Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Tatapan Pertama yang Membuat Berdebar
Pagi itu, Rina merasa agak berbeda. Cuaca cerah seperti biasa, namun ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya. Saat berdiri di depan cermin, ia merapikan seragam sekolahnya, melihat rambut yang dikepang sederhana, dan memeriksa kantong tasnya yang berisi kaset kaset favorit serta surat-surat dari Danu yang semakin banyak. Setiap kali surat itu tiba, hatinya berdebar, dan meskipun ia mencoba berpikir rasional, perasaan itu tetap ada. Perasaan yang sulit dijelaskan—perasaan yang pertama kali datang saat ia berada di dekat Danu.
Hari itu, di kelas, Rina merasa sedikit gelisah. Ia bahkan tidak bisa fokus mendengarkan pelajaran Biologi, meskipun Sari duduk di sampingnya dan sesekali menepuk-nepuk bahunya untuk memberinya semangat.
“Ada apa, Rin? Kayaknya muka kamu beda banget deh hari ini,” tanya Sari, sambil menyodorkan sepotong permen karet.
Rina hanya tersenyum dan mengangguk pelan. "Gak tahu, mungkin cuma perasaan aja."
Sari melirik Danu yang duduk beberapa meja di depan mereka. Rina mengikuti arah pandangannya, dan matanya bertemu dengan mata Danu. Seketika, jantung Rina berdegup kencang, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan di udara di antara mereka. Danu menatapnya beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan, namun tatapan itu cukup membuat Rina merasa bingung dan cemas. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang mengganggunya.
"Eh, Rin, kamu udah sadar belum?" tanya Sari, masih penasaran. "Kayaknya Danu lagi pandangin kamu, deh!"
Rina mendelik kaget. “Hah? Kamu serius?” tanya Rina, mencoba menyembunyikan rasa malu yang mulai merayapi wajahnya.
“Serius, deh. Tadi dia pandangin kamu kayak... apa ya, kayak ada yang pengin dia omongin tapi nggak berani.”
Rina berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Sari. Apakah mungkin Danu merasakan hal yang sama? Atau mungkin ia hanya merasa canggung karena beberapa kejadian terakhir? Mereka semakin sering berbicara di luar pelajaran, namun semuanya terasa ringan—terlalu ringan. Ia tak tahu harus berpikir apa, dan saat Danu menoleh lagi, tatapannya seakan lebih dalam, lebih intens.
Bel berbunyi, dan Rina segera mengemas barang-barangnya, berusaha menenangkan diri. Namun, rasa cemas itu tak kunjung hilang. Sesampainya di kantin, Rina merasa tubuhnya seperti melayang. Matanya mencari-cari Danu di antara kerumunan teman-teman mereka. Dan akhirnya, ia melihatnya, duduk bersama beberapa teman laki-lakinya. Namun, Danu tampaknya sedang menghindar untuk bertatap muka dengannya. Rina bingung. Ada apa?
“Sari, ayo ke sana!” Rina menarik tangan sahabatnya.
Sari yang sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Rina, hanya tersenyum lebar. "Ayo, kita tebak-tebakan, siapa yang lebih canggung antara kamu dan Danu nanti."
Rina melangkah maju dengan langkah ragu. Saat ia hampir sampai di meja Danu, ia berhenti sejenak. Danu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tak lama setelah itu, ia pun tersenyum tipis.
“Hai, Rin,” sapanya santai, seakan-akan tak ada apa-apa. Namun, ada sesuatu dalam suara Danu yang membuat Rina terdiam.
“Hai, Danu,” jawabnya dengan suara lebih rendah, berusaha menguasai diri.
Danu memindahkan Walkman-nya ke meja. “Aku baru selesai buat mix-tape baru, nih. Pengen kamu dengerin.”
“Buat aku?” tanya Rina, tak percaya.
Danu hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Tanpa pikir panjang, Rina menerima kaset itu. Meski hanya sebuah kaset kosong dengan label yang tertulis tangan, Rina tahu ada makna yang lebih dalam dari sekadar hadiah biasa.
“Aku... bisa dengerin di mana?” tanya Rina, sedikit canggung. Sari yang berada di belakangnya ikut menahan tawa.
Danu mengambil Walkman dari tasnya, lalu memberikan kepada Rina. "Pakai ini aja, biar lebih asyik," jawabnya, suaranya terkesan serius.
Rina yang tidak ingin menunjukkan betapa hatinya sedang berdebar-debar, langsung memutar Walkman itu setelah menemukan tempat duduk. Kaset itu terpasang dan suara musik pun mengalun. Musiknya lembut, dengan lirik yang penuh arti.
Tiba-tiba, sebuah lirik terdengar. “Mendengar kamu tertawa, hatiku berdebar.”
Rina terkejut. Lirik itu bukan hanya kata-kata biasa; lirik itu menyentuh hatinya. Ia tersenyum kecil, merasa bahwa Danu mulai berbicara melalui lagu-lagu yang ia pilih. Ada pesan tersembunyi dalam lagu-lagu itu yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua. Ia mulai berpikir bahwa Danu memang memiliki cara yang unik dalam berkomunikasi.
Setelah beberapa lagu selesai diputar, Rina melepas Walkman itu dan melihat Danu yang duduk tak jauh darinya, memperhatikannya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Untuk pertama kalinya, Rina merasakan ada keterhubungan di antara mereka yang tak perlu diucapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih nyata.
"Terima kasih, Danu," kata Rina akhirnya, setelah menenangkan perasaannya.
Danu hanya mengangguk, namun kali ini senyumannya sedikit lebih lebar. "Sama-sama."
Rina tak bisa menahan diri. Dalam hati, ia merasa sedikit bingung dengan perasaan yang baru muncul, perasaan yang sulit ia definisikan. Apa ini yang disebut cinta? Mungkin, namun, yang jelas ia tahu—perasaan ini lebih dari sekadar rasa penasaran yang dulu. Ini lebih dalam.
---
Seiring berjalannya waktu, Rina dan Danu semakin sering menghabiskan waktu bersama. Setiap saat yang mereka lewati terasa berharga dan penuh dengan percakapan ringan yang membuat keduanya semakin dekat. Namun, perasaan Rina semakin kuat, dan ia tahu sudah saatnya untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Tetapi, apakah Danu merasa hal yang sama?
Mungkin, suatu hari nanti, saat mereka duduk berdua di bawah pohon besar di taman sekolah, di antara kaset dan surat cinta yang telah lama mereka bagi, mereka akan berbicara lebih banyak—tentang perasaan mereka, tentang cinta yang sudah mulai tumbuh.
Namun, untuk saat ini, Rina cukup bahagia dengan perasaan berdebar yang masih ada setiap kali tatapan mereka bertemu.