Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita dari Kantor
Setelah menerima transfer sepuluh juta rupiah dari rekan kantor si pria atas nama Mira, si pemilik warung mini bank terperangah. Wajahnya memerah, campuran antara terkejut dan malu. Sebenarnya, uang tunai yang ia punya di warungnya tidak lebih dari lima juta rupiah. Dengan amat malu, ia meminta tamunya untuk menunggu sebentar.
“Saya ambil dulu ya, Pak, sisa uangnya di bank,” katanya gugup, sambil setengah berlari keluar dari warungnya.
Kimi melihat tingkah si pemilik mini bank sambil mengangkat bahunya. “Pak, lihat sudah jam sepuluh,” kata Kimi sambil memperlihatkan layar ponselnya.
Si pria hanya menghela napas panjang, menahan kesal. Waktu terus berjalan. Ia sadar ia sudah menghabiskan terlalu banyak waktu. Ia harus segera menemukan truk sampah yang membawa sepatunya. Mungkin sudah sampai di Bantar Gebang sekarang atau bahkan sudah pergi lagi.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya si pemilik mini bank kembali dengan napas tersengal, membawa sisa lima juta rupiah dari bank.
“Nih, Pak, lengkap sudah sepuluh juta, sudah dipotong biaya administrasi dua puluh lima ribu.” katanya sambil menyerahkan segepok uang dalam amplop cokelat dengan senyum canggung.
Pak CEO mengambil uangnya tanpa sepatah kata kemudian menitipkannya kepada Kimi agar disimpan dalam tas. Tapi sebelum beranjak pergi, ia menatap si pemilik mini bank dengan tajam.
“Terima kasih, ya. Saya rasa ini pengalaman pertama saya mencairkan transfer uang sebesar ini dengan cara menonton seseorang lari maraton dari warung ke bank. Benar-benar cara yang… sangat efisien.” katanya sambil menepuk pundak si pemilik mini bank dengan ringan.
Si pemilik mini bank tersenyum kecut, merasa telak dipermalukan. Tapi Pak CEO belum selesai.
“Oh, dan satu lagi,” Pak CEO menambahkan dengan nada datar, “Kalau lain kali Anda perlu lari lagi ke bank, mungkin sebaiknya buka saja cabang mini bank di depan ATM. Lebih efisien, kan?”
Si pemilik mini bank hanya bisa tersenyum lemah, merasa lebih kecil dari warungnya yang mungil. Si pria pun meninggalkan tempat itu dengan langkah tegas, meninggalkan si pemilik mini bank yang masih berdiri mematung, merasa dipermalukan habis-habisan.
“Astaghfirullaahaladziim…” gumam Kimi melihat peristiwa sindiran itu. “Nggak baik sindir-sindir orang kayak gitu,” protes Kimi kepada si pria. Kimi beralih ke si pemilik mini bank. “Bang, lain kali jangan suka nyepelein orang ya,” kata Kimi setengah berteriak.
“I-iya, Bu,” jawab si pemilik mini bank masih terengah-engah seraya menyeka keringat di dahinya.
Setelah meninggalkan warung mini bank, mereka tiba di bengkel. Namun harapan untuk segera melanjutkan perjalanan ke Bantar Gebang pupus seketika saat pemilik bengkel memberitahu dengan wajah tak bersalah, “Maaf, Pak, bajajnya belum bisa berangkat. Onderdil yang baru masih dalam proses pemasangan.”
Pria itu terduduk di kursi bengkel, setengah pasrah. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, dan ia semakin resah. Sambil menjaga jarak di kursi terpisah, Kimi duduk dengan tenang, menunggu sambil sesekali memeriksa ponsel.
"Sebenarnya hari ini aku punya jadwal penting untuk bertemu dengan klien dari Prancis," si pria mulai berbicara, lebih kepada dirinya sendiri. "kebetulan mereka habis liburan di Bali dan sebelum pulang mereka bermaksud mampir ke Jakarta sekitar jam-jam sekarang. Tapi sekarang saya malah terjebak di sini,” si pria menunduk putus asa.
