"Cahaya akan menuntun kita pulang"
Setelah berhasil berbagai masalah dengan para vampir, Benjamin justru dihadapkan kembali dengan masalah lainnya yang jauh lebih serius. Dia dan teman-temannya terus menerus tertimpa masalah tanpa henti. Apakah Benjamin dan yang lain bisa mengatasi semua ini?
Mari kita simak kembali, bagaimana kelanjutan kisah Benjamin dan yang lainnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Copy
"Pagi, Ben" sapa Jessi ketika Benjamin datang menjemput Marella bersama Joseph. "Pagi. Di mana Marella?" tanya Benjamin tersenyum.
"Dia akan segera siap. Kalian tidak ingin sarapan?" tawar Jessi. "Aku sudah kenyang. Mungkin anjing butuh makan" ledek Benjamin sebelum akhirnya ia menerima sebuah tonjokkan keras dari Joseph.
"Hahaha. Di dalam ada sandwich buatan Vero" Benjamin yang mendengarnya beranjak masuk. "Yah, dia sangat menyukai sandwich buatan Veronica" gumam Joseph terkekeh.
Sesampainya di dalam. "Hi, Ella" sapa Benjamin tampak sangat ceria. "Woah, kau datang lebih cepat dari perkiraanku. Kau mau?" tawar Marella berniat menyuapi Benjamin dengan sepotong sandwich.
"Tentu saja" jawab Benjamin antusias. Marella tertawa kecil lalu menyuapi kekasihnya. "Pemandangan menjijikkan di pagi hari" ujar Esmeralda mengenakan jaketnya.
"Josh"
"Aku akan menghajarmu, Ben"
Benjamin dan Marella tertawa mendengarnya. Esmeralda melewati Joseph dengan wajah masam. Setelahnya Sharon juga melewati Esmeralda dengan wajah masam.
"Apa mereka masih murka dengan hasil ujian?" tanya Joseph terheran. "Sepertinya" jawab Patricia tertawa kecil memaklumi.
Pagi itu setelah sarapan semua berangkat. "Kembalilah lebih awal, kita akan makan siang bersama" pesan Jessi sebelum mereka pergi.
"Baik" jawab Patrick mengacungkan jempol. Setelahnya mereka berangkat. "Sepertinya hari ini suasana baik-baik saja" gumam Benjamin tanpa sadar. "Sungguh, aku tidak ingin ada masalah sedikitpun untuk saat ini. Otakku sudah lelah menghadapi semuanya"
Marella tertawa kecil mendengarnya. "Pagi ini siapa yang tertampan dan tercantik akan dipampang di sekolah bukan?" tanya Marella penasaran. "Jujur saja aku tidak mengharapkannya" jawab Joseph terkekeh.
"Jika saja Damian di sekolah yang sama dengan kita, dia pasti masuk nominasi" gumam Benjamin terkekeh seraya fokus mengemudi.
"Menurutmu, gadis tercantik siapa?" tanya Joseph pada Marella. "Aku rasa yang berada di peringkat satu ialah Patri. Dia benar-benar cantik walaupun kami memaksanya memasang ekspresi jelek" jawab Marella antusias.
"Kau, Josh? Pasti kau akan menyebut Prislly bukan?" tebak Marella tersenyum jahil. Joseph membalasnya dengan tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau Ben?" tanya Joseph iseng. "Ella tetap yang tercantik di antara semua gadis di sekolah" jawab Benjamin tersenyum bangga.
Marella menatapnya terkejut. "Jawaban yang sudah kuduga" gumam Joseph terbiasa dengan suasana itu. "Pantas saja Jen menyebutmu gila" ledek Benjamin.
Joseph memasang wajah masam yang dibuat-buatnya. Marella hanya bisa tertawa kecil mendengar ejekan kekasihnya pada Joseph sahabat mereka.
"Berhati-hatilah, kudengar siapapun yang masuk nominasi akan mendapat surat cinta" pesan Joseph ketika gedung sekolah terlihat.
