"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penasaran
Setelah keluar dari gedung, mereka berjalan beriringan menuju mobil, tapi suasana terasa tegang di antara mereka. Karin, yang selama ini selalu bisa mengendalikan situasi, mulai merasa tidak nyaman dengan sikap Pandu yang terlihat semakin tertutup. Pandu mencoba tetap tenang, tapi Karin dapat merasakan ada sesuatu yang disembunyikan. Hal itu membuatnya tidak bisa menahan rasa penasaran lebih lama lagi.
Setelah masuk ke mobil, Karin menghela napas panjang sebelum menatap Pandu dengan sorot mata tajam. "Oke, sekarang kita sudah sendirian. Apa yang sebenarnya kalian bicarakan di dalam sana?" tanyanya dengan nada yang sedikit lebih tajam dari biasanya.
Pandu hanya mengangkat bahu dan tersenyum kecil. "Aku sudah bilang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Om Heru hanya ingin memastikan kita serius tentang ini."
Karin menatapnya dengan curiga. "Itu saja? Kamu yakin?" Desakan dalam suaranya membuat Pandu mengalihkan pandangannya sejenak, seolah mencari cara untuk menghindar dari topik yang mulai membuatnya terpojok.
"Ya, serius," jawab Pandu sambil menyalakan mesin mobil. "Om Heru hanya melakukan pekerjaannya. Dia pengacara, tentu saja dia harus hati-hati."
Karin mendengus pelan, lalu bersedekap. "Kalau begitu, kenapa aku merasa ada yang kamu sembunyikan dariku? Sejak kita keluar dari sana, kamu jadi aneh. Ada yang kamu tidak katakan, kan?"
Pandu menghela napas, tetap mencoba mengendalikan situasi. "Karin, jangan terlalu curiga. Semua ini demi kebaikan kita. Lebih baik kita fokus pada rencana kita daripada membesar-besarkan hal yang tidak perlu."
Karin merasakan dadanya semakin sesak karena semakin banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Ia memalingkan wajahnya, menatap keluar jendela dengan tatapan kesal. "Pandu, aku tidak suka kalau kamu berbohong padaku. Kita sudah berkomitmen untuk menjalani ini bersama, jadi tolong jangan buat aku merasa seperti orang bodoh."
Pandu tetap tenang, namun kali ini ia menurunkan nada suaranya, mencoba untuk meredakan ketegangan. "Aku tidak berbohong padamu, Karin. Aku hanya berpikir bahwa ada hal-hal yang tidak perlu kamu khawatirkan sekarang."
Karin berbalik, menatapnya tajam. "Hal-hal apa? Hal-hal yang tidak perlu aku khawatirkan? Aku yang menjalani ini, Pandu. Kalau ada yang bisa membahayakan rencana kita, aku berhak tahu."
Pandu terdiam, tampak kebingungan mencari jawaban yang bisa memuaskan Karin tanpa membocorkan terlalu banyak. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Karin dengan cepat menambahkan, "Om Heru menyebut sesuatu tentang kamu, kan? Sesuatu yang membuatmu tidak nyaman? Katakan padaku, apa itu?"
Pandu memandang Karin sejenak sebelum menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa Karin tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Namun, ia juga tahu bahwa mengatakan yang sebenarnya bisa memperumit segalanya.
"Aku janji, Karin, semuanya akan baik-baik saja," jawab Pandu pelan. "Percayalah padaku."
Karin memandang Pandu dengan tatapan tajam, masih merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Tapi melihat usaha Pandu untuk mengalihkan pembicaraan, ia memutuskan untuk berhenti menekannya, untuk saat ini.
"Baiklah," kata Karin akhirnya, meski dengan nada yang masih penuh kekesalan. "Tapi jangan pikir aku akan melupakan ini. Suatu saat nanti, aku akan tahu juga apa yang sebenarnya terjadi."
Pandu hanya tersenyum tipis, mengangguk pelan. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini hanya masalah waktu sebelum semua rahasia terungkap. Namun, untuk saat ini, mereka harus fokus pada misi mereka dan menjaga semuanya tetap berjalan sesuai rencana.
