Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ombak di Tengah Angin
Dina berdiri di dekat kincir angin pertama yang kini menjadi ikon Jatiroto. Semilir angin malam membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Kincir itu tetap berputar, meskipun perlahan, seperti mengingatkan Dina bahwa tidak ada waktu untuk berhenti. Proyek kincir tambahan telah dimulai, namun hari ini Dina merasa ada yang berbeda. Suara-suara kecil dari penduduk desa mulai berubah menjadi keluhan.
“Kita sudah kerja keras, tapi kenapa cuma beberapa orang yang diprioritaskan?” suara salah satu warga, Pak Hamdan, terngiang di benaknya.
Meski Dina mencoba menjelaskan pembagian peran dalam koperasi, rasa ketidakpuasan tetap ada. Sistem baru yang ia dan Mira usulkan mulai berjalan, tapi tak semua orang merasa diuntungkan.
Sore tadi, rapat koperasi berlangsung tegang. Beberapa warga mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang siapa yang lebih berhak mendapatkan keuntungan lebih besar.
“Kalau kayak gini terus, mendingan kita nggak ikut koperasi,” gerutu seorang warga.
Dina mencoba menenangkan mereka, tapi ia sadar ini bukan hanya soal uang atau listrik. Ini soal rasa percaya yang mulai retak.
~
Di sisi lain, Dina mendapat kabar tak terduga dari Pak Bimo. Saat mereka berbicara melalui telepon, suara Pak Bimo terdengar serius.
“Dina, ini kabar baik sekaligus tantangan buat kamu,” katanya. “Ada investor besar yang tertarik dengan proyekmu, tapi mereka punya syarat.”
Dina mengerutkan dahi. “Syarat apa, Pak?”
“Mereka ingin mengambil alih pengelolaan kincir angin yang baru. Mereka menjanjikan sistem yang lebih modern, tapi… desa tidak akan sepenuhnya punya kendali. Semua keputusan besar akan mereka ambil.”
Hati Dina mencelos. Ini seperti mimpi buruk yang selama ini ia hindari—proyek yang ia bangun bersama warga malah akan dikuasai pihak luar.
“Pak, saya tidak bisa terima itu. Proyek ini untuk desa, bukan untuk kepentingan pihak lain,” kata Dina tegas.
Pak Bimo menghela napas. “Saya paham, Dina. Tapi kamu harus mempertimbangkan semua opsi. Mereka punya dana besar, dan mereka bisa mempercepat proses pembangunan. Kalau kamu tolak, mungkin ada konsekuensi yang harus kamu hadapi.”
Setelah telepon itu, Dina duduk termenung di teras rumah. Pikiran tentang investor itu terus menghantui, sementara konflik di dalam desa juga tak kunjung selesai.
~
Sementara itu, Mira merasakan kegelisahan yang sama, meski dari sudut pandang yang berbeda. Ia mulai merasa perannya di proyek ini semakin kecil. Dina yang dulu sering meminta pendapatnya kini terlihat sibuk dengan hal-hal yang jauh lebih besar. Mira tak ingin mengakuinya, tapi ada rasa iri yang mulai tumbuh di hatinya.
Malam itu, Mira memberanikan diri untuk berbicara. Mereka duduk di bawah langit malam yang penuh bintang, ditemani suara jangkrik.
“Din,” panggil Mira pelan.
Dina menoleh, senyumnya lelah. “Ada apa, Ra?”
“Aku cuma mau ngomong sesuatu. Kayaknya, aku mau fokus sama hidupku sendiri dulu.”
Dina terdiam. “Maksud kamu?”
“Aku bangga sama kamu, sama semua yang udah kita capai. Tapi akhir-akhir ini aku merasa... aku nggak benar-benar punya tempat di sini. Aku mau coba cari sesuatu buat diriku sendiri,” jawab Mira dengan suara gemetar.
“Ra, kamu tahu aku nggak bisa tanpa kamu, kan? Proyek ini juga berkat kamu,” balas Dina, mencoba menahan rasa sedih.
Mira menggeleng pelan. “Aku cuma butuh waktu, Din. Kamu udah punya langkah besar ke depan, tapi aku merasa masih jalan di tempat.”
Kata-kata itu membuat Dina terdiam. Ia ingin membantah, ingin memohon Mira untuk tetap tinggal, tapi ia tahu itu bukan hal yang benar. Sahabatnya juga butuh ruang untuk tumbuh.
~
Pagi berikutnya, masalah baru muncul. Seorang warga datang tergesa-gesa ke rumah Dina.
