Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arman bertemu Caca di proyek
Malam itu, Sasa berbaring di atas ranjangnya. Tangannya memegang ponsel yang tergeletak di dada, dan pikirannya melayang-layang. Ia membaca ulang pesan Arman yang singkat tapi hangat. Sebagai istri, ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Arman bukan tipe pria yang mudah menunjukkan kelemahan, tapi Sasa sudah cukup lama bersamanya untuk mengenal tanda-tandanya.
Tatapannya beralih ke langit-langit kamar. Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, seperti melengkapi kesunyian malam. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Namun, perasaan itu tetap ada. Kegelisahan yang pelan tapi pasti menggerogoti dirinya.
“Caca...” gumamnya pelan. Nama itu sudah lama tidak ia dengar, tapi hari ini ia mendengar namanya lagi, lewat obrolan telepon dengan salah satu teman lamanya. Teman itu bercerita secara tak sengaja, menyebut bahwa Caca kini bekerja di kota tempat Arman bertugas.
Sasa tidak langsung menanyakan hal itu kepada Arman. Baginya, penting untuk tetap tenang dan mengumpulkan informasi lebih dulu. Tapi, apakah ia benar-benar siap menghadapi apa pun yang akan ia temukan nanti?
Keesokan harinya, di proyek tempat Arman bekerja, hari berjalan seperti biasa. Para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan suasana di lokasi penuh dengan suara alat berat dan diskusi teknis. Tapi di tengah kesibukan itu, dunia Arman mendadak terasa berhenti ketika matanya menangkap sosok yang tidak asing.
Caca.
Ia berdiri di ujung area proyek, mengenakan seragam formal. Rambutnya yang hitam panjang terurai rapi, dan senyumnya tetap sama seperti dulu—hangat dan menawan.
Saat waktu makan siang tiba, Arman berjalan menuju kantin proyek dengan langkah cepat. Meski perutnya mulai keroncongan, pikirannya dipenuhi kegelisahan. Ia berharap suasana kantin cukup ramai sehingga ia bisa makan tanpa terlalu menarik perhatian.
Namun, begitu melewati pintu kantin, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang sudah tak asing lagi. Wanita itu sedang duduk di salah satu meja, memegang laptop sembari berbicara dengan seorang pria yang mengenakan helm proyek. Rambut hitam panjangnya terurai rapi, dan postur tubuhnya menunjukkan kepercayaan diri yang tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali mereka bertemu.
Caca.
Jantung Arman berdegup kencang. Ia tak pernah membayangkan akan bertemu dengan wanita dari masa lalunya dalam situasi seperti ini. Terlebih lagi, dalam proyek yang ia tangani. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya. Apakah Caca sengaja datang ke sini? Atau ini hanya kebetulan semata?
Ia segera berbalik, berpura-pura mencari sesuatu di kantong celananya, berharap Caca tidak melihatnya. Namun, kantin kecil itu tidak memberikan banyak ruang untuk bersembunyi. Ia harus memutuskan, apakah akan tetap masuk atau meninggalkan tempat itu dan mencari makan di luar.
Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, seorang rekan kerjanya memanggil.
“Pak Arman! Ke sini, makan bareng kita!” teriak Agus, salah satu pengawas lapangan.
Suara itu terlalu keras untuk diabaikan. Arman tak punya pilihan selain melangkah ke meja tempat Agus dan beberapa pekerja lain duduk. Namun, matanya tak bisa lepas dari Caca.
Wanita itu terlihat fokus pada layar laptopnya, tapi seolah merasakan keberadaannya, Caca tiba-tiba mendongak. Mata mereka bertemu hanya sesaat, tapi itu cukup untuk membuat Arman merasa seperti waktu berhenti.
Ia segera mengalihkan pandangan, berharap Caca tidak mengenalinya.
Bab: Jarak Tak Kasat Mata
Arman duduk di meja bersama Agus dan beberapa pekerja lainnya, berusaha terlihat santai. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari kehadiran Caca di kantin. Wanita itu tampak tak peduli dengan keberadaannya, tetap fokus berbicara dengan pria di meja sebelah sambil mengetik di laptop.
Dalam hati, Arman merasa lega. Mungkin dia benar-benar nggak mengenali gue, pikirnya. Meski demikian, suasana di kantin itu terasa menyesakkan.
“Pak Arman, kok diem aja? Biasanya cerita-cerita, nih,” kata Agus sambil mengunyah makanannya.
Arman tersentak, menyadari ia terlalu tenggelam dalam pikirannya. “Ah, nggak, Gus. Lagi mikirin laporan aja,” jawabnya sambil memaksakan senyum.
Agus mengangguk, tampaknya puas dengan jawaban itu. Namun, saat obrolan di meja mulai menghangat, Arman merasa tatapan Caca sempat mengarah ke arahnya. Bukan tatapan yang frontal atau mencurigakan, melainkan sekilas, seperti seseorang yang melihat sesuatu yang tidak asing tapi memutuskan untuk mengabaikannya.
Caca memilih untuk tidak mendekatinya, tidak menyapanya, dan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mengenali Arman. Itu keputusan yang mungkin sama sulitnya dengan usaha Arman untuk menghindarinya.
Bab: Pertemuan yang Tidak Bisa Dihindari
Selama beberapa hari berikutnya, interaksi Arman dan Caca sebisa mungkin dijaga seminimal mungkin. Arman menghindari area di mana Caca biasa bekerja, sementara Caca pun tampaknya berusaha menempatkan diri hanya pada situasi yang benar-benar profesional.
Namun, di proyek sebesar ini, pertemuan langsung tak bisa dihindari.
Siang itu, Arman sedang berdiskusi dengan tim teknis tentang jadwal pengerjaan pipa bawah tanah. Suara bising dari alat berat mengisi udara, membuat percakapan harus dilakukan dengan nada sedikit berteriak.
“Pak Arman, saya rasa ini perlu dibahas dengan konsultan juga, supaya nggak ada miskomunikasi,” kata salah satu teknisi.
Arman mengangguk, meski sebenarnya enggan. “Baik, panggil konsultan kita.”
Beberapa menit kemudian, seorang asisten mendekati mereka, diikuti oleh Caca yang membawa setumpuk dokumen.
“Ini saya bawa revisi desainnya. Ada beberapa poin yang perlu disinkronkan,” katanya dengan nada datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi.
“Baik,” jawab Arman singkat. Ia mengambil dokumen yang diberikan Caca tanpa bertemu pandang.
Selama diskusi berlangsung, Caca tetap tenang dan fokus pada tugasnya. Ia berbicara dengan jelas, menjelaskan revisi yang diperlukan, dan memberikan masukan dengan profesionalisme yang tak terbantahkan. Namun, setiap kali Arman mencoba merespons, ada perasaan canggung yang tak bisa ia hilangkan.
Diskusi itu selesai dalam waktu setengah jam, dan Caca segera pergi tanpa banyak basa-basi.
Namun, saat Arman melihat punggung Caca yang menjauh, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehadiran wanita itu telah mengguncang keseimbangannya. Bukan hanya karena masa lalu mereka, tetapi juga karena betapa berbedanya dirinya sekarang—lebih dewasa, lebih kuat, dan lebih jauh dari Caca yang dulu ia kenal.