Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
luka lama
Malam itu, Arman kembali duduk di beranda rumah kontrakannya, ditemani angin yang membawa dingin. Di hadapannya, secangkir kopi yang belum sempat disentuh mulai mendingin. Surat dari Caca masih ia genggam, lipatannya sudah sedikit kusut karena terlalu sering dibaca ulang. Kata-kata di dalamnya terus berputar di kepala, menghantui setiap jeda pikirannya.
“Kenapa semuanya harus muncul sekarang?” gumamnya.
Arman tahu hidup sering tidak menawarkan jawaban langsung. Kadang, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menerima bahwa beberapa hal memang tidak akan pernah benar-benar selesai. Masa lalu adalah rumah yang tidak bisa dihuni lagi, tapi jejaknya selalu ada di setiap langkah yang kita ambil ke depan.
Namun, ada sesuatu tentang Caca yang berbeda. Wanita itu terlihat begitu tenang, seolah tidak ada lagi beban yang menghantui. Tapi Arman tahu, kediamannya adalah caranya melindungi diri. Ia pernah mengenal gadis itu terlalu baik untuk tidak menyadari bahwa ketenangan Caca sekarang adalah benteng yang dibangun dari puing-puing luka lama.
“Caca mungkin sudah memaafkan, tapi aku?” Arman memejamkan mata. Bayangan wajah Sasa muncul seketika.
Istrinya, dengan senyum lembut dan sorot mata yang selalu penuh pengertian, menunggu di rumah. Sasa adalah rumah bagi Arman, sebuah pelabuhan yang menenangkan di tengah badai hidupnya. Tapi apakah rumah itu masih bisa berdiri kokoh kalau ia membawa sisa-sisa masa lalunya ke dalamnya?
Sore itu, angin bertiup pelan di sekitar area proyek, membawa aroma khas debu dan beton. Langit mulai memerah, tanda bahwa malam segera tiba. Arman berjalan pelan menuju parkiran, melewati deretan kendaraan yang berjejer rapi. Tas kerjanya menggantung di bahu, sementara pikirannya melayang jauh, mencoba memilah-milah perasaan yang kian kusut.
Harinya di proyek hampir selesai. Semua tugas sudah hampir rampung, dan besok ia akan kembali ke kotanya, kembali ke rumah di mana Sasa menantinya. Namun, meskipun ia sudah menyusun rencana, hatinya masih belum sepenuhnya tenang. Ada banyak hal yang belum selesai di sini, bukan pada pekerjaannya, melainkan pada dirinya sendiri.
Ketika ia hampir sampai di mobilnya, langkahnya terhenti. Sosok Caca berdiri di dekat pagar parkiran, terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Wanita itu mengenakan blazer sederhana, rambutnya yang panjang diikat rapi, menciptakan kesan profesional yang tak tergoyahkan. Tapi bagi Arman, pandangan itu membawa serbuan kenangan yang membingungkan.
“Caca?” panggil Arman pelan, mencoba memastikan apa yang dilihatnya nyata.
Wanita itu menoleh, dan untuk sesaat, tatapan mereka bertemu. Tidak ada senyum, tidak ada kehangatan. Hanya sorot mata yang penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—campuran emosi yang tak terucap.
“Kamu masih di sini?” tanya Arman, mencoba terdengar santai meski hatinya berdegup kencang.
Caca mengangguk kecil, menoleh kembali ke arah jalan seolah menghindari kontak lebih lama. “Aku sedang menunggu seseorang. Tapi dia belum datang.”
“Oh.” Arman tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk bicara, tapi rasa ingin tahunya terus mendorongnya. “Boleh aku tanya sesuatu?”
Caca tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik, ia menghela napas dan menoleh kembali ke arah Arman. “Kalau soal pekerjaan, besok saja. Hari ini aku ingin pulang cepat.”
“Bukan soal pekerjaan,” ucap Arman cepat. “Soal... kita.”
Kalimat itu membuat udara di antara mereka terasa berat. Caca mengerutkan kening, seolah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Arman,” katanya pelan, “aku pikir kita sudah selesai dengan itu.”
Saat langit mulai gelap, dan angin semilir menyapa lembut wajah Arman, langkahnya seakan terhenti di depan area parkir proyek. Ia memandangi mobil Fortuner yang menghilang di kejauhan, membawa Caca jauh dari jangkauannya. Surat dari Caca yang masih tergenggam erat di tangannya seperti sebuah ikatan yang tak bisa dilepaskan, meski ia tahu bahwa semuanya telah berakhir.
