Kalista Aldara,gadis cuek yang senang bela diri sejak kecil.Tapi sejak ia ditolak oleh cinta pertamanya,ia berubah menjadi gadis dingin.Hingga suatu ketika, takdir mempertemukannya dengan laki-laki berandalan bernama Albara. "Gue akan lepasin Lo, asalkan Lo mau jadi pacar pura-pura gue."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua belas
Albara terduduk,dengan perasaan yang sulit di deskripsikan,ia masih menatap kepergian perempuan yang tak ia kenal itu.
Albara tak pernah melihat perempuan itu sebelumnya,bahkan selama hidupnya ia tidak pernah memenuhi perempuan hebat seperti gadis itu.Albara sudah memperluas tongkrongannya,tapi ia sama sekali mendengar desas-desus mengenai gadis itu.Dilihat bagaimana dia melawan teman-temannya dan juga lawannya,jelas gadis itu pasti menguasai teknik bela diri.
"Bar,bantuin gue dong."
Albara tersadar,ia melirik ke arah temannya yang masih terkapar diatas aspal.Kulanya cukup parah sehingga dia tidak bisa berlari seperti teman-temannya yang lain.
Albara sendiri babak belur,bukan hanya sekedar lebam tapi sudut bibirnya berdarah karena pukulan dari gadis itu.Ia tak berbohong,gadis itu menyerangnya dan teman-temannya dengan brutal.
"Aw! Pelan-pelan Bara,"ringis temannya ketika ia menarik tangannya.Albara lupa jika tadi gadis itu menginjak bahu laki-laki itu.
Gadis aneh,selain menyerangnya dan teman-temannya.Gadis itu juga menyerang anak-anak sekolahnya sendiri,bagaimana Albara bisa tau? Saat menolong gadis itu,ia tak sengaja melihat logo sekolah yang ada di ujung kerah seragam gadis itu.Lalu apa motif gadis itu menyerang mereka?
Apapun alasan gadis itu,ia pasti akan mencari tahu siapa gadis tak dikenal itu.
____
Aldara masuk kedalam rumahnya dengan langkah gontai,sebelum masuk kedalam rumah ia sudah membuang maskernya yang terkena darah, tubuhnya kelelahan karena menyerang begitu banyak orang,terlebih yang ia serang sekumpulan laki-laki jelas,kekuatan mereka pasti besar.
Ia menatap tangannya yang terdapat bercak darah,pasti setiap kali ia bertarung seperti itu,ia akan merasa bersalah sendiri.
"Aldara,kenapa Lo lepas kontrol begitu si?", gumamnya.
Niatnya ia hanya ingin membalas orang yang telah melukainya,tapi nyatanya iblis dalam dirinya keluar sehingga ia juga menyerang orang-orang yang tidak bersalah.
"Kenapa Lo mukulin orang si, Aldara?", ucapnya,ia menunduk air matanya menggenang penuh penyesalan.
Ia lalu duduk di sofa,dengan tubuh gemetar ia mengusap air matanya.Aldara menangis sesenggukan,beginilah dirinya akan menangis jika merasa bersalah.Apalagi mengingat orang yang ia pukul tadi bukan hanya satu dua orang.
Andrew baru saja keluar dari dapur, mendadak menghentikan langkahnya ketika melihat adiknya yang baru pulang sekolah menangis tersedu di sofa. "Lo kenapa, Dek?" tanya kakaknya dengan wajah penuh kekhawatiran, seraya menghampiri Aldara.
"Siapa yang berani nyakitin lo?" teriak Andrew dengan amarah yang mengebu-gebu, melihat betapa kacaunya penampilan adik kesayangannya itu. Meskipun Aldara sering membuatnya jengkel setengah mati dengan sikap acuh tak acuhnya, ia tetap saja merupakan orang yang akan melindungi adik perempuannya hingga titik darah penghabisan.
Andrew berjongkok di depan Aldara, dengan lembut ia menangkup kedua sisi wajah adiknya dan menatap wajah yang sedang menangis.
"Gak usah pegang-pegang!" ujar gadis itu ketus, sambil menepis kedua tangan kakaknya.
Andrew yang tadinya merasa iba, seketika berubah menjadi kesal. "Dasar adik laknat, udah gue perlakukan baik-baik malah begini!"
Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri, lalu kembali berjongkok di depan Aldara. "Mana yang sakit, hm?" tanyanya dengan nada lembut dan penuh kelembutan. Matanya segera tertuju pada luka di pelipis adiknya, yang masih memerah,dengan darah yang sudah mengering di sekitar luka itu yang nampak menyakitkan.
"Ini yang sakit?",tanya Andrew.
Aldara menggeleng,ia lalu menyentuh dadanya sendiri."Ini yang sakit,"ucapnya.
"Lo diputusin? Dek,Lo baru dua Minggu sekolah SMA,udah di putusin aja.Ngenes banget hidup Lo,"ujarnya.
Aldara menggeplak lengan kakaknya."Sembarangan banget kalau ngomong,siapa yang diputusin?!",ujarnya tak terima.
Ia mengusap air matanya,ras sedihnya berganti menjadi rasa kesal akibat kakaknya.
"Lah itu,Lo mengangguk dada,berarti lagi sakit hati dong? Yakan,bener kan?"
"Bukan itu,"ujar Kalista.
"Terus,kenapa?",tanya kakaknya meminta penjelasan.
Aldara lalu menundukkan kepalanya."Gue mukul orang ,kak?"
