Layaknya matahari dan bulan yang saling bertemu disaat pergantian petang dan malam, namun tidak pernah saling berdampingan indah di langit angkasa, seperti itulah kita, dekat, saling mengenal, tapi tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Aku akan selalu mencintaimu layaknya bulan yang selalu menemani bintang di langit malam. Diantara ribuan bintang di langit malam, mungkin aku tidak akan pernah terlihat olehmu, karena terhalau oleh gemerlapnya cahaya bintang yang indah nan memikat hati itu.
Aku memiliki seorang kekasih saat ini, dia sangat baik padaku, dan kita berencana untuk menikah, tetapi mengapa hatiku terasa pilu mendengar kabar kepergianmu lagi.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatanganmu, namun hubungan kita yang dulu sedekat bulan dan bintang di langit malam, justru menjadi se-asing bulan dan matahari.
Kisah kita bahkan harus usai, sebelum sempat dimulai, hanya karena jarak yang memisahkan kita selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roshni Bright, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Parenting
Karissa menunggu Jolie di depan pintu kamar mandinya.
“Sayang, Kamu ke WC-nya sendiri ya, Mama tunggu di luar,” ucap Karissa tersenyum mengelus pipi Karissa.
“Iya Mah,” jawab Jolie masuk ke dalam.
Jolie langsung masuk mengunci pintu kamar mandinya.
Tak lama kemudian Jolie membuka pintunya.
“Udah Sayang?” tanya Karissa menatapnya.
“Iya Mah,” jawab Jolie menganggukkan kepala.
Karissa dan Jolie pun menghampiri Jidan dan Ji-hyeon yang sudah menunggu di depan.
“Ayok!” ajak Karissa.
“Sekarang Kita cari makan dulu, ya walaupun sebentar lagi sampai, tapi takut di sana susah cari makanan, jadi Kita makan dulu,” ucap Jidan.
“Iya pah,” jawab Ji-hyeon.
Mereka mengelilingi rest-area, untuk mencari makanan apa yang hendak Mereka makan.
Ketika hendak kembali ke mobil, ada seorang Wanita memanggil Jidan.
“Jidan,” panggil seorang Wanita.
Jidan dan Keluarga menoleh ke asal suara yang ada di belakang Mereka. Seorang Wanita berlari menghampirinya.
“Maaf, Mbak siapa ya?” tanya Jidan.
“Aku Fyneen, masa Kamu lupa sih sama aku?” tanya Fyneen seolah sangat dekat dengan Jidan.
“Tidak semua orang bisa dengan mudahnya aku ingat, memori otakku hanya bisa menyimpan beberapa nama yang tersimpan di dalam hatiku saja ...”
“... Apa sebelumnya Kita sudah saling mengenal? Atau hanya Kamu yang mengenalku, tetapi aku tidak mengenalmu ...”
“... Terkadang ada orang yang mengenal orang lain, tetapi orang lain yang Ia kenal itu belum tentu mengenalnya ...”
“... seperti contohnya public figure, pasti banyak orang yang mengetahui siapa Dia, siapa namanya, tetapi tidak banyak orang yang mengetahui bagaimana kehidupan pribadinya disetiap harinya ...”
“... sama halnya dengan public figure yang dikenal oleh banyak orang, tetapi hanya sedikit orang yang Ia kenal, dan juga mengenal segala kebaikan dan keburukannya ...”
“...Banyak orang di luar sana yang ingin tahu tentang kehidupan orang lain, padahal orang yang Ia tuju justru tidak ingin mengetahui apapun tentangnya ...”
“... Berhentilah seolah Kamu mengenal setiap orang yang Kamu temui, karena belum tentu Mereka benar-benar mengenalmu. Pergilah! Aku tidak mengenalmu! Ayok Sayang!” ucap Jidan ketus pada Wanita yang seolah-olah mengenalnya itu, dan mengajak Karissa untuk segera pergi dari sana.
Karissa nampak bingung dengan apa yang terjadi di depan matanya.
Jidan yang melihat Karissa terdiam dan nampak kebingungan pun memulai topik pembicaraan.
“Apa Kamu masih memikirkan tentangnya?” tanya Jidan.
“Hm iya Mas. Jika memang Kalian tidak saling mengenal, mengapa Wanita itu terlihat seperti sangat mengenalmu? Bukannya gak kenal kali Mas, mungkin Kamu lupa kali sama Dia. Mungkin Kalian pernah satu kelas kali,” ucap Karissa.
“Kalau memang benar sekelas, lantas mengapa? Tidak semua orang yang sekelas denganku itu layak disebut sebagai seorang teman bukan? ...”
“... karena begitu banyaknya kasus pembullyan di luar sana yang terjadi di dalam kelas, dan itu pasti, di setiap kelas pasti ada saja manusia-manusia yang tidak bisa memanusiakan sesama manusia ...”
“... jadi ku rasa, tidak semua orang yang sekelas denganku itu layak disebut sebagai seorang teman ...”
“... Mengingat banyak sekali orang-orang toxic di luar sana yang hanya ingin dimanusiakan oleh orang lain, tetapi lupa, atau bahkan tidak tahu bagaimana caranya memanusiakan orang lain ...”