Ketika mobil itu menghilang dari pandangannya, Arman tetap berdiri terpaku, memikirkan kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Caca. “Aku pikir kita sudah selesai dengan itu.” Kalimat yang tak terduga, seperti pisau yang menghujam ke dalam hatinya. Ia merasa seperti seorang pelancong yang tersesat, terperangkap di masa lalu, tanpa arah.
Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai menyadari bahwa tidak ada gunanya terus terjebak dalam kenangan. Arman menarik napas dalam-dalam. "Aku harus melangkah maju," pikirnya, meskipun hatinya masih terasa penuh keraguan.
Malam semakin larut, dan langkahnya membawa Arman ke dalam keheningan jalanan proyek yang sepi. Tangan yang semula memegang surat itu kini terkulai di samping tubuhnya. Di bawah sinar rembulan yang redup, ia mulai memikirkan kehidupan yang seharusnya ia jalani—sebuah kehidupan bersama Sasa, istrinya, yang selalu berada di sisi Arman, memberikan cinta dan pengertian tanpa syarat. Ia merasakan kehangatan dalam dirinya saat memikirkan Sasa. Namun, bayangan Caca tetap mengganggu, meski perlahan mulai ia coba lepaskan Caca.
Di dalam mobil Fortuner, suasana terasa sedikit canggung. Caca duduk di samping Raihan, yang sedang mengemudi dengan tenang. Mobil melaju pelan melewati jalan-jalan kota yang sunyi, sementara Caca tampak termenung, matanya menerawang ke luar jendela, menyaksikan dunia yang terus bergerak tanpa peduli dengan beban di hatinya.
“Ada apa, Ca?” Raihan bertanya lembut, menatap Caca yang tampak jauh dalam pikirannya.
Caca terkejut sejenak, baru menyadari bahwa ia sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Oh, tidak apa-apa, Raihan,” jawabnya, memaksakan senyum tipis di wajahnya. “Aku hanya... sedikit memikirkan hal-hal lama.”
Raihan melirik ke arah Caca, membaca setiap ekspresi di wajah wanita yang kini telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ia sudah cukup mengenal Caca untuk tahu bahwa ada banyak hal yang tidak pernah bisa diungkapkan secara langsung. “Tentang Arman?” tanyanya dengan penuh pengertian, meskipun ia sudah bisa menebak jawaban dari Caca.
Caca mengangguk pelan, matanya kembali menatap jalanan yang panjang dan sepi. “Iya. Kadang, meskipun kita sudah berusaha melupakan, kenangan itu tetap muncul, bahkan tanpa kita inginkan.”
Raihan memperlambat laju mobilnya, memberikan perhatian penuh pada Caca. “Tapi kamu sudah memilih untuk bersama aku, kan?” tanya Raihan, mencoba memastikan bahwa Caca masih tetap berada di jalur yang sama dengannya.
Caca menoleh ke arahnya, matanya penuh ketulusan. “Aku sudah memutuskan, Raihan. Aku di sini, bersamamu. Hanya saja, tidak bisa dipungkiri, ada bagian dari masa lalu yang tetap ada di dalam diriku. Itu bukan berarti aku belum bisa move on, hanya saja...” Caca berhenti, mencari kata-kata yang tepat. “Kadang, ada hal-hal yang memang sulit untuk dilupakan.”
Raihan menggenggam tangan Caca, memberikan dukungan tanpa banyak bicara. “Aku paham, Ca. Aku percaya padamu. Dan aku yakin, kamu sudah jauh lebih baik sekarang. Kamu tidak perlu khawatir.”
Caca menatapnya, dan dalam hatinya, ia merasa sedikit lega. Namun, ada rasa takut yang masih menggantung. “Aku berharap begitu,” ucapnya pelan, sebelum kembali menundukkan wajahnya. “Terkadang, aku merasa tidak adil jika terus membawa masa lalu ke dalam hubungan kita.”
Raihan menoleh ke arah Caca, matanya penuh dengan kasih sayang. “Caca, kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa memilih untuk terus maju. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita. Jadi, tidak perlu takut.”
Caca mengangguk perlahan, merasakan ketulusan dari Raihan. “Terima kasih, Raihan,” jawabnya dengan lembut. "Aku akan berusaha."