Andrew menatap adiknya dengan tatapan campur aduk. "Lo mukul orang? Astaga, kali ini manusia siapa lagi yang jadi korban amukan Lo, Kalista?"
Aldara mendongak, wajahnya tampak murung dan penuh penyesalan. Ia pun kembali terisak. "Gue gak sengaja, kak. Dia yang duluan nyerang gue, nih lihat aja sampe berdarah kan," ujarnya sambil menunjuk pelipisnya yang terluka, darah merah menyala semakin membuat wajah adiknya terlihat tak bersalah.
Andrew menghela napas panjang, merasa kesal sekaligus cemas dengan sifat adiknya yang kerap berkelahi layaknya preman jalanan ini. Masih teringat saat adiknya duduk di bangku SMP, ia terkejut mendengar berita adiknya nekat menyerang preman pasar.
Namun, ia cukup tahu karakter adiknya yang tidak akan sembarang memukul orang lain. Hanya bila ada yang mengganggu dan mengusik ketenangannya, barulah Kalista akan melancarkan serangan. Sikap dingin dan cueknya bisa berubah drastis menjadi petarung ganas yang menakutkan jika ada yang berhasil membangkitkan sisi iblisnya. Tak jarang lawan yang berani mencoba akan diterjang dengan lebam di pipi dan robekan di bibir karenanya.
"Yaudah, jangan nangis terus," ucap Andrew mencoba menenangkan Kalista. "Wajah lo kayak preman, tapi tetap aja masih bisa nangis kayak anak kecil. Lagipula, lo gak sengaja 'kan? Mereka juga gak kenal lo, jadi gak usah khawatir ya." Andrew berusaha meredakan perasaan adiknya yang kesulitan menahan tangis, memahami bahwa di balik kegarangan itu, tetap ada hati lembut yang tak ingin melukai.
Aldara mengangguk tegas, pastinya dia tak akan menunjukkan identitasnya ketika tengah melancarkan serangan seperti barusan. Dengan langkah mantap, ia beranjak dari sana menuju kamarnya. Ketika pintu kamarnya terkunci rapat, Aldara menaruh tasnya di atas meja belajar, lantas segera menghilangkan jejak perjuangannya di kamar mandi.
Setelah merasa bersih, ia memilih pakaian santai yang nyaman untuk melapisi tubuhnya. Segera, Aldara melemparkan diri ke ranjang yang empuk, menikmati perlahan kelelahan yang melanda seiring angan-angan terbang menatap langit-langit kamarnya. Rasa syukur membawa hikmat saat Aldara memikirkan bakat istimewa yang menyertainya sejak lahir; kemampuan psikomotorik yang menakjubkan. Karena itulah, Aldara dengan mudah mampu menguasai berbagai hal yang berhubungan dengan fisik dan gerak.
Ditambah lagi, kecerdasannya serta kekuatan fisiknya yang melebihi orang biasa membuatnya semakin tangguh. Tidak heran jika tadi dirinya mampu menyerang sekelompok pria secara sekaligus dan membuat mereka menyerah, meskipun pada akhirnya rasa lelah tetap akan melanda. Namun, Aldara selalu bangkit kembali, seakan siap menghadapi segala rintangan yang ada di depan mata.
Aldara, sejak kecil, memanfaatkan kelebihannya untuk menguasai berbagai seni bela diri. Selain itu, ia juga kerap berlatih olahraga bersama kakaknya, khususnya basket. Inilah alasan mengapa di SMP, Aldara mampu menaklukkan tim dari kelas lain.
Awalnya, dia merasa bangga dengan kemampuannya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebanggaannya mulai meredup ketika Aldara menyadari bahwa kekuatannya bisa menjadi ancaman bagi orang lain. Sisi gelap dalam dirinya terkadang sulit dikendalikan, bahkan bisa berpotensi untuk menjadikan orang tak bersalah sebagai korban amarahnya.
Menyadari hal ini, Aldara belajar untuk mengendalikan sisi buruknya dengan menjadikan dirinya pribadi yang lebih tenang dan dingin. Ia berusaha keras memupuk kesadaran akan tanggung jawab yang dibawanya, berlatih untuk meredam emosinya dan fokus pada tujuan yang lebih baik. Dibalik wajah dingin Aldara, terdapat tekad yang kuat untuk menjadi seseorang yang bermanfaat bagi lingkungannya tanpa menyakiti mereka yang tak bersalah.
Terkadang, Aldara berandai-andai menjadi perempuan normal seperti yang lain, dengan sifat feminim, pemalu, dan anggun. Namun, hal tersebut bukanlah jati diri Aldara yang sesungguhnya. Meski ada sisi feminim dalam dirinya, ia merasa lebih nyaman sebagai Aldara yang tomboy dan berjiwa pemberani, penuh semangat bela diri.
Tiba-tiba, Aldara teringat akan nasihat Aldo, teman barunya. Kata-kata yang paling terpatri di benaknya adalah untuk belajar mencintai diri sendiri serta mengekspresikan jati dirinya yang sebenarnya, asalkan tidak melawan kodratnya sebagai perempuan. Ya, Aldara tetaplah Aldara, dan ia takkan mengubah dirinya hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain.
Namun, mungkin ada satu sisi yang perlu diubah dalam dirinya, yaitu menghilangkan 'sisi iblis' yang membuatnya mudah tersulut emosi dan berakhir menyakiti orang lain. Dalam proses penerimaan diri, Aldara harus mencapai keseimbangan antara kelebihan dan kekurangannya, serta terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.