Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 25 ~
Mentari kembali bersinar, aktivitas di awal pekan mulai menyita waktu. Aku kembali disibukkan dengan segudang pekerjaan kantor dan juga mengantar Lala ke sekolah.
Tak ada mas Bima di rumah, membuatku sedikit bisa merilekskan otak dan juga detak jantungku.
Entahlah, setiap kali berhadapan dengan mas Bima, aku selalu di rundung kegelisahan, tubuh gemetar serta debaran jantung yang menggila, sampai-sampai akal sehatku pun tak dapat bekerja dengan baik.
Mulut, hati dan pikiranku benar-benar tak bisa sinkron. Padahal sebelum bicara, aku sudah mempersiapkan kata-kata untuk menangkis ataupun mendebat. Tapi apa boleh buat, berada di hadapannya membuat apa yang ku persiapkan seketika ambyar, berantakan hingga puing-puingnya tak dapat di rangkai kembali.
"Bunda, kemarin onty Gesya bilang kalau ayah sama bunda nggak saling sayang"
Ucapan Lala membuatku berhenti sesaat memakaikan kaos kaki di kaki Lala.
"Itu nggak benar, nak"
"Jadi ayah sama bunda sayang-sayangan kan?"
"Tanyakan ke ayah ya"
"Kenapa harus ke ayah?"
"Kalau ayah yang jawab, pasti Lala percaya, ayah nggak pernah bohongin Lala, kan?"
"Memangnya bunda suka bohongin Lala?"
Di landa dilema, aku melanjutkan membantu Lala mengenakan sepatu tanpa mengatakan apapun lagi.
"Yuk ke kamar bunda" Aku mengajak Lala ke kamarku untuk mengambil tas serta dokumen yang harus ku bawa ke kantor.
Sampai beberapa menit berlalu, kami menempuh perjalanan dari rumah menuju sekolah Lala, tak terasa tahu-tahu mobilku sudah berada di area parkiran tempat Lala belajar.
Melepas seatbeltku, baru kemudian membantu Lala melepas seatbeltnya.
"Bunda antar ke kelas ya"
"Iya"
Kami langsung melangkah menuju kelas Lala begitu turun dari mobil. Baru di pertengahan jalan, ada sesosok pria yang memanggil nama Syahla.
Otomatis aku dan Lala menghentikan langkah kemudian menoleh ke arah sumber suara.
Keningku mengernyit menangkap pria yang tengah tersenyum ke arah kami sambil melambaikan tangan.
Tak berapa lama kemudian, pria seumuran mas Bima menghampiriku dan Lala.
"Syahla, kan? Anaknya Bima dan Hana?" Pria itu menudingkan jarinya tepat ke wajah Lala.
"Maaf, anda siapa?" tanyaku penasaran.
"Anda pasti istrinya Bima?"
Alisku menukik.
"Saya Yoga, sahabat Hana dan juga teman Bima" Dia menyodorkan tangannya, namun ku balas dengan tangkupan tangan di dada.
"Ah, iya maaf" ucapnya kikuk.
"Dulu saya satu kelas sama Hana saat di SMA, saya kenal Bima karena Hana yang memperkenalkan kami"
Pria yang mengaku bernama Yoga mengalihkan pandangan ke wajah Lala. Mas Bima dan mbak Hana memang seumuran, mereka teman satu tingkat, hanya saja berbeda sekolah. Mbak Hana di SMA, sementara mas Bima di Madrasah.
"Ini pasti Syahla, kan?"
"Iya, om"
"Wah, cantik kayak mama Hana"
"Siapa mama Hana?" Lala mendongak menatap Yoga yang tingginya menjulang.
"Maaf, pasti Syahla belum tahu soal Hana, ya?"
"Maaf mas, Lala harus masuk, saya juga sudah terlambat ke kantor"
"T-tunggu sebentar!" cegahnya saat aku hendak mengangkat kaki untuk melangkah.
"Syahla, anak om Yoga baru saja pindah dari Singapura ke sini, dia ada di kelas B, Syahla di kelas mana?"
"Di kelas A, om"
"Yah, nggak satu kelas berarti ya?"
Lala menggeleng.
"Ya udah nggak apa-apa, nanti bisa kenalan ya, anak om namanya Naura"
"Iya om"
"Kami permisi, mas" Sambarku usai Lala bersuara.
