Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10 Jangan Baper!
Setelah Abel atau Ana, diajak berkeliling untuk diperkenalkan kepada semua orang yang bekerja di rumah Oma, ia kemudian diajak ke sebuah tempat yang tidak jauh dari kediaman Oma.
Tempat itu adalah sebuah butik pakaian etnik yang memproduksi kebaya, baju-baju bordiran, serta pakaian formal yang dibuat dengan tangan. Butik itu berada di sebuah rumah besar dengan desain unik, dihiasi ukiran batik di bagian depannya.
"Ini tempat Oma sehari-hari menghabiskan waktu dulu tapi sekarang ya udah kurang karena oma sering sakit maklum udah tua. di sinilah Oma sibuk Dulu ya sampai, sekarang sesekali aja, Tempat ini sudah ada selama 25 tahun. Awalnya sih untuk mengisi waktu kosong saat anak-anak Oma mulai besar dan cucu-cucu sudah sibuk dengan dunia mereka masing-masing," cerita Oma sambil tersenyum kecil.
"Bagus sekali bangunan rumahnya," puji Ana sambil mengagumi arsitektur butik tersebut.
Oma tersenyum bangga. "Oma memang suka yang klasik dan unik. Nah, ayo masuk."
Ana menoleh dengan kagum. "Oma seorang fashion designer?" tanyanya penasaran.
"Awalnya, Oma cuma hobi jahit baju sendiri. Lama-lama, ada yang suka, katanya bagus. Jadi Oma mulai serius. Ikut kelas, sekolah lagi, dan terus belajar sampai bisa seperti sekarang ya walaupun akhirnya ya kerabat-kerabat oma yang lanjutin, Oma udah nggak sanggup paling sesekali," jawab Oma dengan nada riang.
"Hebat sekali, Oma," puji Ana tulus, membuat Oma tersenyum semakin lebar.
Di dalam butik, Oma memperkenalkan Ana kepada semua pekerja. Mereka menyambutnya dengan ramah. Ana mengikuti Oma ke mana-mana, sambil membawa beberapa barang milik Oma seperti tumbler minuman dan tas kecil berisi berbagai printilan Oma.
Di tempat lain, di sebuah ruang pertemuan, Auriga duduk sebagai salah satu peserta utama dalam rapat yang membahas pengembangan proyek besar. Namun pikirannya tiba-tiba melayang ke wanita asing itu.
Ana.
Apa yang dilakukannya sekarang bersama Oma? Jangan sampai ada kekacauan.
Merasa perlu memastikan, Auriga mengambil ponselnya dan menekan nomor rumah Oma. Panggilan itu diangkat oleh salah satu pembantu.
“Oma?”
"Mas Auriga?" suara di seberang terdengar ceria.
"Ya, ini saya. Oma ada di rumah?" tanyanya dengan nada serius.
"Oh, Oma sudah pergi sama Mbak Ana sejak sore tadi. Katanya mau ke butik," jawab si pembantu santai.
Auriga mengerutkan kening. "Semuanya aman kan? Oma baik-baik saja?"
"Baik-baik saja, Mas. Oma malah kelihatan senang banget sekarang ada temannya. Mbak Ana juga baik kok," balas si pembantu.
"Hmm, baiklah," jawab Auriga pendek sebelum menutup telepon tanpa menambah komentar.
Auriga sengaja tidak menelepon langsung ke Oma. Ia tahu, jika telepon itu diangkat, kemungkinan besar akan dilakukan oleh Ana, mengingat ia pasti yang membawa tas Oma. Dan Auriga tidak ingin berinteraksi langsung dengannya. Belum.
***
Beberapa jam kemudian
Malam sudah larut. Dalam hitungan menit, jarum jam akan menunjukkan pukul 00. Itu artinya, usia Abel genap 18 tahun. Di luar balkon lantai dua, ia duduk sendirian. Langit malam itu cukup terang, seakan ikut menemaninya.
Abel memeluk lututnya erat-erat, tangisnya terpendam dalam gelap. Di tangannya, sebuah korek api yang ia temukan di ruangan lantai dua tadi. Ia menyalakan nyala kecil itu, satu-satunya cahaya dalam kesendiriannya.
“Selamat ulang tahun, Abel,” bisiknya kepada diri sendiri. “Kali ini berbeda, ya. Cuma ditemani langit dan satu korek api. Selamat datang di dunia orang dewasa.”
Ia menarik napas panjang, menghapus air matanya yang tak kunjung kering.
“Hai, Papa. Sampai hari ini, putrimu mungkin masih belum menjadi apa-apa. Maafkan aku yang selalu menyusahkanmu sejak kehadiranku di dunia ini... Hingga hari ini.”
Suaranya semakin kecil, bergetar. Tangannya memegang erat korek api yang sudah mati.
