"Karena kamu yang menggagalkan acara pernikahan ini, maka kamu harus bertanggung jawab!" ucap pria sepuh didepannya.
"Bertanggung jawab!"
"Kamu harus menggantikan mempelai wanitanya!"
"APA?"
****
Bagaimana jadinya kalau seorang siswi yang terkenal akan kenalan dan kebar-barannya menjadi istri seorang guru agama di sekolah?!?
Yah dia adalah Liora Putri Mega. Siswi SMA Taruna Bangsa, yang terkenal dengan sikap bar-barnya, dan suka tawuran. Anaknya sih cantik & manis, sayangnya karena selalu dimanja dan disayang-sayang kedua orang tuanya, membuat Liora menjadi gadis yang super aktif. Bahkan kegiatan membolos pun sangatlah aktif.
Kalau ditanya alasan kenapa dia sering bolos. Jawabnya cuma satu. Dia bolos karena kesetiakawanannya pada teman-teman yang juga pada bolos. Guru BK pusing. Orang tua juga ikut pusing.
Ditambah sikapnya yang seenak jidatnya, menggagalkan pernikahan orang lain. Membuat dia harus bertanggung jawab menggantikan posisi mempelai wanita.
Gimana ceritanya?!!?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cahyaning fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Dihukum
Jam pelajaran berakhir, hukuman yang menimpa Liora pun selesai. Senyuman merekah di wajahnya saat ia bersiap kembali ke kelas. Langkah kakinya ringan menapaki koridor sekolah, semangat kembali membara. Namun tiba-tiba, suara Pak Agam memanggilnya keras, membuat detak jantung gadis cantik itu berhenti sejenak. Mau tak mau, ia harus menghadap guru galak itu.
Perasaan lega Liora terpotong, ia menghela napas panjang sebelum menghampiri Pak Agam. Dalam hatinya, ia mencoba mengumpulkan mental dan keberanian menghadapi segala kemungkinan omelan yang akan diarahkan kepadanya. Wajah Pak Agam terlihat serius, membuat Liora semakin bertanya-tanya apa kesalahannya kali ini.
Liora Putri Mega namanya. Anak kedua dari pasangan Muhammad Arian Wisesa dan Mirnawati. Cantik, tapi sayang kecantikannya dan kebadungannya berselisihan. Bukannya karena IQ -nya nol, ia hanya malas belajar saja.
Hidupnya yang selalu dimanja oleh keluarga, membuatnya menjadi gadis yang sedikit nakal, bandel, dan bar-bar. Padahal seluruh anggota keluarga sudah mengerahkan segala kemampuannya untuk merubah sikap gadis itu. Sayangnya tidak berhasil.
Mungkin hanya kuasa Tuhan yang bisa merubah sikap gadis itu.
"Ada apa, Pak?" tanya Liora memasang mimik waspada.
"Ikut saya!" ajak Agam pada siswinya tersebut.
"Iya," dengan patuh, gadis itu pun berjalan dibelakang guru tampan itu.
Agam Abdillah Muhammad, baru seminggu bergabung sebagai guru agama di Sekolah Taruna Bangsa. Wajah tampan dan status lajangnya membuat para siswi-siswi jatuh hati padanya. Namun, siapa sangka, di balik wajah tampan tersebut, Agam memiliki sifat keras yang amat mengejutkan. Setiap mengajar, ia mewajibkan para siswa dan siswi membawa Al-Qur'an. Pasalnya, sebelum pelajaran dimulai, seluruh murid yang beragama Muslim di sekolah itu diwajibkan untuk membaca Alquran. Siapa yang tidak membawa, maka akan mendapatkan hukuman menghafal surat-surat pendek.
Sesampainya di ruangan Pak Agam, Liora nampak menghembuskan nafasnya berat. Mendadak perasaannya tidak enak. Apalagi melihat aura Pak Agam sama sekali tidak bersahabat. Semakin menciut lah nyalinya.
"Liat ini!" Agam memberikan kertas hasil ulangan kemarin.
Liora menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sambil cengar-cengir, mirip kuda Nil.
"Lihat baik-baik. Nilai kamu 30. Jauh dari KKM. Sebenarnya kamu belajar nggak sih?"
"Alhamdulillah!" ujarnya.
Mata Agam langsung melotot, "Kok Alhamdulillah?"
"Hehe. Iya nih, Pak. Biasanya cuma dapat 20 atau 25. Saya malah bersyukur kalau ulangan kemarin dapat 30. Berarti ada peningkatan kan, Pak?" ujarnya sambil terkikik.
"Astaghfirullah. Naik 0,5 poin kamu bersyukur?"
