Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 6
"Kerja kamu, Sih?" Sambut Wandi saat Ningsih baru saja memasuki kamarnya untuk melaksanakan kewajiban empat rakaat nya.
"Iya." Jawab Ningsih singkat tanpa mau menoleh ke arah Wandi. Ningsih menggelar sajadah dan mengenakan mukenanya. Lebih memilih beribadah tinimbang meladeni ucapan Wandi.
Cukup lama Ningsih berada di atas sajadah, sengaja Ningsih berdzikir dan berdoa serta mencurahkan perasaannya kepada sang Ilahi. Sambil menunggu adzan ashar tiba. Sedangkan Wandi justru mencebik penuh cemooh pada Ningsih yang masih khusyuk beribadah.
"Dasar pemalas! Berdoa sampai nangis darah juga gak bakalan punya uang banyak. Perempuan benalu dan bodoh!" Rutuk nya tanpa sedikitpun punya perasaan. Meskipun hatinya sakit mendengar ocehan Wandi untuknya, Ningsih tetap memilih fokus untuk terus berdzikir dan bercengkrama dengan sang pemilik alam semesta.
Setelah selesai menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Ningsih hendak kembali keluar kamar untuk menemui Salwa. Hatinya sudah rindu ingin bertemu sang anak. Namun dengan cepat Wandi menghentikan langkahnya Ningsih.
"Apa kamu tidak merindukan aku, Sih?" Ucap Wandi dengan wajah tanpa dosanya. Meskipun mulutnya selalu pedas pada Ningsih, tapi dia selalu muncul hasrat saat melihat Ningsih.
"Sama sekali, tidak. Hatiku sudah mati untuk laki laki munafik dan kejam sepertimu, mas. Minggir, aku mau lewat." Sahut Ningsih datar, matanya menyorot tajam pada Wandi yang langsung tersinggung mendengar jawaban Ningsih.
"Gayamu, Sih. Perempuan jelek dan buluk begini saja sok jual mahal. Bisa apa kamu tanpa aku?" Balas Wandi yang sudah mencengkram kasar dagu Ningsih.
"Lepaskan, mas. Jangan sampai aku teriak dan panggil warga untuk mengusir kamu. Lebih baik kamu balik ke Surabaya lagi, hidup nyaman sama istri simpanan kamu itu, dan lepaskan aku." Tekan Ningsih dengan menahan rasa sakit karena cengkraman Wandi.
"Dari mana kamu tau aku nikah lagi, hah? Tidak usah memfitnah untuk menutupi kebusukan kamu yang punya selingkuhan. Dasar perempuan murahan!" Bentak Wandi dengan menghempaskan cengkraman tangannya, sehingga Ningsih terhuyung kebelakang.
"Tanya sama perempuan itu, dia sendiri yang sudah dengan bangganya mengaku sudah sah jadi istrimu. Dan memintaku untuk tidak lagi menghubungi dan mengganggu hubungan kalian. Jadi untuk apa kamu masih datang kerumah ini?
Aku sudah tak Sudi lagi jadi istrimu, menjijikkan!" Balas Ningsih dengan wajah mengeras. Sakit hati dan benci akan sikap semena mena Wandi.
"Oke, aku akan pergi. Kalau kamu mau cerai dariku, urus saja sendiri dengan uangmu. Urusan Salwa, tidak usah minta padaku. Aku mau lihat, bisa apa kamu tanpa uang dariku!" Bentak Wandi yang langsung pergi begitu saja, tanpa menoleh pada mertua dan anaknya yang tengah duduk di teras. Wandi berlalu seolah tidak punya adab dan sopan santun kepada pemilik rumah.
Ningsih terdiam, hanya menatap nanar kepergian Wandi dengan dada bergemuruh. Air matanya berjatuhan dengan rasa sakit yang dia sendiri tidak tau apa yang kini dia pikirkan.
Sikap Wandi sudah sangat keterlaluan, salah tapi tidak mau mengakui kesalahannya.
"Mbak. Yang sabar, yang kuat. Insyaallah, akan ada kebahagiaan setelah rasa sakit. Dia tidak pantas kamu tangisi." Rina yang sudah berdiri dibelakang Ningsih memberikan kekuatan kakaknya.
"Aku tidak menangisi kepergiannya, aku cuma menyesali keputusan telah menikahi laki laki tak punya hati sepertinya." Lirih Ningsih yang langsung mengusap air matanya dan berusaha untuk bersikap baik baik saja. Duka dan rasa sakitnya dia simpan rapat di dalam hatinya.
"Salwa, sudah menghabiskan baksonya. Sepertinya dia suka, karena lahap sekali makannya. Mbak beli dimana? Baksonya memang enak." Rina mengalihkan obrolan, agar kakaknya tidak larut dengan kesedihannya.
"Beli di sampingnya toko, Alhamdulillah kalau kalian menyukainya." Balas Ningsih dengan senyuman tipis, lalu mengayunkan langkah untuk bergabung dengan anak dan ibunya yang tengah berada di teras.
"Kamu baik baik saja kan, nduk?" Sambut Bu Yati menatap sendu ke arah putri sulungnya.
"Insyaallah, aku gak papa, Bu. Ibu gak usah khawatir." Sahut Ningsih dengan wajah dibuat setenang mungkin, takut kalau ibunya kepikiran dengan masalah rumah tangganya.
"Besok, kamu libur kerja, kan?" Sambung Bu Yati dengan serius.
"Enjih, Bu. Besok aku libur." Sahut Ningsih sambil mengusap lembut kepala Salwa yang sudah berada di pangkuannya.
"Pergilah ke pengadilan, dan urus perceraian kamu secepatnya. Kamu bisa tanya sama mbak Tami, dia juga baru saja ngurus surat cerai." Sahut Bu Yati yang menghembuskan nafasnya dalam.
"Iya, Bu. Nanti aku akan pergi kerumahnya mbak Tami buat nanya proses dan biayanya." Sahut Ningsih dengan pikiran yang tak bisa dijelaskan.
"Salwa waktunya masuk sekolah, apa kamu akan mendaftarkannya?" Sambung Bu Yati.
"Iya Bu, kasihan kalau tidak di daftarkan. Salwa sudah pengin banget sekolah."
"Kamu ada uangnya? Apa Wandi tadi kasih uang buat kebutuhan anakmu?" Balas Bu Yati menatap dalam wajah Ningsih yang terlihat kuyu.
"Insyaallah aku ada uang, Bu. Kan satu Minggu lagi aku gajian. Mas Wandi tidak kasih apa apa, entahlah apa tujuan dia pulang kesini. Aku sudah tidak lagi berharap sama dia. Biarlah dia berbuat semaunya. Aku lelah menghadapi sikapnya yang kasar itu." Balas Ningsih yang tersenyum kecut, hatinya sudah benar benar mati dan membeku untuk memikirkan suaminya yang tak punya hati.
"Lebih baik begitu, tidak perlu lagi kamu berharap dan memikirkan laki laki seperti Wandi. Insyaallah kamu akan menemukan kebahagiaan setelah urusanmu selesai dengannya. Pasrahkan saja segala perbuatannya pada yang maha kuasa, biar tangannya yang bekerja untuk membalas semua kedzalimannya." Sahut Bu Yati panjang lebar dengan hati sesak memikirkan nasib anak perempuannya.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Sahabat Benalu
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tempat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️