“... Berhentilah menganggap setiap orang yang sekelas denganmu sebagai temanmu sendiri, karena banyak dari Mereka yang bahkan tidak layak untuk diakui sebagai seorang teman,” ucap Jidan.
“Hm.. Iya juga sih Mas, sekarang banyak banget ya kasus bullying di sekolah, bahkan ada yang korbannya sampai meninggal dunia.”
“Itulah pentingnya pengawasan guru dan orangtua. Anak-anak yang nakal, malah dibela dengan alasan “masih kecil,” justru saat kecil itulah saatnya mendidik anak dengan baik ...”
“... agar tidak tumbuh menjadi seseorang yang suka menghina dan menjatuhkan orang lain, tapi mirisnya, banyak orangtua yang berpikir ...”
“... jika anak nakal, dibiarkan begitu saja akan berubah dengan sendirinya, padahal itulah yang membuat anak semakin bersikap semena-mena saja pada orang lain, karena sejak kecil, Ia tidak pernah di didik bagaimana caranya memanusiakan sesama manusia ...”
“... Biasanya anak-anak seperti itu terbentuk dari lingkungan Keluarganya sendiri. Orangtua yang sering bertengkar di depan anak, saling berkata kasar satu sama lain, atau sering mencontohkan yang tidak baik pada anak, itu yang akan membentuk kepribadian anak saat dewasa nantinya ...”
“... Memang, lingkungan pertemanan anak juga turut mempengaruhi kepribadian anak, tapi penyumbang terbesar kepribadian anak terletak pada Keluarganya sendiri ...”
“... jadi ya seharusnya diadakan penyuluhan terhadap orangtua terkait bagaimana caranya mendidik anak dengan baik, karena banyak orang yang menikah, tanpa belajar terlebih dahulu ilmu parenting.”
“Tapi menurutku, anak kalau terlalu dikekang juga gak bagus untuk kesehatan mentalnya.”
“Iya, memang benar, diawasi - dididik - bukan dikekang. Bebaskan anak dengan mimpinya, tapi jika jalur yang ditempuh untuk meraih mimpinya itu merupakan jalan yang salah, disitulah perannya Orangtua sebagai pembimbing yang baik untuk Anak-anaknya.”
“Iya, banyak di luar sana Orangtua mengatakan “Kami Orangtuamu, Kami tahu mana yang terbaik untukmu, tidak usah mengajari Kami, Kami lebih tua darimu! Kami lebih tahu bagaimana jahatnya kehidupan daripada Kamu yang hanya tinggal makan, duduk, tidur saja di rumah! ...”
“... padahal yang tahu apa yang terbaik untuk anak, ya anaknya sendiri, bukan Orangtua, karena kan setiap manusia pasti memiliki hati nurani, dan perasaan yang dirasakan setiap orang pasti berbeda ...”
“... jadi ya sebenarnya, Orangtua tidak tahu apapun yang terbaik untuk Anaknya, kecuali menanyakannya langsung pada Anaknya, Dia maunya apa, maunya gimana, itu baru Orangtua yang benar, bukan malah berpikir, jika yang terbaik menurut Mereka itu yang terbaik untuk Anaknya ..."
“... karena terkadang hal-hal yang menurut Orangtua itu yang terbaik untuk Anaknya justru menjadi luka terhebat untuknya. Semakin lama akan semakin menumpuk rasa sakit di dalam hati Anaknya itulah yang membuat Anak-anak muda sekarang banyak yang mendatangi psikiater hanya karena keegoisan Orangtuanya sendiri...”
“... yang selalu berpikir, jika Mereka tahu banyak hal untuk Anaknya, padahal Mereka tidak mengetahuinya sama sekali. Orangtua yang mengatakan tahu yang terbaik untuk Anaknya sendiri itu pasti tidak pernah menanyakannya terlebih dahulu kepada Anaknya ...”
“... alih-alih membantu mewujudkan mimpi Anak, justru malah membunuh mimpi Anaknya sendiri. Anak tumbuh dengan perasaan yang terluka parah dengan terus berharap suatu saat Orangtuanya akan bisa mengerti dirinya ...”
“... namun hanya sekedar harapan kosong yang tidak pernah ada pengembalian yang setimpal di dalam setiap luka yang tersimpan di dalam hatinya. Anak terus dipaksa menjadi robot bagi Orangtuanya sendiri ...”
“... Membuat Anak hanya untuk mewujudkan mimpi Orangtuanya yang selama Ini mimpi itu tidak bisa terwujudkan, jadi memanfaatkan Anak untuk meraih mimpi Orangtua ...”
“... Terkadang Orangtua lupa, jika anak juga berhak untuk mewujudkan mimpinya sendiri, tidak harus selalu mewujudkan mimpi Mereka ...”
“... Pentingnya bekerja keras untuk mewujudkan mimpi sendiri walaupun sudah memiliki seorang Anak, agar tidak menjadikan Anak sebagai robot pemuas ego dan mimpi yang tidak bisa Ia raih seorang diri.”
“Kita sudah sampai,” ucap Jidan menghentikan mobilnya.
Jidan dan Karissa membangunkan Anak-anaknya yang tertidur.
Setelah Ji-hyeon dan Jolie terbangun, Mereka jalan terlebih dahulu ke dalam, sedangkan Jidan mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil.