap dari biasanya. Ia baru saja menerima laporan bahwa Rara terlihat bertemu dengan Bayu di sebuah kafe setelah wawancara. Meskipun ia berusaha mengabaikan kabar itu, pikirannya terus terusik.

Nanda, yang sudah terbiasa membaca suasana hati Arga, masuk membawa dokumen tetapi langsung menyadari ketegangan di ruangan itu. "Bos, kenapa murung?" tanyanya sambil menaruh dokumen di meja.

"Tidak ada apa-apa," jawab Arga singkat, namun nada suaranya terdengar sedikit tajam.

Nanda menyipitkan mata, mencium ada sesuatu yang aneh. "Oh, ini pasti soal Rara dan Bayu, ya?" godanya sambil menyeringai.

Arga mendongak, menatap Nanda dengan tajam. "Apa maksudmu?"

Nanda tertawa kecil, tidak takut dengan tatapan dingin itu. "Yah, Bayu itu kan memang tipe orang yang mudah dekat dengan siapa saja. Tapi melihat bos seperti ini... sepertinya ada yang merasa terganggu"

Arga menghela napas panjang, mencoba menutupi perasaannya. "Rara boleh bertemu siapa pun. Itu bukan urusanku."

Namun, Nanda tidak berhenti di situ. "Tapi jelas sekali kamu nggak suka. Jangan-jangan kamu cemburu, Bos?"

Arga terdiam. Kata-kata Nanda mengenai perasaannya membuatnya berpikir. Ia tahu Bayu adalah adiknya sendiri, dan ia juga tahu hubungan Bayu dengan Rara murni pertemanan. Tapi tetap saja, bayangan mereka bersama membuatnya merasa tidak nyaman.

"Sudahlah," kata Nanda sambil tersenyum, "kalau kamu memang peduli, mungkin ini saatnya kamu lebih jujur pada dirimu sendiri. Daripada marah-marah sendiri, kenapa nggak kamu bicara langsung dengan Rara?"

Arga tidak menjawab, namun pandangan matanya yang sedikit melembut menunjukkan bahwa kata-kata Nanda menyentuh sesuatu di dalam hatinya. Ia mungkin dingin dan tertutup, tapi kali ini, perasaan itu sulit ia abaikan.

Malamnya, saat Rara kembali ke rumah, ia disambut oleh tatapan dingin Arga yang tampak lebih tajam dari biasanya. Tanpa basa-basi, Arga langsung berkata dengan nada serius, "Aku ingin menikah denganmu."

Rara, yang baru saja melepas sepatu, terdiam. Ia menatap Arga dengan mata melebar, tak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Menikah?"

Arga mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi. "Ya."

Rara menggeleng, mencoba memahami maksud di balik kata-kata itu. "Arga, aku rasa ini tidak masuk akal. Aku tidak setuju."

Namun, sebelum Rara bisa melanjutkan penolakannya, Arga berbicara lagi, lebih tegas. "Pernikahan ini hanya untuk kepentingan bisnis."

"Kepentingan bisnis?" tanya Rara, masih bingung.

"Ya," jawab Arga sambil menatap lurus ke arahnya. "Aku membutuhkan pernikahan ini untuk memperkuat citra perusahaan ku di hadapan investor. Dan kau..." Ia berhenti sejenak, seolah memastikan kata-katanya tersampaikan dengan jelas. "Bukankah aku sudah banyak membantumu selama ini? Sekarang saatnya kau membantu aku."

Kata-kata itu membuat Rara terdiam. Ia tahu Arga benar. Pria itu telah banyak membantunya, memberikan tempat tinggal, pekerjaan, dan perlindungan dari tekanan di rumah keluarganya. Tapi menikah? Bahkan jika itu hanya untuk kepentingan bisnis, ide itu terasa terlalu besar.

Namun, rasa tanggung jawabnya perlahan mengalahkan keraguannya. Dengan suara pelan, ia akhirnya berkata, "Baiklah. Kalau itu yang kau butuhkan... aku akan melakukannya."

Rara menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya sebelum menambahkan, "Tapi, ada satu syarat Arga."

Arga menatapnya dengan alis sedikit terangkat. "Apa itu?"

"Di perusahaanmu, aku hanya ingin dianggap sebagai karyawan biasa," jawab Rara tegas. "Aku tidak mau orang-orang tahu tentang ini. Besok aku mulai bekerja, dan aku ingin suasana tetap profesional. Jangan membuat keadaan jadi canggung."

Arga terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. "Baiklah," katanya datar. "Lagian, aku juga akan melakukan perjalanan dinas selama beberapa minggu. Selama aku pergi, kau bisa fokus bekerja. Setelah aku kembali, baru kita urus pernikahan."

Rara terkejut mendengar pernyataan itu, tapi ia mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Perjalanan dinas? Ke mana?"

"Itu bukan urusanmu," jawab Arga singkat, lalu melangkah menuju ruang kerjanya.

Rara hanya bisa menghela napas panjang. Ia merasa hidupnya semakin rumit, tapi ia tahu ia sudah membuat keputusan. Dengan hati yang berat, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya sementara.

Sementara itu, Arga menutup pintu ruang kerjanya dan bersandar sejenak. Ia tahu hubungan mereka akan semakin kompleks, tapi ia juga tahu satu hal: Rara mulai menjadi bagian penting dalam hidupnya, meskipun ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Baginya, pernikahan ini bukan hanya soal bisnis, meskipun ia tidak akan pernah mengakuinya. Di sisi lain, Rara merasa hatinya berat. Meski ia setuju, ia tidak bisa menghilangkan rasa keraguan yang terus menghantuinya.