Malam itu, setelah hari yang panjang dan penuh ketegangan, Karin dan Pandu akhirnya tiba di apartemen. Suasana hening di antara mereka setelah percakapan yang memanas di mobil. Begitu sampai, Pandu langsung melepaskan dasinya, diikuti dengan sepatunya yang ia lempar begitu saja ke dekat sofa. Kemudian ia dengan santainya melepas bajunya, menaruhnya secara acak di sandaran kursi.
Karin yang baru saja menyalakan lampu dan menggantung pakaiannya dengan rapi, berhenti sejenak. Matanya memicing tajam melihat keadaan yang mulai berantakan hanya dalam beberapa menit setelah mereka tiba. Dia selalu perfeksionis dan terbiasa dengan keteraturan. Pemandangan itu langsung membuat darahnya mendidih.
"Astaga, Pandu!" serunya, nadanya terdengar lebih keras dari yang ia harapkan. "Kamu bisa nggak sih, untuk sekali saja, menaruh barang-barangmu dengan benar? Ini apartemen, bukan kandang!"
Pandu, yang sudah merebahkan tubuhnya di sofa, hanya mengangkat alis, tampak santai seperti biasa. "Santai saja, Karin. Itu cuma sepatu dan baju, bukan kiamat." Ia tersenyum kecil, berusaha membuat suasana lebih ringan.
Namun, Karin tidak terhibur. "Santai?" balasnya kesal sambil memungut sepasang sepatu Pandu dan melemparkannya ke rak sepatu dengan gerakan cepat. "Aku nggak bisa hidup dengan barang-barang yang berserakan seperti ini. Apalagi setelah hari yang melelahkan, aku hanya ingin semuanya teratur."
Pandu menatap Karin dengan ekspresi penuh kebingungan, seolah dia tidak mengerti mengapa Karin begitu marah. Dia duduk tegak, mengamati Karin yang masih mondar-mandir membereskan barang-barang yang ia tinggalkan sembarangan.
"Kamu serius marah cuma gara-gara ini?" tanya Pandu akhirnya, mencoba menahan tawa.
"Ya, aku serius!" Karin menoleh dengan wajah memerah, matanya tajam menatap Pandu. "Aku alergi dengan kekacauan. Aku nggak bisa tidur kalau melihat sesuatu yang berantakan seperti ini."
Pandu menghela napas, lalu bangkit berdiri. Ia menghampiri Karin yang masih kesal sambil meletakkan tangannya di bahu wanita itu. "Oke, aku minta maaf," katanya dengan nada lebih serius. "Aku nggak sadar kalau ini penting buat kamu. Aku akan mencoba lebih rapi mulai sekarang."
Karin berhenti dan memandangnya, ekspresi wajahnya sedikit melunak meski masih ada sedikit kerutan di dahinya. "Itu bukan soal mencoba, Pandu. Kamu harus lebih rapi. Kalau kita benar-benar akan tinggal bersama selama pernikahan kontrak ini, kita harus punya aturan."
Pandu mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih merasa lucu dengan betapa tegangnya Karin tentang hal-hal kecil. Namun, melihat wajah serius Karin, dia memutuskan untuk tidak mengolok-oloknya lagi. "Oke, kita buat aturan," katanya sambil mengangkat tangan sebagai tanda setuju. "Kamu buat daftarnya, dan aku akan mencoba untuk mengikutinya."
Karin mendengus, merasa Pandu tidak sepenuhnya serius, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah maju. "Baiklah," katanya, meski suaranya masih terdengar penuh rasa jengkel. "Tapi kalau kamu melanggar, aku nggak akan segan-segan menegur kamu lagi."
Pandu tersenyum, matanya bersinar nakal. "Deal. Tapi jangan terlalu keras, ya. Kamu tahu aku orangnya santai."
Karin menghela napas panjang, mencoba menghilangkan rasa kesalnya. "Kamu memang orang yang sangat santai. Terlalu santai, bahkan."
Mereka akhirnya duduk di sofa, suasana sedikit lebih tenang. Pandu, meski masih terlihat tidak terlalu peduli, mulai mengerti bahwa mereka perlu kompromi agar pernikahan kontrak ini berjalan lancar. Dan meskipun Karin masih merasa sedikit kesal, dia mulai menyadari bahwa mereka berdua memiliki cara yang sangat berbeda dalam menjalani hidup, perbedaan yang, mau tidak mau, harus mereka hadapi jika ingin menjalani misi ini tanpa masalah besar.