“Setelah tiga tahun saya menjadi CEO, rasanya baru sekarang merasa gagal total. Ayah saya sebagai pemilik perusahaan sangat berharap kalau pemasaran produk sepatu perusahaan beliau kelak bisa dikenal dunia internasional,” kata si pria, kemudian menghela nafas.
“Sementara Prancis adalah pusat mode dunia, merupakan negara yang menginspirasi bagi ayah saya dan juga saya sendiri. Oleh karena itu klien ini sangat saya harapkan. Dia distributor sepatu besar di Prancis bahkan beberapa negara di Eropa, dan jika berhasil, saya yakin sepatu produksi perusahaan saya bisa menembus pasar internasional. Tapi sekarang… haaah...."
Kimi mendengarkan dengan seksama, merasa simpati. Akhirnya mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Di sekitar mereka, beberapa orang di bengkel memperhatikan dengan penuh keheranan. Sosok pria berkemaja dan berdasi yang biasanya tampak di gedung perkantoran kini duduk di bengkel menunggu perbaikan bajaj sambil membicarakan soal klien internasional dengan ekspresi putus asa seraya… bertelanjang kaki. Sementara itu, tak jauh darinya, ada seorang perempuan memakai niqab, tampak sangat kontras dengan lingkungan bengkel yang keras dan kotor.
“Kenapa Bapak tidak memutuskan menemui klien dan menghentikan pencarian sepatu ini? Menurut Bapak, mana yang lebih berharga?” tanya Kimi penasaran, menjaga jarak sambil duduk di kursi terpisah.
Si pria menghela napas panjang. “Nilai sentimen sepatu ini begitu… besar. Saya tidak tahu, kedua-duanya berharga. Tapi… entah kenapa saya tidak sanggup untuk melepaskan sepatu ini begitu saja…”
“Jadi ini bukan semata-mata masalah harganya yang… empat puluh enam juta?” tanya Kimi, sedikit berbisik.
Orang-orang di dalam bengkel yang mendengarnya terkejut. Sepatu seharga empat puluh enam juta adalah sesuatu yang sulit mereka bayangkan.
“Ya… kamu betul…” jawab si pria dengan nada yang agak lesu.
“Lalu kenapa Bapak tidak meminta bantuan orang-orang di perusahaan untuk ikut mencari sepatu itu? Dengan begitu, Bapak bisa menemui klien Bapak dari Prancis,” usul Kimi.
“Tidak!” jawab pria itu tegas. “Saya terlalu malu untuk melibatkan mereka dalam pencarian sepatu ini. Mereka tidak akan mengerti sentimen di baliknya. Jika mereka sampai tahu, mungkin mereka hanya akan menjadikannya bahan olok-olok. Saya tidak mau itu terjadi.”
Kimi berusaha mencerna perkataan si pria, hingga tiba-tiba ponsel Kimi memekik. Saat menatap layar ponselnya gadis itu tahu, ini bukan panggilan untuknya melainkan untuk si pria. Kimi menyerahkan ponselnya kepada si pria.
“Halo… Pak CEO, klien dari Prancis mungkin datang terlambat. Dia bilang akan tiba di Jakarta sore hari dan ingin bertemu langsung karena dia tidak punya banyak waktu lagi di Indonesia. Malam ini dia akan pulang ke Prancis,” tutur Mira, mengabarkan. “Sayangnya beliau belum bisa mengabarkan apakah beliau meminta bertemu di hotel atau… di kantor perusahaan.”
Si pria menegakkan punggung, wajahnya sedikit cerah. “Benarkah? Jadi masih ada waktu?”
“Ya, ngomong-ngomong Pak CEO, Anda ada di mana sekarang?” tanya suara di ujung sana.
