Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Jejak Kegelapan yang Menyusup
Elarya memimpin langkah mereka melewati hutan yang lebat, dengan Kael dan Nessa berada di belakangnya. Meski angin malam menerpa wajahnya, menyegarkan setelah ketegangan yang terjadi sebelumnya, perasaan waspada tetap menggantung di udara. Sesekali, cahaya yang dipancarkan oleh segel cahaya di tubuhnya menyinari jalan, namun semakin jauh mereka melangkah, semakin dalam kegelapan yang mengelilingi mereka.
Malam ini terasa lebih gelap dari biasanya, seolah-olah langit pun berusaha menyembunyikan sinar bulan yang seharusnya menyinari dunia. "Kita akan mencari petunjuk lebih lanjut," kata Elarya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Kael dan Nessa. "Tapi kita harus tetap hati-hati. Pria itu—dia bukan satu-satunya ancaman yang akan kita hadapi."
"Benar," jawab Kael, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka. "Kegelapan yang datang darinya bukan sekadar kekuatan fisik, Elarya. Ini adalah sesuatu yang lebih mendalam. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi. Sesuatu yang sudah lama tertidur... dan kini mulai terbangun."
Nessa mengangguk setuju. "Ada kemungkinan bahwa kekuatan itu berhubungan dengan apa yang terjadi pada dunia ini. Tidak hanya segel cahaya milikmu, Elarya, tapi juga sejarah yang hilang. Para penjaga yang dulu menjaga keseimbangan dunia telah lama punah. Namun, jejak mereka masih ada. Kita hanya perlu menemukannya."
Elarya menggenggam erat segel cahaya di tangannya, merasakan getaran kekuatan yang tak pernah ia pahami sepenuhnya. "Tapi bagaimana aku bisa menemukannya, Nessa? Bagaimana aku bisa tahu jika aku sudah siap?"
Nessa berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan lembut. "Tidak ada cara yang pasti untuk mengetahui apakah kita siap atau tidak, Elarya. Tapi ingatlah, kekuatan dalam dirimu bukan hanya untuk menghancurkan. Kekuatan itu juga ada untuk melindungi. Jika hatimu tetap pada tujuan yang benar, maka cahaya itu akan membimbingmu."
Kael yang berada di belakang mereka mendengus. "Hati-hati, Elarya. Sebentar lagi kita akan sampai di tempat yang kita tuju. Tetapi, kita mungkin akan menghadapi lebih banyak ancaman."
Elarya hanya mengangguk. Walaupun rasa takut tetap ada, keyakinannya untuk melanjutkan perjalanan ini semakin kuat. Kegelapan mungkin berusaha menariknya, tetapi cahaya dalam dirinya semakin bersinar terang, mengusir bayang-bayang yang mencoba menelan segala yang ada di sekitarnya.
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah reruntuhan kuno. Benteng batu yang telah lama dilupakan, tertutup oleh lumut dan dedaunan, tampak sepi dan terlupakan. Meskipun sudah terabaikan oleh waktu, sesuatu dalam diri Elarya terasa terhubung dengan tempat ini. Sebuah perasaan yang membawanya lebih dekat.
"Ini tempatnya," kata Nessa, berbisik dengan penuh kehati-hatian. "Reruntuhan ini adalah bagian dari sejarah para penjaga. Mereka menyembunyikan banyak rahasia di sini. Tapi kita harus berhati-hati. Tidak hanya karena ancaman dari luar, tetapi juga karena tempat ini memiliki kekuatan yang bisa mengubah siapa saja yang memasuki dalamnya."
Kael memeriksa sekeliling, pedangnya terhunus. "Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Aku bisa merasakannya."
Elarya menatap reruntuhan itu, perasaannya kacau. Segel cahaya yang ada dalam dirinya mulai bergetar, menanggapi kekuatan yang terkubur di dalam reruntuhan ini. Rasanya seperti ada tangan yang menariknya, memintanya untuk memasuki tempat itu.