Benjamin segera memarkirkan mobil. Mereka turun dan berjalan sejajar. Benjamin berada di tengah Marella dan Joseph.
"Pagi, Marella. Bisakah aku meminjam Ben sebentar?" tanya Jennifer tampak terburu-buru. "Ahk ya, tidak masalah" jawab Marella terheran.
Jennifer segera menarik sepupunya itu. "Kita mau ke mana?" tanya Benjamin terheran. "Kau harus melihat ini sebelum keluarga Gerald melihatnya!" pekik Jennifer menarik Benjamin ke suatu tempat.
Sampai akhirnya mereka berada di depan mading sekolah, Jennifer menghentikan langkahnya dan melepas pergelangan tangan Benjamin. Sepupunya segera menunjuk sesuatu di mading tanpa melihat ke sana.
Benjamin memiringkan kepalanya heran menatap gadis itu. Setelahnya, perhatiannya teralih pada apa yang ditunjuk Jennifer.
"Marella.. merebut Benjamin dariku. Dia merusak hubungan romantisku dengan Benjamin. Marella hanya berpura-pura polos dan ingin terlihat lugu, padahal dia punya kelakuan buruk. Dia wanita jalang. Salam dariku, Pareline "
Benjamin melotot terkejut dan segera mencabut kertas itu. "Apa itu?" tanya seseorang yang begitu dikenali Benjamin.
Kepalanya menoleh sejenak. Esmeralda menatapnya dingin. "Tidak ada" jawab Benjamin terkekeh lalu menggeleng-geleng pelan seraya menyembunyikan kertas itu. Jennifer yang melihat sepupunya tidak ahli berbohong hanya bisa menepuk pelan keningnya, memaklumi kebodohan itu.
Esmeralda mendekati Benjamin dan keduanya mulai memperebutkan kertas di tangan Benjamin. "Itu bukan.. apa-apa" gumam Benjamin ketika gadis itu berhasil merebut kertas itu. Esmeralda masih menatapnya terheran. Ia membuka remasan kertas itu.
Gadis itu mulai membacanya dengan serius. "Yeah, sepertinya perang dunia akan terjadi hari ini" gumam Benjamin hanya bisa berserah.
Esmeralda yang sudah selesai membaca kertas itu merobek-robek kertas itu dengan tatapan dingin yang menakutkan.
Gadis itu meninggalkan Benjamin dan Jennifer di sana. "Terimakasih karena kau berhasil membuat Marella tidak membacanya" ujar Benjamin mengejar gadis itu.
"My pleasure" jawab Jennifer bingung. Di sisi lain, "Dia mau ke mana?" tanya Joseph terheran ketika melihat Benjamin dengan lelah mengejar Esmeralda.
"Kejar dia! Dia akan menyerang Laura!" perintah Benjamin yang kelelahan. Joseph melotot terkejut dan segera berlari mengejar Benjamin. "Apa yang terjadi?" tanya Marella tiba tepat waktu.
"Untung saja, ayo ikut aku!" tenaga Benjamin kembali penuh dan segera menarik Marella.
"Hey, apa yang terjadi?"
"Lihat saja, sayang!"
......................
"Hahaha. Aku memajangnya di mading. Kurasa semua orang sudah membacanya pagi ini" ujar Laura tertawa bangga.
Pagi itu, ketiga gadis pembuat onar berkumpul di meja yang sama untuk sarapan.
Lalu, "Laura" panggil seseorang dengan nada dingin dari belakang. Laura menoleh ke sumber suara. Gadis itu segera memiringkan kepalanya seraya bangkit berdiri.
"Hi, Esmeralda. Bisakah kau tidak menunjukkan ekspresi menjijikkan itu?" tanya Laura tersenyum sinis. "Dasar jalang" gumam Laura membuang wajahnya ke arah lain.
Gadis itu hendak melemparkan satu tamparan keras. Namun, "Apa yang-" ucapan Celine terhenti ketika Esmeralda menahan tangan Laura dengan sigap.
Tangan kiri Laura segera bergerak hendak menampar. Namun, "Ibu, sakit sekali!" pekik Laura merasakan perih ketika Esmeralda justru menampar Laura dengan sangat keras.