“Mmm… maafkan saya Mir, kali ini saya tidak bisa beritahu. Ada apa memangnya? Adakah sesuatu yang mendesak di perusahaan?” jawabnya sambil menjaga rahasia posisinya.
“Oh, tidak-tidak. Hanya saja ada seseorang yang mencari Anda, katanya Anda tidak bisa dihubungi.” Kemudian, suara Mira berubah lebih pelan, dengan nada sedikit menggoda. “Dia marah-marah!”
Si pria terkejut. Firasatnya mengatakan bahwa itu mungkin tunangannya yang datang ke kantor mencarinya karena tak bisa dihubungi, atau karena hal serius lain.
“Karin?” tanyanya dengan nada khawatir.
“Ya, Anda sudah bisa menduganya…”
“Oh tidak, jangan beritahu nomor telepon ini. Saya sudah terlalu banyak merepotkan rekan saya di sini. Tolong, jangan beritahu dia!” pintanya dengan nada mendesak.
“Oke!” jawab Mira, setengah berbisik.
“Sudah dulu ya, jangan hubungi saya lagi!”
Kimi, yang duduk dengan jarak aman, tetap menjaga sopan santun sebagai seorang muslimah taat. Ia menyaksikan situasi itu dengan sedikit cemas. “Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Gara-gara saya, Bapak jadi mendapat banyak masalah hari ini…”
“Ya… semua sudah terjadi, mau bagaimana lagi…” jawab pria itu dengan nada yang sedikit pasrah. “Meskipun saya terus menerus menyalahkan kamu, tak akan ada gunanya juga,” lanjut si pria dengan lesu.
“Terus… apa… Bapak yakin mau ke Bantar Gebang?” tanya Kimi seraya melihat-lihat kondisi si pria.
Si pria menghela napas berat. “Harus. Aku harus menemukan sepatu itu, bagaimanapun caranya. Ke Bantar Gebang atau ke mana pun, selama ada petunjuk, aku akan pergi.”
Kimi membulatkan matanya, berusaha memahami tekad pria itu.
“Dan kamu… kamu sudah cukup banyak berkorban. Kamu ada jadwal wawancara hari ini… kamu boleh meninggalkan saya. Tentu kamu tidak ingin kehilangan kesempatan, kan?” kata si pria lagi, dengan tatapan penuh misteri.
Kimi menggeleng pelan. “Saya sudah merelakannya, Pak. Dan… saya tidak mungkin membiarkan Bapak sendiri. Walau bagaimana pun, saya harus bertanggung jawab. Saya akan membantu Bapak mencari sepatu Bapak, ke mana pun, selama ada petunjuk!” sahut Kimi, tersenyum lembut di balik niqabnya. Ia sadar sepatu itu hilang karena kecerobohannya, dan meskipun keadaan semakin sulit, ia harus menuntaskan tanggung jawabnya.
Si pria tersenyum. “Bagus,” sahut si pria tiba-tiba. “Ternyata kamu masih peduli dengan saya. Saya kira…”
“Hmh, apa? Bagus? Bagus apanya? Saya cuma mau bertanggung jawab, Pak! Kan Bapak sendiri yang bilang, saya tidak akan pernah sanggup bertanggung jawab kecuali dengan membantu mencari sepatu itu sampai ketemu.”
“Ya sudah, sukur kalau gitu. Awas saja kalau kamu coba-coba melarikan diri!” ancam si pria seolah tak tahu harus bagaimana melampiaskan kekesalan sambil memijit-mijit kepalanya yang mulai pening.
“Tidak akan! Astaghfirulloohaladziiim…” jawab Kimi.
“Habisnya kamu nanya terus, yakin apa nggak ke Bantar Gebang…” protes si pria sedikit emosi. “Tidak lihat memang perjuangan saya sampai di sini?”
“Maksud saya…,” gadis itu tak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia memilih diam seraya menyembunyikan kekesalan.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.