Terdengar suara 'sah' menyeruak ke dalam gendang telinga, seolah menyadarkan aku untuk kembali ke dunia nyata.
Hari ini, aku sah dipersunting oleh seorang Aleandro. Pria dingin dengan sejuta pesona. Pria beristri yang dengan sengaja menjadikan aku sebagai istri kedua.
Istri pertamanya, Michelle bahkan tersenyum manis dan langsung memelukku.
Aneh, kenapa tidak terbersit rasa cemburu di hatinya? Aku kan madunya?
Tanya itu hanya tersimpan dalam hatiku tanpa terucap sepatahpun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Papa Mertua
"Kenapa bisa begitu?" tanya Aleandro heran.
"Bisa saja wanita itu hamil dengan pria lain," lanjut Aleandro.
"Toh dia pergi dari sini dalam keadaan tidak hamil," ucap Aleandro tak mau kalah.
Ditaruh mana otak sahabatnya ini, apa harus semua dijelaskan. Batin Jerome.
"Kali aja alat yang dipakai buat ngetes waktu itu tak akurat tuan," Martin malah yang menjelaskan.
"Atau bisa saja, waktu itu Nona Andine belum telat," imbuh Martin.
"Tahu dari mana kamu? Nikah aja belum," balas Aleandro.
Jerome hanya bisa menepuk jidat.
"Kalau gitu aku harus menemukan wanita itu, aku harus memastikannya sendiri," ujar Aleandro.
"Andine Shadiqah, bukankah nama istri keduamu?" pancing Jerome.
Kesal dengan ulah Aleandro yang tak menganggap keberadaan Andine.
Aleandro menghela nafas panjang, teringat malam panjang dengan Andine Shadiqah.
"Ini pasti karena efek obat perangs4ng itu. Bahkan sampai sekarang aku belum bisa menemukan dalangnya," kesal hati Aleandro.
Martin dan Jerome kembali saling pandang, dan saling senyum.
"Dalangnya nggak bakalan ketemu tuan bos, karena itu ulah orang yang sangat berpengaruh,' ledek Martin dalam hati.
Jerome hanya bisa mengiyakan saja isi kepala Martin.
Jerome pamit hendak ke rumah sakit.
"Mana resepku?" tagih Aleandro.
Jerome hanya mengedikkan bahu tanpa memberi apa yang diminta Aleandro.
"Dasar dokter somplak," olok Aleandro.
Jerome terkekeh.
"Cari Andine, pasti anda sembuh tuan Aleandro yang terhormat," Jerome keluar dari kamar Aleandro.
Aleandro menoleh ke arah Martin.
"Maaf tuan, saya harus secepatnya pergi. Bukankah anda menyuruh saya untuk menggantikan rapat pagi ini," kata Martin segera beranjak karena tak ingin mendengar keluhan sang bos yang berada dalam mode meminta belas kasihan padanya.
"Martiiiiin....," teriakan Aleandro bahkan terdengar dari pintu utama. Sang asisten tetap melangkah ke arah mobil dan segera meluncur dari kediaman sang bos.
"Kenapa semua tak ada yang perhatian? Istriku malah pergi ke luar negeri," gumam Aleandro.
"Biiiiiii....," Aleandro memanggil asisten rumah tangga.
Kali ini dia ingin dibuatkan bubur ayam again.
.
Andine beranjak dari bath up setelah badannya rileks.
Aroma terapi yang ada di sana membuatnya terbuai mimpi sejenak.
Andine keluar dengan hanya memakai kimono mandi.
Andine terlonjak, karena sudah ada bibi yang berdiri di kamar.
"A... Ada apa bi?" tanya Andine terlepas dari kekagetannya.
"Baju ganti anda ada di balik pintu itu Nona. Oh ya, setelah selesai semua, anda ditunggu tuan di meja makan," beritahu bibi.
"Tuan? Menunggu saya?" tanya Andine tak percaya.
"Sebaiknya anda segera Nona. Tuan tak biasa menunggu," kata bibi dengan sopan dan segera keluar dari kamar. Meninggalkan Andine yang masih berdiri mematung.
"Siapa sebenarnya tuan yang dimaksud ini? Kenapa aku diperlakukan seperti ini? Haisss ya sudahlah," Andine melangkah ke ruang yang ditunjukkan oleh bibi tadi.
"Wowww... Apa ini?" Andine takjub dengan pandangan di depannya.
Ruangan yang cukup luas dengan baju-baju terpampang seperti etalase toko. Bahkan banyak baju masih lengkap dengan labelnya.
Ada juga sepatu, tas dan aksesoris lengkap tersedia di sana.
"Wow, fantastic. Alat make up nya pun lengkap," tak habis-habisnya Andine mengagumi semua.