"Apakah kita masuk?" tanya Elarya, suaranya tegas meski masih ada sedikit keraguan.
"Jika kita ingin menemukan jawaban, kita harus masuk," jawab Nessa. "Hati-hati dengan apa yang ada di dalamnya. Tempat ini bukan hanya sekadar puing-puing dari masa lalu, tetapi tempat yang menyimpan rahasia besar tentang apa yang sedang terjadi."
Dengan satu keputusan yang mantap, Elarya melangkah maju. Cahaya yang ada dalam dirinya memancar lebih terang, dan mereka bertiga masuk ke dalam reruntuhan tersebut.
Di dalamnya, udara terasa lebih dingin. Setiap langkah mereka seolah menggema, menambah kesan bahwa tempat ini adalah tempat yang telah lama terlupakan. Dinding-dinding batu yang retak tampak mengandung banyak simbol kuno yang belum mereka pahami.
Elarya berhenti sejenak di depan sebuah altar besar yang terletak di tengah ruangan. Di atasnya, terdapat sebuah batu besar yang bersinar samar, dikelilingi oleh simbol-simbol yang terlihat seperti berasal dari zaman yang sangat lama.
"Ini... ini apa?" tanya Elarya, mendekati altar itu dengan hati-hati.
"Itu adalah simbol para penjaga," jawab Nessa dengan suara serak. "Mereka yang dulu menjaga keseimbangan dunia. Batu itu adalah pusat dari kekuatan mereka. Tetapi jika kamu ingin tahu lebih banyak, kamu harus menyentuhnya."
Elarya menatap batu itu dengan hati-hati. Ada sesuatu yang menggelitik perasaannya, seolah batu itu memanggilnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangan dan menyentuh permukaan batu tersebut.
Begitu jari-jarinya menyentuh batu, sebuah ledakan cahaya muncul, memancar dari batu itu dan mengelilingi tubuh Elarya. Cahaya itu begitu terang, seolah-olah dunia berhenti berputar. Dalam sekejap, Elarya terlempar ke dalam sebuah penglihatan.
Di dalam penglihatan itu, ia melihat para penjaga yang mengenakan pakaian pertempuran kuno, bertempur melawan bayangan kegelapan yang menyerang dunia. Mereka berjuang dengan segala kekuatan mereka, tetapi meskipun mereka mampu menahan serangan, kegelapan itu terus tumbuh, semakin kuat.
Kemudian, penglihatan itu beralih. Elarya melihat dirinya sendiri—seorang wanita muda, berdiri di puncak sebuah gunung, memegang segel cahaya yang bersinar terang. Di depannya, ada dua jalan yang terbentang, satu bercahaya, satu lagi diliputi bayangan gelap.
Tiba-tiba, sebuah suara bergema di benaknya. "Kamu adalah penerus mereka, Elarya. Pilihanmu akan menentukan masa depan dunia ini. Jangan biarkan kegelapan itu merenggut takdirmu."
Dengan cepat, penglihatan itu menghilang, dan Elarya terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. Ia merasa seperti baru saja dibawa melewati zaman yang sangat lama, mengalami pertempuran yang tak terhitung jumlahnya.
"Nessa... Kael..." Elarya berbisik, tubuhnya gemetar. "Aku melihatnya... aku melihat para penjaga. Mereka berjuang melawan kegelapan yang sama. Dan aku... aku harus memilih jalan yang benar."
Nessa berjongkok di sampingnya. "Apa yang kamu lihat, Elarya?"
"Para penjaga... Mereka bertempur dengan kegelapan yang sama. Tetapi aku tahu, aku harus membuat pilihan. Kegelapan... atau cahaya."
Kael menatap Elarya dengan serius. "Kita tidak punya banyak waktu. Jika kamu memilih, dunia ini akan berubah."