Pipi kiri gadis itu bahkan memerah. Anne segera bergerak hendak melawan Esmeralda. Namun gadis itu dengan tenang meraih rambut panjang Anne, lalu mencampakkannya.
"Dasar gila" gumam Celine bangkit. Lagi-lagi Esmeralda menahan tangan gadis itu lalu menendang kakinya hingga gadis itu terjatuh.
Ketiganya merintih kesakitan, dan peristiwa itu jadi tontonan banyak orang pagi itu.
"Yang jalang itu kau" ujar Esmeralda memilih keluar dari kantin. Namun sebelum ia benar-benar menghilang, "Aku tidak takut jika kalian melapor" tantang Esmeralda lalu kembali berjalan.
Joseph di pintu masuk terpaku dengan peristiwa itu. Ia segera meraih tangan Esmeralda dan menariknya menjauh.
"Ayah akan tertawa, sementara ibu murka" ujar Patrick tertawa kecil setelah menyaksikan peristiwa itu. "Kesabarannya setipis tisu dibagi dua, sekaligus basah" gumam Sharon memaklumi.
"Baiklah, kita terlambat menghentikannya" ujar Benjamin tertawa kecil. "Dan sekarang Joseph pasti mengomelinya" jawab Marella terkekeh.
Sementara Joseph dan Esmeralda. "Bagaimana jika mereka melaporkan tindakanmu? Bagaimana jika kau justru diskors?" tanya Joseph menatap gadis itu terheran.
"Dia menyebut aku dan Marella jalang" jawab gadis itu singkat. Joseph yang hendak melanjutkan kata-katanya, segera terhenti.
Benjamin dan Marella diam-diam menguping pembicaraan mereka. "Kau juga akan sepertiku, jika ada seseorang yang merendahkan Benjamin dan Damian bukan?" tanya Esmeralda dengan tenang.
Joseph menghela nafas memaklumi. "Luaskan rasa sabarmu, Esmeralda" ujar Joseph dengan nada lembut. Esmeralda menatap Joseph dingin lalu membuang muka ke arah lain. "Aku tahu itu pembelaan diri" pekik Joseph berusaha sabar dengan kelakuan gadis yang dicintainya.
"Aku tidak bisa mengubah kepribadianku"
"Tapi kau harus menahan kepribadian burukmu"
Esmeralda hanya diam mendengarnya. "Ayah tidak akan marah dengan apa yang kulakukan" gumam Esmeralds masih tidak mau menatap Joseph. "Tapi Jessi akan murka" Esmeralda terdiam dan baru ingat.
"Sudahlah, aku akan bertanggung jawab jika ada panggilan yang kudapat" gumam Esmeralda meninggalkan Joseph.
Joseph memegang pinggangnya dan hanya bisa menghela nafas memaklumi.
Di sisi lain. "Dia mengatakan hal buruk tentangku?" gumam Marella terkejut setelah mengetahui penyebab Esmeralda tiba-tiba saja mendatangi Laura dan kedua temannya, lalu memberikan sebuah pelajaran untuk mereka.
"Awalnya aku hanya ingin menyimpannya sendiri. Tapi semua tidak berjalan sesuai rencana" jawab Benjamin terkekeh. "Maklumi saja sifat kasarnya. Jika kau jadi orang terdekatnya, dia juga tidak suka melihatmu ditindas orang lain" ujar Marella seraya terkekeh.
"Siapakah selain kau yang pernah dibelanya?" tanya Benjamin penasaran.
"Patri" Benjamin melotot terkejut mendengarnya. "Kau pasti tidak akan percaya. Patri yang menjadi partner berdebatnya di rumah, bahkan menerima pembelaan darinya ketika ditindas"
Benjamin mengangguk-angguk paham. "Ayo lihat apakah namamu masuk dinominasi atau tidak" ajak Benjamin menarik tangan kekasihnya.
