Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 10
Nenek Ratih dan Wijaya pergi ke pasar untuk membeli beberapa perlengkapan pembuatan etalase yang kurang, meninggalkan Sukma sendiri di rumah. Wanita itu sibuk membuat kue di dapur, sambil sesekali bersenandung lirih mengikuti irama musik dari rumah tetangga.
Ia tak sadar jika pintu diketuk beberapa kali dari luar, dan dua orang wanita masuk begitu saja saat tuan rumah tak kunjung datang. “Sukma, mana mbak Ratih?” tanya wanita paruh baya itu.
Sukma terhenyak, ia sempat mengusap dadanya beberapa kali. Namun, pada akhirnya tersenyum juga, mempersilahkan dua wanita itu duduk dan mencoba kue nya yang masih hangat. “Ibu sedang ke pasar Mbah Sani, ada apa ya?”
“Oh, ini loh aku sama Giyem ingin membicarakan masalah arisan. Oh iya ini beneran nggak apa-apa kami cobain kuenya, kan untuk dijual nanti kamu rugi kalau malah dihidangkan begini,” ucap mbah Sani lagi.
Sukma tersenyum lebar, di tengah bisingnya suara musik ia berusaha menjawab pertanyaan mbah Sani dengan nada lebih tinggi, setengah berteriak. “Tidak mbah, mohon doanya saja semoga kedepannya diberikan lancar, banyak pelanggan dan sukses ya.”
“Amiiin, tentu saja kami mendoakanmu. Iya kan Yem?” Mbah Sani mencolek lengan rekannya yang malah sibuk menatap ke arah jendela nako yang terpasang di dinding dapur. Jendela langsung mengarah ke rumah kosong, menampilkan bagian belakang rumah yang sudah sangat lapuk dan hampir roboh.
“Yem, kamu lihat apa sih? sampe nggak respon diajak ngomong,” tanya mbah Sani.
“Itu loh San, rumahnya Memey. Sudah lama rumah itu kosong sampe mau roboh begitu, emang nggak ada keluarga lain ya San, eman-eman itu.”
Sukma menyimak perbincangan dua wanita sepuh itu, dan baru kali ini ia mendengar nama Memey disebut sebagai pemilik rumah. Ibu mertuanya hanya menyebutkan nama bapak pemilik rumah, Sukma yakin Memey adalah putri tuan rumah yang kabarnya meninggal saat hamil.
“Sebenarnya ada, tapi keluarganya di luar pulau. Sudah pada sukses, jadinya nggak peduli sama rumah ini.”
“Kenapa nggak diwakafkan aja ya, kalau dibiarkan begini bukannya malah jadi sarang setan? eh, Sukma rumahmu kan yang paling dekat, emangnya nggak ada yang aneh-aneh gitu? secara kan rumah itu kosong lama, lihat bentuknya aja udah ngeri. Lembab dan lapuk, setan suka tempat seperti itu.”
Sukma tersenyum canggung, mengingat semua hal aneh yang menimpanya selama ini. Tapi sedikitpun ia tak ingin membagi kisah itu pada orang lain.
“Memey itu siapa Mbah?” tanya Sukma, pada akhirnya ia mengalihkan pembicaraan.
“Memey itu putrinya pak Dasuki, wanita itu sangat cantik, aktif dan lincah. Dia suka menari dan menyanyi, aku masih ingat bagaimana Ningsih ibunya yang selalu membanggakan putrinya itu. Tapi, saat kejadian itu terjadi, semuanya berubah hingga mereka mati satu persatu. Aneh pokoknya.”
Sukma mematikan kompor, kue terakhir yang dipanggangnya sudah matang. Sekarang ia ingin mengorek informasi dari dua wanita di depannya itu. “Memangnya kejadian apa Mbah?”
Mbah Sani menghela nafas berat, matanya menerawang jauh ke depan mengingat masa-masa dimana awal mula musnahnya keluarga kaya raya di kampungnya itu. Wanita itu pun menceritakan sebuah kisah lama yang tak pernah didengar Sukma dari ibu mertuanya selama ini.
“Dulu keluarga pak Dasuki adalah yang terkaya di desa kita, sayangnya mereka sedikit sombong. Apalagi pada kami masyarakat miskin, kecuali pada mertuamu, Sukma. Ya itu pun karena Kang Samiran dulu kepala desa.
Suatu hari, keluarga pak Dasuki digegerkan oleh kabar kehamilan putrinya. Dia murka, amarahnya tak terbendung, suaranya sampai keluar rumah. Memey, putrinya enggan mengatakan siapa bapak dari bayi itu.”
