Kisah tentang cinta yang terjebak dalam tubuh yang berbeda setiap malam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Pagi Yang Salah
Aku terbangun dengan perasaan aneh. Dinginnya pagi terasa menusuk, namun bukan itu yang membuatku merasa tak nyaman. Ketika mataku terbuka, aku mendapati diriku berada di tempat yang sama sekali tidak kukenali. Seprai di bawahku terasa asing—tidak lembut seperti biasanya, melainkan kasar dan kaku. Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang semakin kuat.
Kubuka mataku lebar-lebar, berharap menemukan sesuatu yang akrab. Namun, seluruh kamar ini begitu asing, dari meja rias yang berada di sudut ruangan hingga lemari kayu yang tampak usang di sisi lain. Aku perlahan-lahan duduk di atas ranjang, merasa jantungku berdegup semakin kencang. Suara detak jam yang berirama menjadi semakin jelas di telingaku, seperti menghitung detik-detik ketakutanku.
Aku meraih kepalaku yang terasa berat, mengedip beberapa kali. Ada sesuatu yang salah. Perlahan, aku berdiri dan menghampiri cermin di meja rias. Begitu aku melihat ke sana, tubuhku menegang. Sosok di cermin itu… bukan aku. Wajah yang menatap balik padaku adalah wajah seorang pria muda, mungkin seusia denganku, tapi dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan mata yang tajam. Wajah yang sama sekali asing.
Aku mengangkat tangan ke wajah, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi. Jemariku menyentuh kulit yang terasa berbeda—kulit yang bukan milikku. Bentuk rahang ini, bentuk hidung ini, semua terasa asing. Aku mencoba bernapas perlahan, berusaha menenangkan diri, namun ketakutan semakin kuat menghantui.
“Ini… siapa?” gumamku dengan suara bergetar. Aku meraba-raba ingatanku, mencoba mengingat apa yang terjadi malam sebelumnya. Aku ingat berjalan pulang dari kafe setelah bertemu teman-temanku, menikmati langit malam yang penuh bintang. Namun setelah itu, semuanya gelap. Tidak ada ingatan tentang bagaimana aku bisa berakhir di tubuh ini.
Mataku kembali menatap cermin, mencoba mencari jejak diriku yang sesungguhnya di balik wajah ini. Tapi setiap kali aku menatap, sosok asing itu yang kembali kulihat. Dia bergerak bersamaku, meniru setiap gerakanku, tapi aku tahu ini bukan aku. Ini tubuh orang lain. Aku seperti menjadi penonton dalam tubuh ini, terperangkap tanpa bisa berbuat apa-apa.
Kubuka pintu kamar, dan aroma masakan segera menyergap hidungku. Suara dari arah dapur terdengar akrab tapi juga asing. Aku mengikuti suara itu, mencoba mencari tahu lebih banyak. Di dapur, seorang wanita paruh baya sedang sibuk memasak. Begitu melihatku, ia tersenyum dan berkata, “Kamu bangun terlambat hari ini. Cepat makan sarapan sebelum kerja.”
Aku tidak tahu siapa wanita ini, tapi dari tatapan matanya, seolah dia sangat mengenalku. Aku hanya bisa berdiri kaku, mencoba memproses setiap kata yang ia ucapkan. Kerja? Siapa aku sekarang? Tanpa sadar, aku mengangguk, berharap gestur itu cukup untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut. Aku merasa seperti seorang aktor yang tiba-tiba dilempar ke atas panggung tanpa naskah, dipaksa untuk memainkan peran yang tidak kukenal.
Setelah sarapan, aku mencoba menggali lebih banyak informasi tentang "diri" ini. Di meja makan, ada sebuah dompet tergeletak. Aku membuka dompet itu dan menemukan kartu identitas dengan nama yang tidak kukenali: "Arya Pradipta." Jadi, aku sekarang adalah Arya? Nama ini terasa asing, namun aku tak punya pilihan selain mencoba meresapi identitas ini untuk sementara.
Meskipun aku ingin menanyakan banyak hal pada wanita itu, aku menahan diri. Aku tidak ingin membuatnya curiga, jadi aku berpura-pura seperti biasa. Setelah sarapan, aku berpamitan dan berjalan keluar rumah, mencoba memahami apa yang harus kulakukan selanjutnya. Jalanan yang kulewati juga terasa asing, namun samar-samar, tubuh ini seolah tahu ke mana harus pergi. Seolah-olah naluri dari Arya membimbing langkahku.