“Din! Kincir angin rusak!”
Dina langsung berlari ke lokasi. Salah satu bilah kincir angin patah, dan aliran listrik ke beberapa rumah terganggu. Setelah memeriksa, Dina menyadari ini bukan kerusakan biasa. Ada bekas alat potong di salah satu bagian kincir.
“Ini sabotase,” gumamnya.
Desa mulai ramai. Beberapa warga menuduh kelompok lain yang iri dengan koperasi, sementara yang lain menyalahkan Dina karena terlalu sibuk dengan proyek tambahan. Suasana semakin panas.
Di tengah kekacauan itu, Dina hanya bisa menarik napas panjang. Ia tahu, ini adalah ujian terberat yang harus ia hadapi sejauh ini.
“Kalau aku menyerah sekarang, semua yang sudah kita bangun akan sia-sia,” pikir Dina.
Namun, ia juga tahu, untuk menyelesaikan semua ini, ia tidak bisa sendirian.
~
Dina berdiri di depan balai desa, mencoba menenangkan kerumunan warga yang semakin emosi. Di belakangnya, kincir angin berdiri tegak meski salah satu bilahnya rusak. Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara lantang.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, dengarkan saya! Kalau kita terus saling menyalahkan, kincir ini tidak akan bisa diperbaiki. Proyek ini milik kita bersama. Kalau ada yang merasa tidak puas, mari kita selesaikan bersama, bukan dengan merusak!”
Warga mulai terdiam, meski tatapan mereka masih penuh keraguan.
Saat itu, Mira muncul di antara kerumunan. Ia melangkah maju, menatap Dina dengan tatapan yang tegas.
“Kita mulai ini bersama, Din,” katanya. “Aku tahu aku bilang mau cari jalanku sendiri, tapi aku nggak akan ninggalin kamu di saat seperti ini.”
Dina menatap Mira dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasa tidak sendiri.
Namun, jauh di lubuk hati, Dina tahu bahwa ini baru permulaan dari tantangan yang lebih besar.
Kerumunan di balai desa mulai terdiam setelah Mira muncul. Namun, tatapan mereka masih dipenuhi kecurigaan dan kecemasan. Dina dan Mira berdiri berdampingan, menghadapi tantangan yang semakin besar.
"Jadi, kita semua sepakat bahwa proyek ini adalah milik bersama," kata Dina, suaranya tegas namun penuh kelegaan. "Namun, kita juga harus menghadapinya dengan kepala dingin. Kita harus memperbaiki kincir ini, dan kita harus bekerja sama untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan ini."
Mira mengangguk. "Betul, kita tidak bisa terus saling curiga. Kita harus fokus untuk memperbaiki kerusakan yang ada dan pastikan hal seperti ini tidak terulang lagi."
Warga mulai berdiskusi, beberapa di antaranya mengangguk setuju. Meski demikian, masih ada ketegangan di udara. Dina merasa beban di pundaknya semakin berat, tapi dia tahu inilah momen untuk menunjukkan bahwa mereka bisa mengatasi krisis ini bersama.
~
Malam itu, Dina dan Mira memeriksa kembali kincir angin yang rusak. Dengan bantuan beberapa warga yang ahli dalam perbaikan alat, mereka mulai mengganti bilah yang patah. Selama proses perbaikan, Dina berusaha membicarakan kembali tentang sistem pembagian keuntungan dan koperasi dengan warga yang hadir. Ia merasa bahwa pembicaraan tentang pembagian kekuasaan dan hasil harus dibahas secara terbuka.
"Saya rasa kita perlu membuat sistem yang lebih transparan," kata Pak Karim, salah satu petani yang sudah lama dikenal di desa. "Kita tidak ingin ada yang merasa dirugikan. Semua orang harus tahu bagaimana uang itu dibagi."
Dina mengangguk. "Tentu, Pak. Dan untuk itu, kita perlu bekerja sama untuk menyusun aturan yang adil. Setiap orang berhak tahu bagaimana listrik ini dihasilkan dan dibagikan."
Pak Karim menatap Dina, lalu memandang ke arah warga lain yang ikut membantu. "Kalau begini, saya rasa kita bisa mencoba lagi. Mungkin kita butuh beberapa pertemuan untuk benar-benar memastikan semuanya adil."
Mira menambahkan, "Kami akan memfasilitasi pertemuan itu. Kami ingin kalian semua merasa aman dan puas dengan keputusan yang diambil."
