Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Memainkan Peran
Niko Trioka Adiguna
Vin
Roni
...****************...
Dilapangan Basket. Sementara siswi-siswi sudah mulai pergi karena jam waktu masuk segera tiba.
Saat permainan berlangsung, Roni terlihat ngos-ngosan setelah berlari mengejar bola.
Dia akhirnya berhasil menangkap napasnya dan mendekati Akbar.
“Lu kemana aja, bolos sekolah, Nik?” tanyanya sambil tersengal-sengal.
Akbar tersenyum lebar, merasa semakin nyaman dalam peran ini. “Gak, gua di sini aja. Cuma butuh sedikit waktu buat diri sendiri,” jawabnya dengan nada santai.
Roni mengerutkan dahi, tampak skeptis. “Hah? Sejak kapan Niko jadi misterius gini? Harusnya lu kasih tahu kita!”
Akbar hanya tertawa, menikmati momen santai itu. Dia merasa semakin dekat dengan sosok Niko, mengingat betapa aktifnya Niko di lapangan ini.
Vin tiba-tiba mengarah pandangannya ke arah Roni sambil melirik Akbar, “Biasa, Ron. Si Niko kan anak GaOL PIK (Pantai Indah Kenangan), dugem terus hidupnya!
Roni hanya tertawa, “Hahaha, iyah! Makanya jadi orang linglung, si Niko!”
Vin ikut tertawa, “Iya, kayaknya dia kehilangan arah hidup. Sekarang malah lebih aneh!”
Akbar yang mendengar ledekan itu hanya bisa tersenyum, berusaha menyembunyikan fakta bahwa dia sebenarnya bukan Niko. Dia merasa lucu melihat betapa mereka menganggapnya aneh.
Roni melanjutkan, “Mungkin dia butuh waktu untuk cari jati diri. Atau jangan-jangan dia udah masuk komunitas yoga atau meditasi, ya?”
Akbar tertawa dalam hati, “Gak jauh-jauh dari itu, Ron. Cuma lagi belajar jadi diri sendiri.”
Vin berkata, “Ya udah, Nik, ayo buktikan kalau lo masih seru! Kita butuh lo yang dulu!”
Akbar mengangguk, merasa semangat untuk menunjukkan bahwa meskipun dia berada dalam tubuh Niko, dia tetap bisa asik dan menyenangkan. Suasana di lapangan semakin ceria dengan tawa dan ledekan mereka.
Akbar mencoba merespons dengan santai, “Yah, yah, Gue! Bakal have fun lagi nih! Duit gua belom abis, nih, buat jajanin lu pada nanti!”
Dia berusaha menyisipkan sedikit humor untuk menjaga suasana tetap ringan dan mengalihkan perhatian mereka dari rasa curiga. Akbar tahu dia harus pintar-pintar agar mereka tidak menduga apa pun.
Roni dan Vin tertawa, “Wah, mantap, Nik! Kapan nih kita jalan-jalan? Gua mau jajan yang enak-enak!”
Vin menambahkan, “Iya, setuju! Gua udah ngidam makanan enak dari kemarin!”
Akbar mengangguk, “Oke, kita atur waktu. Tapi jangan terlalu sering, ya. Nanti dompet gua ambruk!”
Mereka bertiga tertawa bersama, dan Akbar merasa lebih lega. Dengan cara ini, dia bisa tetap berpura-pura menjadi Niko tanpa menimbulkan kecurigaan.
Suasana di lapangan basket semakin seru dengan tawa dan ledekan, menciptakan momen yang menyenangkan di antara mereka.
Dari perkataan Vin dan Roni, Akbar mulai berpikir dan menyadari sedikit banyak tentang kehidupan Niko.
“Oh, jadi Niko emang punya masalah juga ya,” batinnya.
Dia merenung sejenak, “Niko ini kayaknya lagi berjuang dengan banyak hal. Mungkin dia bukan cuma misterius, tapi juga merasa tertekan.”
Akbar mencoba menyelami lebih dalam, “Kalau dia anak yang bermasalah, berarti gua harus hati-hati. Jangan sampai perilaku gua bikin mereka semakin curiga.”
...****************...
Drrrrrring! Suara bel sekolah berbunyi nyaring, menggema di seluruh area sekolah dan mengingatkan semua siswa bahwa waktunya untuk masuk kelas telah tiba. Suara dentingnya membuat suasana di lapangan basket mendadak tegang, seolah-olah memicu alarm darurat.
“Driiinggg! Attention please! The bell has rung. Time to start your classes!” suara pengumuman menggema melalui speaker, menambah semangat dan urgensi.