"Astaga, aku bahkan tidak mengharapkan hal semacam itu. Atau jangan-jangan kau mau mencari gadis tercantik?" tuduh Marella tertawa kecil. "Ya, kau juga harus melihat laki-laki tertampan" jawab Benjamin tertawa.
......................
"Siapa admin? Ada banyak nama baru di sini" ujar salah satu murid. Benjamin dan Marella akhirnya sampai di depan mading.
"Woah, kau nomor tiga tercantik" ujar Benjamin tersenyum senang ketika melihat nama Marella terpampang di sana. Marella yang tidak percaya mencoba fokus pada urutan nama di mading.
"Woah, Prislly pertama?" guman Marella terkejut. Kini gadis itu beralih mencari nama-nama murid pria tertampan di sekolah.
"Kau nomor tiga juga, Ben" ujar Marella menemukan nama kekasihnya. Benjamin beralih memperhatikan nama di sana. "Sungguh? Joseph menempati posisi pertama?!" gumam Benjamin terkejut. Keduanya saling memberi pandangan, lalu tertawa kecil.
Setelahnya, kegiatan sekolah berakhir. Siswa dan siswi pulang. Sesuai pesan Jessi, Benjamin mengemudikan mobilnya langsung ke rumah keluarga Gerald.
"Kami pulang" gumam Marella memasuki rumah. Aroma semerbak tercium di dalam ruangan.
"Ibu pasti memasak sesuatu yang enak" gumam Veronica antusias dan segera menuju dapur. "Bukankah vampir tidak makan?" tanya Benjamin pada Marella.
"Mereka tidak butuh makan. Simplenya seperti itu" jawab Marella terkekeh. Mereka menuju dapur, dan menemukan Jessi baru saja selesai memasak. "Kalian kembali lebih cepat dari perkiraanku" ujar Jessi tertawa kecil.
"Tidak banyak kegiatan sekolah yang kami lakukan hari ini" jawab Patrick meletakkan tas nya di atas meja makan.
"Kalian sudah lapar?" tanya Jessi pada Benjamin dan Joseph. "Joseph mungkin sudah lapar" jawab Benjamin menatap Joseph yang tampak fokus memperhatikan hutan di belakang rumah.
"Benarkah begitu, serigala?" tanya Jessi memastikan. Joseph tidak menjawab dan masih memperhatikan sesuatu di hutan.
"Josh.."
"Joseph"
"Joseph Rothrout"
Joseph akhirnya menyahut setelah Benjamin memanggil nama lengkapnya. "Apa yang kau perhatikan?" tanya Benjamin terheran.
"Perasaanku saja, atau memang ada perlawanan di sana" gumam Joseph kembali memperhatikan keadaan di hutan.
"Maksudmu?" gumam Sharon mendekati Joseph. Ia ikut memperhatikan sesuatu yang diperhatikan Joseph. "Josh, bukankah itu.. serigala dan vampir?" tanya Sharon dengan penglihatannya yang super tajam.
"Vincent?!" gumam Joseph beranjak dan segera melompat dari jendela, setelah mengenali serigala yang tengah beradu kekuatan dengan seorang vampir. Wujudnya seketika berubah.
"Apa yang terjadi?!" tanya Benjamin terheran dan segera menyusul Joseph. "Hey. Ada apa?" tanya Marella terheran dan hanya bisa meratapi kepergian mereka.
"Tunggu di sini" pesan Sharon menyusul mereka segera. "Yah, mungkin kau saja dulu yang menikmati makan siang" ujar Jessi menyajikan masakan buatannya.
Sementara Benjamin. "Saatnya kau mati, Canis" ujar vampir itu hendak menusuk Vincent. Sekuat tenaga, remaja itu menahannya.
Dan, "SIALAN!" teriak vampir itu ketika ia tercampak cukup jauh. Sharon berhasil menyelamatkan remaja itu.
"Siapa dia?!" tanya Benjamin segera membantu Vincent berdiri. "Aku juga tidak mengenalnya. Dia menyeretku ke sini" jawab Vincent menghapus darah di bibirnya.