"Ya harus dong, Pak. Ih, bapak ini gimana? Bapak kan guru agama. Masa soal kayak gini aja nggak tau!" ucap Liora, nyengir, "Dapat rezeki nomplok harus bersyukur. Orang bisa buang angin juga harus bersyukur. Nah, ini saya juga harus bersyukur walaupun cuma dapat nilai 0,5 poin!'
Ya Allah. Tolong hamba-mu ini! gumam Agam dalam hati.
"Huft," Agam menghela nafasnya panjang, dia sudah tidak berselera ngobrol dengan siswi di depannya itu. Memang sepertinya gadis itu susah dikasih tau. Ngomel-ngomel pun percuma karena akan membuang waktu dan tenaga. Agam mengambil nafas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dengan pelan.
Sabar, Gam! Sabar! Inget, kamu tuh guru! Kamu harus lebih sabar menghadapi murid modelan kayak gini!
Satu jam kemudian.
"Buset dah! Gara-gara guru galak itu, gue jadi telat pulang. Doraemon dan Sinchan sudah pada pulang. Mana jari gue sakit banget lagi!" gerutu Liora sambil mengibas-ngibaskan jarinya yang pegel gara-gara dihukum nulis kalimat 'saya janji akan belajar sungguh-sungguh'. Satu buku penuh. Bisa bayangkan capeknya.
******
"Assalamualaikum, Liora pulang! Yuhuuuuu. Is anybody home?" teriak Liora menggema di ruangan tamu.
"Walaikumsalam. Jangan teriak-teriak napa sih? Kayak di hutan kamu!" tegur Mirna, mamahnya Liora.
"I'M sorry, Mimi!'
"Ya, Aurel! Please. Untuk hari ini, jangan bikin Mimi pusing!"
Drama ibu dan anak sudah dimulai.
"Ish, Mimi kok gitu? Bisa nggak sih bunda Ashanty aja yang jadi Mimi aku," rengeknya penuh drama.
"Kualat kamu...!" umpat sang mama.
"Hehehehe. Becanda mama ku yang cantik!"
Meski agak laen ya pemirsa, kalau di rumah Liora tetep anak yang selalu nurut sama orang tua. Baik. Sopan. Dan ramah. Buktinya sepulang sekolah, dia langsung cium tangan mamanya, meski tangan mamanya masih bau bawang dan bumbu dapur.
"Jangan tidur dulu, makan siang dulu, Sayang!" seru ibu dua anak itu sambil mengusap kepala anak perempuannya.
"Bentar ah, Mah. Liora capek banget. Jari-jari aku sakit nih!" keluh Liora sambil menunjukkan tangannya yang merah.
"Lah, kenapa jarimu sakit? Abis ngapain?" tanya sang ibu dengan ekspresi khawatir.
"Habis dihukum sama guru galak dan nyebelin!" cebik Liora sambil memasang wajah malas.
"Hush, sembarangan. Gitu-gitu guru kamu. Kok ngomongnya gitu!"
"Abisnya, ngasi hukuman nggak nanggung-nanggung! Masa Liora harus nulis kalimat 'saya janji akan belajar sungguh-sungguh' satu buku penuh, rese banget kan!" sungut Liora lagi sambil mengacak rambutnya dan bibirnya maju lima sentimeter.
"Emang kamu dihukum kenapa?" Mirna mengernyitkan alisnya, tangan di pinggang.
"Hehehehe, biasa, Mah. Gara-gara nilai aku jelek," kekeh anak itu tanpa dosa, kedua tangan di belakang kepala. "Tapi hasil ulangan kemarin lumayan kok, Mah. Aku dapat 30. Biasanya juga cuma 20 atau 25 doang!"
" 25, Kamu bilang cuma! Ih, Kamu tuh malu-maluin aja sih!" geram Mirna, kepalanya nyut-nyutan, tangannya mencengkram kepalanya. "Mau di taruh mana muka mama? Kalau temen-temen mama sampai tau, bisa malu mama!" teriak Mirna sambil mengangkat dagu dan melotot.
"Ya Ampun, Mah! Aku sudah berusaha. Tapi soalnya tuh memang susah banget. Lagian aku juga nggak bisa nyambung-nyambung huruf Hijaiyah."
"Bener-bener malu-maluin kamu tuh. Makanya kalau mama suruh ngaji tuh ngaji. Ini disuruh ngaji, malah kabur, main gundu sama anak TK. Mau kamu apa sih? Pusing mama ngurusin kamu! Kalau kamu kayak gitu terus, lama-lama mama pondokin kamu di Cirebon. Mau? Mau?" omel sang mama, "Nggak ada yang susah kalau kamu mau belajar. Di dunia ini tuh nggak ada yang namanya anak bodoh. Adanya anak pemalas kayak kamu. Emang kamu nggak mau jadi anak pinter, banggain orang tua!" lanjutnya, mengomel seperti biasa.