Sesosok guru wanita muncul di pintu, tatapannya tajam menyoroti para siswa yang masih asyik bermain. “Hey, you all! Get out from here! GO TO CLASS!” teriaknya dengan suara tegas, mengalihkan perhatian semua orang.
Roni langsung panik, “Mampus! Ada Miss Evelyn!” Dia berlari kencang menuju kelas, diikuti oleh Vin yang juga tak mau ketinggalan.
Akbar hanya bisa mengikuti mereka dari belakang, tertawa melihat kepanikan Roni dan Vin.
Dia merasakan momen ini begitu hidup—seolah kembali ke masa-masa SMA yang penuh kebebasan dan kesenangan.
Mereka bertiga berlari dengan cepat, melewati koridor dan berusaha mencapai kelas sebelum terlambat, suasana penuh semangat dan sedikit kekacauan membuat mereka merasa seolah-olah sedang dalam misi penting.
“Mereka menaiki lift dengan tergesa-gesa.
“Buruan, Nik! Cepet!” teriak Vin, wajahnya tampak panik.
Roni sudah menekan tombol lift berulang kali, seolah-olah itu bisa mempercepat prosesnya.
Akbar mengikuti mereka dari belakang, merasakan ketegangan di udara.
Ketika pintu lift akhirnya terbuka, mereka langsung masuk, Roni hampir terjatuh saat berusaha masuk terakhir.
“C'mon, jangan sampai kita terlambat!” Akbar berusaha mengingatkan, meski senyumnya tak bisa hilang dari wajahnya.
Lift mulai bergerak, dan mereka semua menahan napas, berharap sampai di lantai kelas tepat waktu.
Di dalam lift yang lumayan luas, Akbar merasakan getaran halus saat lift bergerak naik.
Dia menatap sekeliling, mengamati desain interior yang mewah—dinding kaca, pencahayaan yang lembut, dan tombol-tombol yang terlihat modern.
“Inilah yang disebut sekolahnya para elite,” pikirnya, terkesima dengan suasana yang kontras dengan kehidupannya sebelumnya.
Roni dan Vin tampak tidak sabar, saling bertukar pandang dengan ekspresi cemas, tetapi Akbar justru merasa beruntung bisa merasakan momen ini.
Dalam perjalanan singkat itu, dia menyadari bahwa setiap detik di sekolah ini membawa tantangan dan peluang baru.
“Gak nyangka bisa di sini,” gumamnya pelan, sambil membayangkan semua yang bisa dia pelajari dan alami di lingkungan yang glamor ini.
Di koridor lantai lima, Akbar melangkah perlahan, terpesona oleh keindahan yang mengelilinginya. Ruangan-ruangan kelas yang luas dan indah memancarkan aura prestisius,
lengkap dengan dinding berwarna cerah dan desain modern yang elegan. Jendela-jendela besar yang diukir dengan detail artistik membiarkan cahaya matahari masuk, menciptakan permainan cahaya yang menambah kesan magis.
Dia melihat murid-murid yang mengisi kelas—tampan dan cantik, dengan gaya berpakaian yang stylish dan percaya diri.
Mereka semua melirik tiga sekawan yang berlari-lari dengan penuh semangat, tawa dan sorakan menggema di udara.
Akbar merasakan aliran energi yang kental di sekelilingnya, seolah-olah dia baru saja memasuki dunia baru yang penuh kemungkinan.
Di ujung koridor, dia melihat kelas Niko, "CLASS 2-F," tempat berkumpulnya anak-anak nakal. Meskipun mereka berasal dari keluarga kaya dan terpandang, tingkah laku mereka mencerminkan semangat bebas yang tak terikat oleh ekspektasi orang dewasa.
Setelah berlari, Roni menepi, terengah-engah. “I’m sorry, Sir Tom, we’re so late!” serunya, napasnya tersengal-sengal.
Sir Tom, guru bule yang sudah terbiasa dengan tingkah laku mereka, hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi campur aduk antara kesal dan sabar.
“Come on, fast!” ujarnya dengan nada yang mengingatkan Akbar pada kehangatan seorang ayah.
Dalam hati, Akbar merasakan campuran kebahagiaan dan keinginan untuk membuktikan diri.
Dia menatap ruang kelas yang penuh harapan itu, di mana setiap detik akan menjadi momen berharga dalam perjalanan hidupnya.
Dengan tekad yang menggebu, dia berbisik dalam hati, Welcome to Senior High School, University Prestige School. Senior Prestige School (SPS). Di sinilah petualangannya dimulai, di tempat di mana mimpi dan kenyataan bertemu, dan di mana dia berfikir untuk menemukan jati dirinya.