"Berasa seperti putri yang hilang gue," Andine terkekeh.
"Atau cinderella dari negeri dongeng," Andine menggelengkan kepala, heran dengan cerita hidupnya sekarang bak cerita novel.
Andine menoleh ke sebelah kanan, outfit pria pun juga ada di sana.
Andine segera berganti karena tak ingin membuat sang tuan menunggu lama.
Andine turun dari tangga dengan setengah terburu.
"Bisa nggak sih hati-hati kalau jalan. Ada calon cucuku di perut kamu," tatap sang tuan yang belum diketahui namanya oleh Andine.
"Ma... Maaf tuan," jawab Andine menunduk.
"Duduk!" tegasnya tak terbantahkan.
Andine memilih berada di ujung dengan posisi berjauhan dari tuan itu.
"Duduk sini!" ujarnya seraya menunjuk kursi yang berada di samping kiri nya.
"Ma... Maaf tuan. Saya tak berani," tukas Andine merasa tak enakan.
"Nggak usah membantah," ucapnya membuat Andine mau tak mau mendekat.
Lagian meja makan segini gedhe, buat makan berdua . Keluarga yang lain mana? Batin Andine bermonolog.
"Makanlah!" katanya dengan nada melembut.
Andine melihat menu yang sangat banyak di meja makan.
"Ini semua tuan?" tanya Andine heran.
Mana muat perutnya menghabiskan semua makanan yang ada.
"Calon cucuku butuh asupan makanan bergizi," katanya berujar.
"Maaf tuan, boleh saya bertanya?" Andine memberanikan diri.
"Panggil papa," perintahnya membuat Andine lebih terkaget lagi.
"Papa?" gumam Andine pelan.
"Hhhmmm, bukankah kamu istri keduanya Aleandro?" lanjutnya.
'Lebih tepatnya istri tak diakui tuan,' batin Andine.
"Sudahlah, aku tahu semua apa yang diperbuat anak sableng itu," ujarnya seraya menghela nafas panjang.
Andine terdiam.
'Kalau aku nggak salah, apa ini artinya tuan ini adalah orang tua tuan Aleandro? Kok semakin aneh aja keluarga ini,' kata Andine dalam hati.
"Makanlah! Keburu dingin," suruh tuan yang mau dipanggil papa oleh Andine.
"Makasih tuan," tukas Andine.
"Papa....," pertegas papa Aleandro.
Andine tersenyum kikuk.
Andine terlihat sungkan mengambil menu yang diinginkannya.
"Tinggalah di sini! Pasti kamu diusir kan sama wanita tak jelas istri Aleandro itu?" kata papa Aleandro di sela makan.
Andine menunduk.
Tidak diusir tuan, tapi saya lah yang pergi. Karena perjanjian telah berakhir. Jawab Andine meski tak berani bersuara.
"Maaf tuan, tapi saya harus kerja," jawab Andine.
"Panggil aku papa, Andine!" pintanya untuk ketiga kalinya.
"Ma.. Maaf... Saya belum terbiasa," ujar Andine dengan mata berkaca.
Entah akhir-akhir ini emosinya naik turun tak terkendali.
"Maaf... Maaf...," pria setengah baya itu menurunkan egonya dengan menurunkan nada suara.
"Bukannya papa melarang. Tapi sebaiknya kamu nggak usah kerja lagi. Jaga calon cucu papa dengan baik!" ujarnya perlahan.
Andine terdiam, bingung harus memutuskan apa. Semua terjadi tiba-tiba, di luar ekspektasinya.
Papa Aleandro menyerahkan sebuah kartu buat Andine, "Anggap saja ini nafkah dari anak sableng itu. Sebagai pertanggung jawaban dia sebagai suami kamu,"
"Oh ya, jika Aleandro ke sini. Jangan sampai kamu terlihat olehnya. Papa harus memberi pelajaran pada anak tak tahu diuntung itu," kata papa Aleandro dengan kesal.
Tuan Pollin, itu lah nama papa Aleandro. Seorang raja bisnis pada masanya, dan sekarang tahtanya telah diturunkan kepada sang putra tunggal, Aleandro Pollin.
"Kalau butuh sesuatu, minta aja ke bibi," pesan tuan Pollin sambil beranjak pergi.
Andine hanya melihat kepergian pria setengah baya yang terlihat berwibawa itu.
'Apa itu artinya aku ditahan di sini sampai anakku lahir?'
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Mencoba menuangkan ide dalam sebuah karya sebagai penyaluran hobi.
Tapi kalau kurang dihargai rasanya nyesek di hati.
Apalagi, mendapat retensi bagus menjadi hal yang sulit saat ini.
Dukungan kalian semua para readers menjadi hal sangat berarti bagi kami.
💝
yup perlu banget Andien diperkenalkan