Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEO's Kiss
Bab 10
"Jangan membahas hal yang sudah pernah dibahas."
Elara merenung. Dia sadar, tadi siang di kantor, dia sudah membahas ini.
"T-tapi Tuan. Aku hanya mengingatkan aja. Lain kali jangan kaya gitu," ucap Elara dengan hati-hati.
"Lain kali? Itu tak akan pernah terjadi." Zayden menjawab dengan dingin.
"Sungguh?" Elara meyakinkan Zayden, dengan mata berbinar.
"Kau gak bisa mendengar? Aku bilang mulai besok kau homeschooling. Buat apa ada urusan lagi ke sekolah. Dasar bo**h."
"Eh ... Iya juga," gumam Elara, dia bingung sendiri.
Zayden mengerutkan keningnya. "Sudah, tak perlu mengajariku apa pun. Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Bodyguard lebih bisa diandalkan. Lagipula, kita akan menikah, berhenti memanggilku 'Tuan'."
Elara terdiam. “Lalu aku harus panggil apa? Om?”
Seketika wajah Zayden berubah tegang. “Jangan panggil aku Om,” suaranya lebih tajam kali ini. Perbedaan usia mereka yang mencolok selalu menjadi titik sensitif bagi Zayden.
Elara tersentak, merasa salah bicara. Namun sebelum ia bisa meminta maaf, Zayden berdiri, mendekatinya dengan langkah mantap. Tatapan matanya memaksa, seolah ada keinginan yang tak bisa ia sembunyikan lebih lama.
“Kalau kamu bingung, panggil saja aku, 'sayang,” bisik Zayden saat jarak mereka semakin dekat.
Elara tersipu, bingung harus berkata apa. “Ha? S-sayang?” gumamnya lirih, suaranya bergetar, antara malu dan takut.
Zayden tak memberi ruang baginya untuk menolak. “Panggil aku 'Sayang,' atau aku tidak akan berhenti di sini,” ancamnya dengan lembut, suaranya lebih berat dari sebelumnya, menggantung seperti ancaman manis yang tak bisa diabaikan.
Elara berusaha menenangkan dirinya, namun ketegangan yang menggantung di antara mereka membuatnya tak bisa berpikir jernih. Zayden semakin mendekat, nafas mereka hampir bersentuhan. Elara mundur perlahan, tapi tubuhnya gemetar saat akhirnya tak bisa lagi menghindari kehadiran pria itu.
“Ja… Jangan, s-sayang…” Elara berbisik panik, mencoba memenuhi permintaan Zayden. Namun, suara itu terlalu lemah untuk menghentikan langkahnya.
Dan akhirnya, ciuman itu mendarat juga. Bibir Zayden menyapu lembut bibir Elara, menguasai setiap gerakannya, membuat gadis itu tersentak dalam diam. Sebuah gelombang emosi yang tak pernah ia duga membanjiri tubuhnya. Rasa takut yang tadi membelenggunya perlahan larut dalam kehangatan yang tak terduga. Di tengah protes yang hendak terlontar, Elara malah terjebak dalam sesuatu yang baru, sesuatu yang ia tak mengerti tapi membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Tangan Zayden perlahan meraih wajahnya, membingkai dengan lembut, semakin memperdalam ciuman itu. Sementara Elara, yang awalnya terkejut dan ingin melawan, kini tenggelam dalam sunyi yang lembut, seakan ia tak punya kekuatan untuk melawan perasaan yang perlahan muncul dalam dirinya. Bibir mereka bergerak selaras, seolah dunia di sekeliling mereka menghilang.
“Elara…” Zayden berbisik di sela-sela ciuman, suaranya serak dan dalam.
Elara tak bisa lagi berkata apa-apa. Semua kata yang ingin ia ucapkan sudah larut dalam kehangatan bibir mereka.
Keheningan menutupi ruangan setelah ciuman itu terlepas dan Elara merasakan detak jantungnya berpacu dengan kecepatan yang belum pernah ia alami sebel Zayden, sosok yang selalu tampak kuat dan berkuasa, kini seolah terjebak dalam momen tersebut. Matanya, biasanya tajam dan penuh perhitungan, kini menampakkan kerentanan yang jarang terlihat. Mereka berdua terdiam, terperangkap dalam keasyikan baru yang menghangatkan jiwa.
"M-maaf," ucap Zayden, kaku.