“Hai, Mama. Putrimu yang kau tinggalkan ini sudah 18 tahun. Kita bahkan belum pernah bertemu, ya? Tapi aku sudah sebesar ini. Sampai sekarang, Papa masih sendiri. Dia belum menggantikanmu. Aku tahu dia kesepian, dan kadang aku juga merasa demikian. Tapi... aku bahagia menjadi anak kalian. Semoga Mama bahagia di surga sana. Aku dan Papa di sini baik-baik saja. Selamat ulang tahun, Abel. Putri Papa dan Mama...”
Di dalam rumah, langkah kaki pelan terdengar naik ke lantai dua. Itu Auriga. Ia baru saja selesai dengan urusan bisnisnya, kembali dari meeting dan makan malam yang melelahkan.
Seperti biasa, lantai dua rumah itu gelap. Hanya ada beberapa ruangan di sana: kamar-kamar, ruang baca, dan balkon tempat Abel kini berada.
Ketika ia membuka pintu yang mengarah ke balkon, angin malam menyambut dengan dingin. Matanya langsung menangkap sosok kecil yang tengah duduk di sana, memeluk lutut sambil menangis. Itu Ana, wanita asing yang kini ada di bawah tanggung jawab Oma.
Auriga mendekat perlahan kr tempat tamaram itu, langkahnya nyaris tak bersuara. Tatapannya dingin, mencoba membaca situasi. Anak itu memegang korek api, wajahnya basah oleh air mata. Dia tampak rapuh, berbeda jauh dari sikap ceria yang ia tunjukkan di depan Oma.
Auriga berdiri di ambang pintu, mempertimbangkan sesuatu. Haruskah aku menegurnya? Bertanya? Atau berpura-pura tidak tahu? Pikirnya. Namun, akhirnya ia memilih untuk berdeham, cukup keras untuk membuat Abel terkejut.
Gadis itu langsung menoleh, wajahnya pucat dan panik. “M-Mas?” katanya dengan suara gemetar. Ia cepat-cepat bangkit, seakan takut Auriga mendengar sesuatu yang tidak seharusnya.
Ada banyak pertanyaan di benak Auriga. Kenapa kamu menangis? Apa yang kamu ingat? Apa yang sebenarnya terjadi?Ingat sesuatu kah? Tapi dia terlalu malas untuk mengucapkannya. Sebagai gantinya, ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sapu tangan.
“Pastikan tidak melakukan hal bodoh di sini,” ucapnya dingin, sambil menyerahkan sapu tangan itu. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik pergi, meninggalkan Abel yang masih tertegun.
Abel memandangi sapu tangan itu, warna putihnya dihiasi motif kotak-kotak krem. Sesuatu di dalam dirinya terasa hangat, meski ekspresi Auriga begitu dingin. Ia memeluk sapu tangan itu erat-erat.
Namun, langkah Auriga mendadak berhenti. Ia berbalik lagi, tatapannya menusuk. Abel yang hampir merasa lega langsung tegang kembali.
“Kenapa kamu menangis?” tanyanya datar akhirnya.
Abel menggeleng lemah. “T-tidak, Mas.”
Auriga mendesah, nada frustrasi terdengar jelas. “Hmph. Baiklah,” gumamnya, lalu melangkah pergi lagi.
Sebelum benar-benar menghilang, ia menoleh sekali lagi. “Ponsel barumu ada di lantai bawah, di atas meja kerja Oma. Gunakan sebaik-baiknya.”
Abel menatap kepergiannya dalam diam, masih memeluk sapu tangan itu. Ia tahu pria itu dingin, tapi entah kenapa, ada sisi Auriga yang terasa peka dan perhatian.
Mungkin hanya perasaanku saja...
Ya, perasaanku saja Please Abel jangan baper terlalu awal. Tapi demi apapun tangan Abel langsung Berkeringat dingin tanpa bisa bersuara dia berteriak di sana mendapatkan perhatian yang walaupun dingin seperti itu
"OMG.....Tuhan, aaaaaaa......"
Abel kembali memeluk sapu tangan itu kemudian tanpa sadar dia mengusap ingusnya dan mendadak dia bilang, "Tidak, tidak, jangan kotor! Jangan kotor, jangan kotor. Ini mau gue bawa tidur." lalu tiba-tiba dia sadar, "Sangat menggelikan nggak sih, Astaga Abel lo malu-maluin tahu nggak.
Di dalam kamarnya Auriga masih menerka-nerka dan belum menemukan jawaban yang pasti Kenapa wanita asing itu menangis, tampaknya dia mengingat sesuatu atau mungkin dia merasa kosong dan bingung akan hidupnya, jangan sampai dia melakukan sesuatu hal yang menakutkan seperti bunuh diri.
ehhh..ngga taunya Riga malah 1 pesawat /Facepalm/
waaah baru ngeh aku ternyata auriga anak nya julian dan dilvina🧐😂
awas malah makin dekat kalian ga...
ana.....siap2 kau
hayyoo lohhhh bel