"Kau lagi?!" gumam Joseph mengenali pria itu. Franz. Entah apa alasan pria itu, namun yang pasti pria ini adalah salah satu anggota bangsawan yang merepotkan.
"Hahaha. Lama tidak berjumpa, serigala salju" sapa Franz seraya tersenyum seram. "Seharusnya aku menemukan Esperanda. Tapi sepertinya kalian menyembunyikannya sekarang" gumam Franz memegang pinggangnya. "Jadi sepertinya, aku akan berhapan dengan kalian"
Franz mulai menyerang mereka. Dia dengan santai mengelak setiap serangan.
"Ben, lebih baik kau kembali dengannya" saran Joseph melindungi mereka. Benjamin menurut dan segera membantu Vincent berjalan.
"Sialan! Ben awas!" ujar Sharon gagal menahan Franz. Lalu, "Tanah?!" gumam Franz segera mengelak. "Siapa yang melakukannya?" gumam Vincent terkejut.
"Lompat, Josh!" Sharon segera melompat dan Joseph mengikutinya. Tanah di sana mendadak terbelah dan seakan terjadi gempa.
"Kau semakin merepotkan saja" gumam Franz tersenyum sinis mengetahui pelaku.
"Lama tidak berjumpa, Esperanda" sapa Franz segera pada seorang gadis. Esmeralda, dia hanya menatap dingin pria itu.
"Pergilah, Ben" perintah Esmeralda melewati mereka. Benjamin menurut dan kembali membawa Vincent menjauh.
"Dasar pembohong. Kau tidak pernah menunjukkan kekuatan elemenmu selama ayah mengasuhmu" ujar Franz tersenyum kejam.
"Ayah?" tanya Esmeralda berhasil membuat Franz berdecak kesal. "Mati saja kau!" keduanya saling beradu.
Di sisi lain, Benjamin terus membawa Vincent menjauh. "Biarkan aku berjalan, Ben" ujar Vincent merasa merepotkan Benjamin.
"Darah di lututmu terus mengalir, Vin. Bersabarlah sejenak" jawab Benjamin terus membawa Vincent.
"Sepertinya ada yang kesulitan" ujar seorang pria dari belakang mereka. Benjamin dan Vincent terhenti. "Jangan melihat ke belakang, Ben" bisik Vincent ketika kepala Benjamin mulai bergerak menoleh ke belakang.
"Kita kembali berjalan" bisik Benjamin mulai kembali berjalan. Keduanya mengabaikan suara itu. "Aku di sini, Benjamin Paul dan Vincent Willman" kedua remaja itu terhenti.
Mereka tidak bisa bergerak kemanapun. Sesuatu seakan menahan mereka. "Apa.. ini?!" gumam Vincent mencoba menunduk dan melihat apa yang menahan kaki mereka.
"Untung saja kalian sedikit ceroboh, aku bisa dengan leluasa menikmati kalian" gumam pria itu. Namanya Brian.
"Sialan.. bagaimana caranya.. bergerak?" gumam Benjamin berusaha melawan namun nihil. "Aku tidak terlalu tertarik aroma manusia, tapi kau berbeda bocah" ujar Brian tersenyum.
"Kalian punya kalimat terakhir? Aku sedang mengasah senjataku" Brian mengeluarkan sebuah senjata tajam miliknya, dan mulai mengasah benda itu.
Mata Vincent berubah warna seketika. Ia mencoba bergerak namun hasilnya sama.
"Baiklah" gumam pria itu mendekati mereka dan mengarahkan senjatanya pada leher Benjamin.
"Selamat-"
Ucapannya terhenti ketika ia merasakan sesuatu menahan pergerakannya. "Malang sekali Brian, kau harus berhadapan denganku" ujar seseorang dengan nada dingin.
Esmeralda tiba tepat waktu.
"Kau tambah merepotkan, Esperanda"
lanjut deh thor... semangat 🙏👍💐
selamat berjuang /Good/
saling peduli, saling melindungi, saling berbagi.
setia kawan 👍❤️
sampe bingung mana kawan mana lwwan 🤭
semangat terus ya thor...❤
lanjut thor 🙏❤️