Di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan tawa, Nayla justru memikul beban yang berat. Mahasiswi semester akhir ini harus membagi waktunya antara tugas kuliah, pekerjaan sampingan, dan merawat kedua orang tuanya yang sakit. Sang ibu terbaring lemah karena stroke, sementara sang ayah tak lagi mampu bekerja.
Nayla hanya memiliki seorang adik laki-laki, Raka, yang berusia 16 tahun. Demi mendukung kakaknya menyelesaikan kuliah, Raka rela berhenti sekolah dan mengambil alih tanggung jawab merawat kedua orang tua mereka. Namun, beban finansial tetap berada di pundak Nayla, sementara kedua kakak laki-lakinya memilih untuk lepas tangan.
Di tengah gelapnya ujian hidup, Nayla dan Raka berusaha menjadi pelita bagi satu sama lain. Akankah mereka mampu bertahan dan menemukan secercah cahaya di ujung jalan yang penuh cobaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askara Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan yang Terus Terbuka
Pagi itu, Nayla terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun suara burung yang bersahutan di luar jendela sudah membangunkan dirinya. Ia duduk di tempat tidur, menatap sejenak ke arah ruang tamu di mana kak Arsad tadi malam masih duduk dengan raut wajah yang penuh tekanan. Namun, meskipun kak Arsad memaksa, Nayla tahu bahwa keputusan yang ia buat kemarin malam adalah yang terbaik.
"Ini jalanku. Dan aku harus melangkah sendirian," gumam Nayla dalam hati, mencoba menguatkan dirinya.
Ia berjalan ke dapur, memulai rutinitas pagi dengan menyiapkan sarapan untuk ibu dan adiknya. Meski lelah, ia tidak bisa berhenti bekerja keras. Ibunya masih terbaring lemah, sementara adiknya, Raka, sedang berusaha menjaga kesehatannya di tengah kesulitan mereka. Adiknya kini menjadi sosok yang sangat berarti baginya, meskipun Raka baru berusia 16 tahun, ia selalu hadir untuk ibunya, menjaga rumah dan membantu apa pun yang ia bisa.
Namun, Nayla tahu bahwa tak ada waktu untuk berhenti. Hari ini adalah hari yang sama beratnya dengan hari-hari sebelumnya—kuliah, pekerjaan sampingan di kedai kopi, dan tanggung jawab yang tak kunjung habis. Dan kini, ia harus menambah satu beban lagi: menjaga jarak dengan kak Arsad yang seolah memaksanya untuk masuk dalam permainan yang tak ia inginkan.
Pukul sepuluh pagi, Nayla pergi ke kampus setelah meninggalkan ibu dan Raka di rumah. Beberapa kali dalam perjalanan, ia menoleh ke arah teleponnya, yang bergetar tanda pesan masuk. Itu adalah pesan dari kak Arsad.
“Nay, kita perlu bicara. Aku ingin yang terbaik untuk keluarga kita.”
Pesan itu membuat hatinya bergejolak. Nayla bisa merasakan sebuah rasa yang aneh, yang tak dapat ia jelaskan. Kak Arsad kini seolah menganggap bahwa ia punya kendali atas segala keputusan. Tapi Nayla tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan itu menguasai dirinya. Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam rencana kak Arsad adalah pilihan yang tepat. Meskipun ia harus berjuang sendiri, ia yakin itu lebih baik daripada terjebak dalam utang yang bisa membawa mereka ke dalam lubang yang lebih dalam.
Dengan cepat, Nayla membalas pesan itu dengan tegas:
“Kak, terima kasih atas tawarannya, tapi aku tidak bisa melakukannya. Kita akan bertahan dengan cara kita sendiri.”
Setelah itu, Nayla mematikan teleponnya dan melanjutkan langkahnya menuju kampus, merasa sedikit lebih ringan meski masih ada beban berat yang tergantung di pundaknya. Ia tahu, meskipun ia tidak bisa mengandalkan kak Arsad, ada satu hal yang pasti: ia akan terus berjuang untuk keluarganya.