Aku akhirnya sampai di sebuah gedung kantor sederhana. Semua orang menyapaku dengan ramah, menyebut namaku—atau nama "Arya," lebih tepatnya. Aku membalas senyuman mereka sambil mencoba mengingat wajah-wajah yang kukenal dalam tubuh ini. Namun, tak satu pun yang terasa familiar. Di dalam kantor, aku duduk di meja yang penuh dengan dokumen, dan di layar komputer tertera jadwal yang padat untuk hari ini.
Aku mencoba berpikir jernih di tengah kebingungan ini. Mungkin ini hanya mimpi aneh yang akan segera berakhir. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan beratnya kenyataan. Ini bukan mimpi, ini benar-benar terjadi. Aku terperangkap di tubuh Arya, seorang pria yang tidak pernah kukenal, di dunia yang asing bagiku.
Di tengah kegelisahan itu, ponsel Arya berdering. Nama yang muncul di layar adalah "Nina." Aku merasa terpecah antara menjawab panggilan itu atau mengabaikannya. Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk menjawab, berharap ini bisa memberiku petunjuk lebih lanjut.
“Halo?” ucapku, mencoba meniru suara yang kukira milik Arya.
“Kamu di mana? Aku sudah tunggu di kafe biasa,” kata suara di seberang telepon dengan nada manis.
Aku terdiam sejenak, mencoba menebak siapa Nina ini. “Oh, maaf. Aku… agak terlambat,” jawabku ragu-ragu.
“Tidak apa-apa. Cepat ya, aku punya sesuatu untukmu.”
Aku menutup telepon dan menarik napas dalam-dalam. Siapakah Nina ini? Dari nada suaranya, sepertinya dia punya hubungan dekat dengan Arya. Mungkin seorang kekasih, atau teman dekat. Aku merasa terjebak dalam permainan yang tidak kumengerti aturannya. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti risiko besar, takut-takut membuat satu kesalahan yang bisa membongkar penyamaranku.
Setibanya di kafe yang disebutkan, aku melihat seorang gadis muda dengan senyum lebar melambai ke arahku. Aku mengira inilah Nina. Dia tampak begitu bahagia saat melihatku—atau tepatnya, melihat Arya. Aku berusaha membalas senyumnya meski dengan perasaan kikuk. Setiap kali dia berbicara, aku mencoba merespons seolah aku benar-benar Arya, mengandalkan insting dan naluri yang samar-samar muncul.
“Kamu kelihatan capek,” katanya sambil menatapku penuh perhatian. “Malam ini tidak tidur, ya?”
Aku hanya tertawa kecil, berpura-pura. “Mungkin,” jawabku pendek. Aku tak tahu harus mengatakan apa, takut jika terlalu banyak bicara justru akan membuatku ketahuan. Aku menyimak setiap ceritanya, berusaha mengenal Arya lebih baik dari sudut pandang Nina. Setiap kata yang dia ucapkan memberi sedikit gambaran tentang siapa Arya sebenarnya.
Namun, semakin lama, aku semakin merasa terjebak dalam kebohongan ini. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dalam tubuh ini, berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku. Di satu sisi, aku ingin jujur pada Nina dan orang-orang di sekitar Arya, memberitahu mereka apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, siapa pun tak akan percaya pada cerita gila ini.
Di akhir pertemuan, Nina mengeluarkan sebuah buku kecil dan menyelipkan sesuatu di halaman terakhir. “Aku tahu kamu sering lupa, jadi aku tulis semuanya di sini,” katanya sambil tersenyum.
Aku menerima buku itu dengan bingung, namun mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamananku. Begitu Nina pergi, aku membuka buku itu dan mendapati catatan-catatan kecil tentang berbagai hal yang mungkin dianggap sepele. Hal-hal kecil yang biasa dilakukan Arya, makanan favoritnya, hingga jadwal penting. Rasanya, buku ini adalah kunci untuk memahami hidup Arya lebih dalam, atau setidaknya, untuk menjalani hari-hari berikutnya tanpa terlalu banyak kesalahan.
Malam itu, aku merenung di kamar Arya. Semua petunjuk yang kukumpulkan sepanjang hari terasa seperti potongan puzzle yang belum tersusun. Aku terjebak di dunia yang salah, menjalani hidup orang lain, dan aku tidak tahu bagaimana cara kembali.
Namun, satu hal yang jelas: hidupku telah berubah, dan aku harus menemukan jawaban.