Sukma menyimak cerita dengan sedikit tegang, entah kenapa perasaannya tak nyaman mendengar cerita ini. Belum lagi tiba-tiba suara musik di rumah tetangga tak lagi terdengar.
“Masyarakat desa sibuk menebak-nebak siapa bapak dari jabang bayi dalam kandungan gadis cantik itu, kebetulan Memey memang terkenal lincah dan aktif, saat itu gadis itu sering ikut manggung teman-temannya, menyanyi dan menari.
Jadi, warga menyimpulkan jika bapaknya pasti tidak diketahui karena Memey sudah dipakai banyak lelaki.”
“Astaghfirullah, emangnya bener begitu Mbah?” Sukma menutup mulut, cerita seperti ini sudah sering di dengarnya, tapi tetap saja terasa mengerikan.
“Kita nggak tahu ya San, benar tidaknya berita itu. Yang jelas waktu itu salah satu pekerja di rumah pak Dasuki bilang kalau lelaki tua itu mengundang dukun untuk memaksa putrinya bicara, jika Memey tak jujur ancamannya adalah aborsi.” Kali ini mbah Giyem yang bicara, Sukma menutup mata rapat-rapat, mendengar kata terakhir membuatnya reflek memegang perut.
“Terus Mbah?” tanyanya lagi.
“Sampai akhir Memey tidak mengaku, bahkan berani melawan bapaknya. Itulah yang membuat pak Dasuki jantungan, dan meninggal saat itu juga.”
“Innalillahi wa inna ilahi rojiun, ya Allah…” Sukma tak menyangka ada cerita seperti ini, rasanya sungguh menyedihkan.
“Terus Mbah?”
“Kamu itu terus-terus saja, bagilah kami minum,” goda mbah Sani yang membuat Sukma salah tingkah, malu-malu wanita itu meraih gelas dan mulai meracik gula dan teh celup.
“Ini mbah, monggo diminum dan dilanjut ceritanya,” ucap Sukma penuh harap.
“Kamu ini, apa wes istilahnya yang suka ingin tahu itu Yem?” Mbah Sani memandang mbah Giyem yang tengah asyik menikmati puding jagung.
“Kepo,” jawab wanita tua itu.
“Nah itu.” Mbah Sani tertawa lucu, Sukma menggaruk kepala dan kembali duduk demi menyimak kelanjutan cerita dua wanita tua di depannya.
“Singkat cerita, Ningsih—ibunya Memey menyalahkan putrinya atas kematian sang suami, dan selang beberapa hari dia menyusul suaminya. Tinggallah Memey seorang diri, dia bebas dari bapak dan ibu yang menuntutnya tapi dia tak bebas dari masyarakat desa.
Setiap kali Memey keluar rumah, warga tak segan menggunjingnya secara terang-terangan. Hingga akhirnya wanita itu memutuskan mengisolasi diri di rumah, tak ada yang peduli dengan dia. kecuali ibu mertuamu.”
“Ibu?”
“Iya ibumu, mbak Ratih. Tapi kamu jangan sekali-kali mengungkit cerita ini di depannya ya Sukma, mbak Ratih masih terpukul dan menyalahkan dirinya atas kematian Memey saat itu.”
Sukma mengernyit heran, kenapa bisa ibunya menyalahkan diri sendiri atas kematian orang lain. Mbah Giyem paham Sukma tengah bingung, wanita itu pun melanjutkan cerita temannya.
“Saat itu mbak Ratih yang selalu kirim makanan ke rumah Memey, tapi di hari pernikahan Bagas. Ya, pernikahan kalian di kota, mbak Ratih dan kang Samiran pergi meninggalkan rumah seharian penuh, saat itulah Memey memilih mati gantung diri.”
“Astaghfirullah, ya Allah ya Allah… ke-kenapa harus begitu?” Sukma begitu tercengang, ternyata ada cerita seperti ini yang disembunyikan ibu mertua darinya. Entah apa alasan nenek Ratih yang seolah menutupi kejadian ini, apa takut dirinya tidak betah lantas membawa Nadira kembali ke kota? atau benar kata dua wanita di depannya jika ibu mertuanya itu masih merasa bersalah dan enggan membahas kejadian ini lagi.
Benang kusut perlahan terurai , pantas saja rumah itu berhantu. Ada cerita mengerikan dibaliknya, juga karena lama dibiarkan terbengkalai begitu saja. Namun, yang jadi pertanyaan kini kenapa hantu itu hanya mengganggu dirinya dan Nadira? bahkan Wijaya sekalipun belum pernah diganggu. Apa karena dirinya orang baru? Sukma tak bisa memahami semua ini.
.
Tbc