Elara hanya mengangguk, sambil agak menunduk. Dia benar-benar malu, meski ini profesinya. 'Kenapa rasanya ... ' gumam Elara menggantung.
Gadis belia itu, menggigit bibirnya, merasakan kehangatan dari ciuman itu masih menyisakan sensasi di ujung-ujung jari. Di dalam hatinya, pertanyaan menggelayut; kenapa ciuman ini terasa berbeda? Selama ia menjalani pekerjaan sebagai wanita penghibur, tidak pernah sekalipun ia merasakan keintiman seperti ini. Mungkin karena Zayden adalah lelaki yang berpengaruh, atau bisa jadi karena ia masih muda dan tak berpengalaman.
Dia adalah wanita penghibur yang selama ini melayani lelaki hidung belang, tapi mereka semua tak pernah memberi sensasi seperti ini. Bibir Zayden, lembut dan hangat, seakan menyedot semua keraguannya, sementara sikapnya yang penuh percaya diri membuatnya merasa seolah mereka berdua adalah satu-satunya yang ada di dunia ini.
Dengan ketegangan yang masih tersisa di udara, Elara berusaha memecah kesunyian.
“Tuan… Aku… aku harus pergi ke salon,” ucapnya, suaranya bergetar, mencerminkan gugupnya setelah peristiwa yang mengubah segalanya itu. Mematuhi perintah Zayden, ia harus menyiapkan diri untuk pernikahan yang dijadwalkan.
Zayden hanya mengangguk pelan, suaranya lirih, “Ekhm. Iya, pergi saja.”
Elara berdiri dan merapikan pakaiannya, namun gerakannya terasa canggung. Seolah setiap langkahnya terasa berat, menandakan pergeseran besar dalam hidupnya. Dia pergi dengan langkah terburu-buru, tak jauh dari apartemen Zayden, Pak Sobri selalu yang siap mengantarnya ke mana pun.
"Ayo Pak," ajak Elara, langkahnya tidak berhenti.
"Ke salon."
"Eh. Ke salon?" Pak Sobri ingin mengklarifikasi, takut salah dengar. Tetapi Elara sudah jauh menuju mobil.
Sepanjang perjalanan ke salon, pikiran Elara melayang jauh. Ciuman Zayden terus berputar dalam ingatannya, menjadikannya tak bisa berkonsentrasi. Mungkin orang-orang di luar sana menganggapnya menjadi wanita penghibur adalah menjual diri, tetapi sejujurnya, hatinya tak pernah merasa sepadan dengan tawaran yang selama ini diberikan oleh klien-kliennya.
Ciuman itu—penuh gairah dan kehangatan—bukanlah sekadar bentuk transaksi. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kebebasan emosional, meski ia tahu dirinya berada di posisi yang sulit. Ia menganggap ini sebagai awal yang baru, meskipun bayang-bayang masa lalunya terus membayangi.
Tidak ada yang tahu, bagaimana cara Elara melayani para hidung belang. Malah ciuman dengan Zayden adalah pengalaman pertamanya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, bahkan tanpa imbalan.
"Kita ke mana, Mbak?" tanya Pak Sobri yang sudah cukup lama membelah jalanan.
"Ke salon, Pak. Tadi, emangnya aku belum bilang ya apa?" jawab Elara, konsentrasinya masih terbelah.
"Mbak, sekarang udah pukul sembilan malam, salon tutup."
"Hah?" Elara baru sadar. "Kenapa aku bego banget sih," ujar Elara lirih. Dia melihat di jendela mobil. Suasana sudah gelap..
"Mbak El sedang sakit kah?" tanya Pak Sobri ragu.
"Enggak pa. Enggak apa-apa." Elara merasa malu sebenarnya.
Suasana hening sejenak. Elara jadi canggung. Kerena ciuman itu, dia sampai lupa waktu, malah kehilangan kewarasan. Meski Pak Sobri atau siapa pun tidak ada yang tahu Ciuman antara Elara dan Zayden, tapi gadis itu merasa seluruh dunia tahu. Hingga kini yang dirasakan hanya rada malu dan kikuk.
"Em, Pak. Kita ke supermarket aja. Tanggung jalan," perintah Elara, yang diangguki oleh Pak Sobri.
Ponsel Pak Sobri berbunyi panggilan masuk. Namun,. diabaikan. Ponsel itu berbunyi lagi, sampai berkali-kali.
"Siapa Pak? Angkat saja, gak apa-apa."
Di layar ponsel itu tertera nama Nyonya Laura.
Bersambung...