Elarya menatap segel cahaya di tangannya, cahaya itu masih bersinar terang. "Aku akan memilih cahaya. Aku akan melawan kegelapan dengan segala kekuatan yang ada di dalam diriku."
Dan dengan itu, perjalanan mereka semakin mendekat pada ujian yang lebih besar. Kegelapan yang ingin merenggut dunia ini, dan hanya Elarya yang bisa memilih apakah ia akan membiarkan dunia ini tenggelam atau menyelamatkannya.
Elarya menggenggam erat segel cahaya yang bersinar terang di tangannya. Perasaan berat masih menyelimutinya setelah penglihatan yang baru saja ia alami. Melihat para penjaga bertempur melawan kegelapan yang sama, menyaksikan dirinya berdiri di persimpangan jalan, memegang kekuatan yang dapat menentukan masa depan. Semua itu terasa begitu nyata—seolah-olah takdir dunia ini terjalin erat dengan dirinya.
Namun, meski keyakinan telah tumbuh dalam hatinya, ada satu hal yang tak bisa ia lepaskan begitu saja: rasa takut. Takut akan keputusan yang harus ia buat. Takut akan akibat dari pilihan yang ia tentukan. Semua itu menggema di dalam dirinya, seakan setiap langkah yang ia ambil dapat mengguncang dunia.
"Sebaiknya kita keluar dari sini," Kael berkata, suaranya serius. "Ada sesuatu yang tidak beres. Aku bisa merasakan kehadiran yang semakin mendekat."
Nessa berdiri di samping Elarya, menatap altar yang telah memancarkan cahaya begitu kuat. "Kegelapan itu tidak akan membiarkan kita begitu saja. Itu hanyalah permulaan, Elarya. Apa yang kamu lihat di dalam penglihatanmu—itu bukan hanya sebuah simbol. Itu adalah pesan. Pesan untuk kita bertindak sebelum terlambat."
Elarya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh kebingungan. "Aku merasakannya, Nessa. Kegelapan itu... semakin dekat. Dan aku harus memilih, kan? Cahaya atau kegelapan?"
"Ya," jawab Nessa, menatapnya dengan penuh pengertian. "Kamu sudah menyentuh inti dari segalanya, Elarya. Sekarang, pilihan ada di tanganmu. Tetapi ingat, memilih cahaya bukan berarti segalanya akan mudah. Ini akan menguji hatimu, dan kamu akan menemui banyak tantangan yang bisa mengubah segala yang kamu percayai."
Elarya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia menatap kembali ke arah altar dan batu yang bersinar itu. Cahaya yang ada dalam dirinya terasa semakin kuat, tetapi juga semakin memberatkan. Setiap detik yang berlalu, ia merasa seperti ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan sepenuhnya.
"Saatnya kita pergi," kata Kael, menarik Elarya dari lamunannya. "Kegelapan itu tidak akan berhenti mengejar kita."
Dengan langkah hati-hati, mereka mulai bergerak menuju pintu keluar reruntuhan. Namun, tepat ketika mereka hendak melangkah keluar, sebuah suara bergema dalam kegelapan.
"Ke mana kalian akan pergi?" suara itu begitu dalam dan mengerikan, seolah berasal dari bawah tanah yang paling dalam. "Takdir kalian telah dipilih. Kegelapan ini takkan membiarkan kalian melarikan diri."
Elarya terkejut, tubuhnya membeku di tempat. Kael segera menghunus pedangnya, siap menghadapi apa pun yang akan muncul. Nessa memposisikan diri di samping Elarya, siap untuk melindunginya.
Tiba-tiba, dari kegelapan yang dalam, muncul bayangan besar yang bergerak dengan cepat. Itu adalah sosok tinggi, hampir tidak terlihat jelas dalam cahaya segel Elarya, namun bisa merasakan aura kegelapan yang mengerikan. Bayangan itu seperti bagian dari kegelapan itu sendiri—tak berbentuk, namun sangat nyata.
