Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resah
Keesokan paginya Amar turun dan langsung mencari-cari keberadaan Mahira. Namun setelah memeriksa kebeberapa sudut ruangan, Amar tidak menemukannya. Begitu pula di ruang makan dimana biasanya Mahira menyajikan sarapan untuknya maupun sekedar menghidangkan kopi.
Kini Amar hanya bisa menikmati sarapannya hanya seorang diri seperti hari-hari sebelum ia menikahi Mahira. Hatinya kembali terusik mengingat kata-kata yang sudah terlontar dari mulutnya, yang mungkin membuat Mahira marah dan tidak mau bertemu dengannya.
"Maaf Tuan..." ucapan Bibi mengagetkan Amar yang tengah memikirkan semua itu.
"Ini vitamin untuk Tuan, supaya stamina Tuan tetap terjaga dan tidak kelelahan seperti kemarin." jelas Bibi sambil menyodorkan vitamin tersebut.
"Aku tidak memerlukan itu!" tegas Amar yang kemudian bangkit sambil menendang kursinya ke belakang
"Tapi Tuan..."
Tidak mau mendengar apa yang diucapkan Bibi, akhirnya Bibi mengatakan jika Mahira lah yang menyuruhnya memberikan vitamin tersebut.
"Apa!?" Amar kembali berbalik badan dan mendekati Bibi.
"Apa yang baru Bibi katakan?"
"Iya Tuan, sebenarnya Nyonya Mahira yang meminta Bibi memberikan ini pada Tuan, tapi Nyonya melarang Bibi mengatakan ini, tapi karena Tuan menolak, jadi..."
Tak lagi mendengarkan apa yang Bibi katakan, Amar mengulas senyum tipisnya. Merasa lega karena ternyata Mahira masih memikirkan kesehatannya meskipun meminta Bibi yang melakukannya.
"Jadi dia masih peduli padaku?" lirih Amar. Tapi itu di dengar oleh Bibi yang kembali menjawab apa yang Amar katakan.
"Tentu saja Nyonya Mahira peduli, semalam saja Nyonya Mahira nangis-nangis saking khawatirnya melihat Tuan tenggelam."
"Apa!? dia menangis?"
"Iya Tuan... Bibi masih inget kata-kata yang Nyonya ucapkan."
"Dia bilang apa Bi?" tanya Amar dengan antusias.
"Nyonya bilang..." Bibi yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun terdiam mengingat apa yang semalam Mahira katakan.
"Bilang apa Bi... katanya ingat." Amar merasa geregetan karena rasa penasarannya belum juga dijawab oleh Bibi.
"E-eum kurang lebih begini... Kak Amar.... bangun kak Amar, buka matamu, Aku sudah kehilangan Mas Amir dan aku tidak bisa kehilangan mu." ujar Bibi menirukan apa yang semalam Mahira katakan ketika Amar belum sadarkan diri.
Mendengar cerita Bibi, Amar kembali mengulas senyum tipisnya. "Jadi benar, dia sangat mempedulikan ku, bahkan dia takut kehilangan ku?" batin Amar yang entah kenapa merasa bahagia mendengar itu.
"Tuan... jadi gimana vitaminnya, nanti kalau Nyonya Mahira tanya bagaimana?"
"E-jangan khawatir Bibi, Aku akan memakannya," ucap Amar yang kembali bersemangat melangkah ke meja makan dan meminum vitamin tersebut."
"Sekarang Mahira kemana?"
"Sedang di taman nyuapin baby Emir."
Mendengar itu, Amar bergegas menuju taman dan melihat Mahira tengah duduk di ayunan sambil menyuapi baby Emir makan.
Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, Amar mendekati Mahira dan mengayunkan ayunan itu secara perlahan.
Mahira yang berada diatasnya merasa terkejut dan menoleh ke belakang melihat siapa yang mengayun ayunannya.
"Kak Amar..." lirih Mahira yang kembali menatap lurus ke depan.
"Pa pa pa pa..." baby mengoceh kata itu sambil mengulurkan kedua tangannya kearah Amar. Dengan luwesnya Amar mengambil baby Emir dan menggendongnya.
"Apa kak Amar sudah sarapan?" tanya Mahira begitu turun dari ayunan.
"Tidak perlu mengkhawatirkan ku, kamu sendiri sudah sarapan atau belum?"
Mendengar pertanyaan yang sebenarnya sepele, tapi membuat Mahira tersentuh mengingat ini pertama kalinya Amar menanyakan hal itu.
"Aku bisa makan kapan saja, aku kan hanya duduk di rumah."
Mendengar itu, Amar terdiam, merasa tidak enak hati karena semenjak menikahinya Amar tidak pernah mengajak Mahira keluar meskipun sekedar makan-makan.
"E-setelah aku pulang kerja, kamu bersiaplah kita makan malam di luar," ucap Amar yang kemudian memberikan baby Emir pada Mahira lalu pergi begitu saja seolah ingin menyembunyikan rasa gugupnya karena telah mengajak Mahira makan malam.
Bersambung...