Setelah beberapa jam bekerja keras, kincir angin kembali berfungsi. Namun, meski masalah perbaikan teratasi, Dina merasakan bahwa beban di dadanya semakin berat. Setiap keputusan yang ia ambil kini menyangkut lebih banyak orang dan lebih banyak impian.
~
Keesokan harinya, Dina kembali menerima panggilan dari Pak Bimo. Ia mengangkat telepon itu dengan hati yang berdebar.
"Dina, saya sudah mendapat kabar dari investor besar itu," kata Pak Bimo. "Mereka sangat tertarik untuk melanjutkan proyek ini dengan lebih banyak dana, tapi mereka ingin membuat kesepakatan lebih formal—mereka ingin menjadi pihak yang mengelola seluruh proyek."
Dina terdiam sejenak. "Apa maksudnya, Pak? Mereka ingin mengambil alih semuanya?"
Pak Bimo mengangguk. "Mereka tidak akan mengambil alih sepenuhnya, tapi mereka ingin memegang kendali lebih besar. Dan mereka juga meminta agar koperasi yang kamu bangun diubah menjadi lebih berbasis korporasi agar lebih efisien."
Dina merasa terjepit. Ia tidak ingin proyek ini jatuh ke tangan investor besar yang mungkin hanya peduli pada keuntungan jangka pendek. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa dana besar yang mereka tawarkan bisa mempercepat pengembangan dan membawa Jatiroto ke arah yang lebih baik.
"Pak, saya butuh waktu untuk memikirkan ini. Saya tidak bisa sembarangan mengambil keputusan," kata Dina, suaranya tegas meski dipenuhi kebingungan.
Pak Bimo mengerti. "Tentu, Dina. Ini keputusan besar, dan saya menghargai bahwa kamu ingin memikirkannya lebih matang. Tetapi, ingat—mereka tidak akan menunggu selamanya."
~
Sementara itu, di desa, ketegangan semakin terasa. Beberapa warga yang merasa dirugikan dengan perbaikan kincir angin mulai mengungkapkan ketidakpuasan mereka lagi. Mereka merasa ada yang tidak beres dengan cara proyek ini dijalankan. Dina mencoba mendekati mereka, tetapi semakin ia menjelaskan, semakin mereka merasa dipinggirkan.
"Saya tahu kita semua bekerja keras, tetapi bagaimana jika kita terus-menerus bertarung hanya untuk mendapatkan bagian yang lebih besar?" Pak Hamdan bertanya. "Kita harus bekerja sama, tapi rasanya semakin sulit."
Dina menatapnya dengan penuh pengertian. "Saya paham, Pak Hamdan. Tapi, mari kita atasi ini bersama. Saya akan memastikan kita semua mendapat bagian yang adil. Proyek ini bukan hanya untuk saya—ini untuk kita semua."
Namun, meski kata-katanya meyakinkan, Dina tahu bahwa perselisihan ini tidak akan mudah diselesaikan.
~
Di malam hari, Dina kembali berbicara dengan Mira. Mereka duduk berdua di teras rumah, membicarakan semua yang terjadi.
"Aku nggak tahu harus bagaimana, Ra," kata Dina sambil memandangi bintang-bintang di langit. "Investor itu bisa memberikan dana yang kita butuhkan, tapi mereka juga bisa mengambil alih proyek ini dan menjadikannya bisnis semata. Aku nggak ingin itu terjadi."
Mira mengangguk. "Aku tahu, Din. Ini berat. Tapi, apakah kita siap untuk menghadapi kenyataan kalau proyek ini akan lebih besar dari apa yang kita bayangkan? Kadang, aku merasa kita sudah terlalu banyak bertaruh. Tapi aku juga percaya kita bisa menemukan jalan tengah."
Dina terdiam. Di satu sisi, ia ingin terus berjuang demi Jatiroto dan mimpi mereka bersama. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa untuk mewujudkan semua itu, ia harus membuat keputusan besar yang bisa mengubah segalanya.
~
Esok harinya, Dina menghadapi rapat besar dengan investor tersebut. Ia tahu, ini adalah titik balik yang akan menentukan arah masa depan proyek Jatiroto. Ketika ia melangkah ke ruang rapat, ia merasakan ketegangan yang begitu kuat—sebuah keputusan yang tidak hanya akan mempengaruhi hidupnya, tetapi juga hidup seluruh warga desanya.
Ia menarik napas panjang. “Ini bukan hanya tentang teknologi, ini tentang masa depan kami. Saya harus memastikan bahwa ini tetap untuk kami semua.”
Dengan tekad yang bulat, Dina siap menghadapi apa pun yang datang.
Bersambung...