"Siapa kamu?" Elarya bertanya dengan suara tegas, meskipun hatinya berdebar. "Apa yang kamu inginkan?"
Bayangan itu tertawa, suaranya mengerikan dan bergema di sekitar mereka. "Aku adalah bagian dari kekuatan yang sudah lama terpendam. Dan aku datang untuk mengambil apa yang sudah menjadi milik kami. Kegelapan akan selalu menemukan jalannya, dan dunia ini akan kembali seperti semula."
Kael bergerak maju, pedangnya bersinar terang, tetapi bayangan itu menghindar dengan mudah, bergerak lebih cepat dari yang bisa mereka bayangkan. "Kau tidak akan bisa lari," suara itu bergema lagi, "Kekuatan cahaya yang ada di dalam dirimu hanya sementara. Kegelapan akan selalu menjadi bagian dari dirimu. Kamu tidak bisa menghindarinya, Elarya."
Elarya merasakan getaran kuat di dalam tubuhnya. Cahaya di dalam dirinya berkedip, seolah merespon ancaman yang datang. Ia tahu, sekarang adalah saatnya untuk memilih. Jika ia ingin melawan kegelapan ini, ia harus mempercayai kekuatan dalam dirinya. Tetapi, apakah ia cukup kuat untuk menanggung beban itu?
"Sekarang!" Nessa berteriak, memecah kebisuan yang menenggelamkan mereka. "Kendalikan cahaya itu, Elarya!"
Dengan tangan yang gemetar, Elarya mengangkat tangan kanannya. Cahaya yang ada di dalam tubuhnya semakin bersinar terang, menerangi seluruh ruangan dengan keindahan yang mempesona. Namun, bayangan itu tidak menyerah begitu saja. Ia mulai bergerak, menyerang dengan kecepatan yang luar biasa.
"Takkan ada yang bisa menyelamatkanmu!" suara itu membentak.
Elarya merasa tertekan, namun di saat itu juga, sebuah perasaan kuat mengalir dalam dirinya. Cahaya dalam dirinya bukan hanya sumber kekuatan. Itu adalah pilihan. Pilihan untuk melawan, untuk melindungi.
"Dunia ini milik cahaya!" Elarya berteriak, dan dengan kekuatan yang ada, ia mengarahkan cahaya itu ke bayangan yang mendekat. Dalam sekejap, cahaya itu meledak, membentuk sebuah gelombang besar yang menghancurkan kegelapan di sekitar mereka.
Bayangan itu menjerit, kehilangan bentuknya seiring dengan hancurnya kekuatan kegelapan yang mendalam. Tetapi suara itu masih terdengar, meskipun lemah. "Ini belum selesai, Elarya. Kegelapan akan kembali... dan kali ini, tak akan ada cahaya yang bisa menghalanginya."
Ketika kegelapan itu menghilang, Elarya merasa tubuhnya lemah. Cahaya yang ada di dalam dirinya kembali meredup, seperti kehabisan energi. Namun, ia tahu satu hal: pertarungan ini belum selesai. Mereka baru saja memulai perjalanan panjang yang penuh dengan misteri dan ancaman yang lebih besar.
"Apakah kamu baik-baik saja?" Nessa bertanya dengan penuh perhatian.
Elarya menatap langit malam yang mulai cerah kembali, cahaya bintang bersinar di atas mereka. "Aku... aku tidak tahu. Tetapi aku akan siap. Jika dunia ini membutuhkan cahaya, maka aku akan menjadi penjaganya."
Dengan langkah pasti, mereka melanjutkan perjalanan mereka, meskipun di dalam hati Elarya, rasa cemas dan ketidakpastian tetap ada. Kegelapan yang menyerang mereka hanyalah permulaan, dan ia harus terus bersiap untuk ujian yang lebih berat yang akan datang.
"Saatnya perjalanan sejati dimulai," gumam Elarya, dan mereka melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan yang menanti di depan.