"Iya, Mah. Maulah, Mah!"
"Ya Ampun! Kamu tuh selalu bikin tensi mama naik!"
"Makanya jangan marah-marah, Mah." Jawabnya enteng, nggak ada beban.
Sebelum dapet omelan lebih lanjut lagi dari sang mama, Liora pun buru-buru kabur ke kamar.
"LIORA! MAMA BELUM SELESAI!" Teriak Mirna sampai dinding di rumahnya bergetar.
Jangan heran dari mana Liora bisa teriak kenceng. Tentu saja dari gen sang mama.
******
Sementara disebuah restoran, tanpa disengaja Arian bertemu dengan Kyai Ahmad, guru spiritualnya waktu dia masih muda dulu. Arian begitu menghormati kiyai satu itu, yang selalu menjadi panutannya selama ini.
"Berapa anakmu sekarang, Rian?" tanya Kyai Ahmad. Pria sepuh itu memang sangat suka memanggilnya Rian, bukan Arian.
"Anak saya dua, Pak Yai. Anak pertama sudah kerja, sudah menikah dan punya satu anak. Sementara anak kedua saya, perempuan. Masih SMA." Jawab Arian dengan nada merendah.
"Wah, nggak nyangka ya. Kamu sudah punya dua anak." Kekeh sesepuh itu, "Waktu berlalu begitu cepat. Dulu, kamu tuh segini. Pemalu. Pendiam. Tapi sekarang....! Hahahaha! Hebat kamu!" puji pria sepuh itu.
"Alhamdulillah, Pak Yai!" Jawab Arian tersenyum ramah, "Disini Pak Yai sama siapa? Apa sama Hidayat?" tanya Arian menelisik sekelilingnya.
"Tidak. Saya sama sopir kesini. Kebetulan saya lagi ada kajian disini!" jelasnya.
"Oh, jadi Pak Yai menginap di hotel?"
"Ah, nggak. Saya menginap di rumah Hidayat. Mereka baru pindah ke kota dua Minggu yang lalu," jawab pria sepuh itu.
"Benarkah?" Arian sedikit terjengit kaget mendengar berita itu.
"Iya. Hidayat dan keluarganya memutuskan untuk menetap disini. Maklum mereka kan memiliki beberapa butik baju muslim dan toko oleh-oleh Haji di Jakarta. Tidak ada yang mengurus. Yah jadi mereka memutuskan tinggal disini!"
"Oh, begitu." Sahut Arian manggut-manggut, "Maaf, Saya nggak tahu, Pak Yai!"
"Hehehehe, ya nggak tau. Lah kamunya aja super sibuk kok. Sudah lama nggak mampir ke Cirebon, ya nggak tau jadinya!" kekeh pria sepuh itu. Arian pun langsung terkekeh kecil.
"Oya. Begini, Rian. Mumpung kita ketemu disini. Saya ingin sekalian mengundang kamu dan keluarga untuk datang ke acara pernikahan cucu saya!"
"Wah, anaknya Hidayat mau nikah, Pak Yai?"
"Iya. Anak pertama Hidayat mau nikah. Perkenalannya singkat, hanya dengan ta'aruf. Alhamdulillah, cucu saya bersedia. Padahal dia paling susah loh disuruh nikah. Usianya padahal sudah 27 tahun. Seusai mungkin sama anak pertama kamu!"
"Kayaknya iya, Pak Yai!"
"Nah, nanti kamu dan keluarga datang ya. Insyaallah akan dilaksanakan disini. Nanti saya kirim undangannya ke rumah kamu!"
"Ah, iya, Pak Yai. Sebentar!" Arian mengeluarkan kartu nama di dalam dompetnya, lalu menyerahkan pada pria sepuh itu.
"Itu kartu nama dan alamat rumah saya. Pak Yai bisa kirim undangannya ke alamat tersebut!"
"Oh, Ya, Ya. Nanti Insyaallah saya kirim undangannya ke alamat rumahmu!"
"Iya, Pak Yai dengan senang hati. Saya dan keluarga pasti datang!"
"Ya sudah. Saya permisi dulu. Sudah sore. Kalau ada waktu saya mampir ke rumahmu!"
"Ah, tentu saja, Pak Yai. Saya senang sekali bisa menyambut kedatangan Pak Yai dan keluarga ke rumah saya. Salam buat Bu Nyai, Pak Yai!"
"Ya. Ya. Nanti saya sampaikan! Assalamualaikum!"
"Walaikumsalam."
Bersambung....
Tinggalkan komentar ya....
See You Again....
Muuuuuuuuaaaaaaaccccchhhhhh....