"Iya, silahkan"
Nggak tahu kenapa aku merasa risi dengan tatapannya yang menurutku aneh. Saat ku tengok ke belakang, dia masih berdiri menatap kami dengan gesture santai.
***
"Mendengar ceritamu, sepertinya suamimu mulai ada respect ke kamu, Bi" Kata Riska saat kami sedang bekerja sambil mengobrol tipis-tipis.
"Aku belum berani ambil kesimpulan, karena sikap mas Bima masih abu-abu"
"Abu-abu gimana?" Riska tak mengerti.
"Mas Bima belum mengatakan apapun, nanti setelah dia pulang, baru kita akan bicarakan lagi"
"Tapi kok mantan adik iparnya berani banget bilang gitu, kalau memang benar suamimu udah curhat ke dia soal bagaimana hubungan kalian, nggak bisa di biarin Bi, kamu harus ambil tindakan. Kamu harus tinggalin rumah itu, nggak usah pedulikan Lala"
"Kok Lala si?" aku yang tadinya sedang mengetik, sepersekian detik langsung berhenti, lalu mempertemukan netraku dengan netra milik Riska "Dia masih kecil, kayaknya nggak fair kalau aku harus melibatkannya"
"Tapi kalau kamu terus lihat Lala, kamu nggak akan bisa ninggalin dia, sedangkan sudah jelas Bima mau nikahi wanita lain"
"Aku nggak tahu, Ris"
Riska mencebik lalu menggelengkan kepala.
Aku sendiri jelas nggak bisa mengabaikan Lala begitu saja.
"Hari ini jengukin Lala?" Tanya Riska setelah kami sama-sama tak bersuara.
"Enggak" Jawabku tanpa melihatnya. "Siang ini Lala ngunjungin panti asuhan. Nggak akan ada orang tua yang jengukin anaknya"
"Kita makan siang bareng dong"
"Hmm"____
Jam makan siang tiba, aku dan Riska berjalan bersisian menuju kantin.
Lagi-lagi untuk ke dua kalinya pria yang tadi pagi menyapaku dan Lala di area playgroup, kembali menyapaku.
Dia bilang, dia adalah teman mbak Hana, itu artinya bukan benar-benar teman mas Bima. Maksudku, hubungan mereka nggak seperti hubungan pertemanan antara mas Bima dengan mas Elfano yang terjalin begitu erat. Kalau saja mas Elfano dan istrinya tinggal satu kota dengan kami, kami pasti akan sering bertemu. Tapi karena mas Fano harus di tugaskan di Tangerang, membuat kami jarang sekali berkumpul.
"Istrinya Bima, kan?"
"Iya" Sahutku singkat. Aku sedikit heran sebenarnya, nggak nyangka sama sekali bisa bertemu lagi dengannya.
"Berarti saya nggak salah lihat ya, dan saya cukup paham dengan wajahmu"
Pria itu lantas melirik ke gedung kantorku. "Anda kerja di sini?"
"Iya"
"Seorang PNS berarti?"
Aku mengangguk untuk mengiyakan.
"Saya permisi mas Yoga"
"Tunggu, mbak Arimbi"
Keningku mengernyit begitu dia menyebut namaku. Aku bertanya-tanya dalam hati bagaimana dia bisa tahu namaku.
"Anda pasti heran kenapa saya bisa tahu namamu"
Alisku semakin menukik tajam.
"Gesya yang memberitahu saya"
"Oh" Singkatku.
"Iya, karena saya berteman baik dengan kakaknya, jadi saya dan Gesya saling kenal"
Itu nggak penting buatku kan? Aneh ...
"Saya permisi, mas Yoga! Waktu istirahat saya hanya satu jam, saya harus makan siang dan sholat" Tak mau berbasa-basi lebih lama, aku juga merasa nggak enak sama Riska yang sedari tadi hanya menyimak obrolanku dengan pria asing ini, akupun langsung pergi dari hadapannya.
Aku benar-benar merasa terganggu dengannya. Entah kenapa tatapannya tak biasa yang justru membuatku merasa risi.
Yoga??? Teman mbak Hana dan juga mas Bima, kenal juga dengan Gesya.
Hmm ... Pasti Lala akan ngadu ke mas Bima kalau ada pria yang menemui kami.
Tanganku merogoh saku pakaian dinas yang ku kenakan, kemudian mengambil foto berukuran kecil milik mas Bima.
Aku merindukannya, tapi aku juga takut padanya.
Bersambung.
Besok mas Bimanya pulang ya... 😄😄
Semangat berkarya