Pagi itu di kampus, Nayla merasakan tekanan yang semakin besar. Kuliah yang semakin sulit, tugas-tugas yang menumpuk, ditambah dengan pekerjaan sampingan yang tak pernah berhenti membuatnya merasa tercekik. Namun, di tengah kesibukannya, Nayla teringat akan adiknya, Raka. Betapa ia bangga padanya. Raka, meski masih muda, telah mengambil peran besar dalam merawat ibu mereka. Nayla tidak tahu harus bagaimana membalas pengorbanan Raka. Tapi satu yang pasti, ia tidak bisa menyerah.
Saat istirahat siang, Nayla memutuskan untuk pulang sejenak. Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamar ibunya. Raka sedang berada di sana, mengatur posisi ibu yang baru saja makan siang. Melihat Raka yang selalu sabar dan penuh perhatian, Nayla merasa hatinya penuh dengan rasa terima kasih.
"Nay, ibu lebih baik sedikit hari ini," kata Raka, wajahnya penuh semangat meski kelelahan jelas terlihat di matanya.
"Alhamdulillah," jawab Nayla dengan senyum tipis. “Tapi kamu harus istirahat juga, Raka. Jangan terus-terusan begadang, kamu juga butuh waktu untuk dirimu sendiri.”
Raka hanya mengangguk. "Iya, Kak. Tapi aku nggak bisa lihat ibu sakit, Kak."
Nayla menatap adiknya dengan penuh rasa sayang. "Kamu sudah melakukan banyak, Raka. Aku bangga sama kamu. Sekarang, aku harus kembali ke kampus. Jangan lupa makan yang cukup dan tidur yang nyenyak, ya?"
Raka tersenyum kecil, namun Nayla bisa melihat kelelahan yang ada di matanya. "Iya, Kak. Kamu juga jangan terlalu capek."
Setelah memastikan ibunya nyaman, Nayla kembali berangkat ke kampus. Namun, di dalam hati, ia merasa semakin yakin bahwa apapun yang terjadi, ia dan Raka akan bertahan. Mereka berdua adalah satu-satunya yang bisa diandalkan di keluarga ini.
Keesokan harinya, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Saat Nayla sedang bekerja di kedai kopi, teleponnya berdering. Itu adalah pesan dari kak Arsad. Ia menatap layar teleponnya dengan hati yang berdebar, merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tanpa ragu, ia membuka pesan tersebut.
“Aku tahu kamu menolak bantuan, Nay. Tapi aku tidak akan berhenti. Kita tidak bisa bertahan seperti ini. Aku sudah mengambil langkah besar untuk kita. Tunggu saja.”
Pesan itu semakin membuat Nayla merasa cemas. Ada sesuatu yang tidak beres dengan kata-kata kak Arsad. Dalam hatinya, Nayla merasa seperti ada jebakan yang sedang disiapkan untuknya. Kak Arsad tidak akan berhenti dengan cara yang santai, ia pasti memiliki sesuatu yang lebih besar dalam pikirannya. Dan Nayla tahu, ia harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa menunggu lebih lama, Nayla memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Ia menghubungi beberapa teman di sekitar kampus yang ia percaya, mencoba menggali informasi lebih lanjut. Selama ini, ia terlalu sibuk dengan urusan rumah dan kuliah, tapi kali ini ia harus tahu apa yang sedang dilakukan kak Arsad.
Di malam hari, setelah menyelesaikan pekerjaan, Nayla duduk di meja makan, memikirkan langkah selanjutnya. Ia sadar, kali ini, ia harus benar-benar berjuang tanpa bisa bergantung pada siapapun. Kak Arsad mungkin sedang mencoba bermain-main dengan situasi, tetapi ia tidak akan pernah bisa mengendalikan hidupnya, dan Nayla bertekad untuk tidak membiarkan itu terjadi.
“Untuk ibu, ayah dan Raka, aku akan berjuang sampai titik terakhir,” gumam Nayla dalam hati.
Dengan tekad yang semakin bulat, Nayla tahu bahwa jalan yang harus ia tempuh tidak akan mudah. Tetapi, dengan keteguhan hati dan semangat yang tak pernah padam, ia yakin ia bisa menghadapi segala cobaan yang datang, tanpa harus bergantung pada orang lain. Jalan menuju kebebasan dan masa depan yang lebih baik masih terbuka lebar, dan Nayla akan melangkah maju, apa pun yang terjadi.