Hidup Naura sudah berantakan, semakin berantakan lagi ketika ia diperkosa dan diharuskan menikah dengan brandalan bernama Regan Januar. Kejadian mengerikan itu terpaksa membuat Naura mengundurkan diri dari pekerjaannya, berhenti kuliah, dan berbohong kepada ibu dan sahabatnya. Tidak ada ekspektasi berlebih dengan pernikahan yang didasari dengan alasan menyedihkan seperti itu. Namun, apakah pernikahan mereka akan berjalan baik-baik saja? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon macarhd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanggung Jawab
Setelah bertemu dengan Melody, Naura menyempatkan diri untuk pergi ke tempat kerjanya lantaran Bu Nadia yang kembali menghubunginya lewat telepon.
"Ya, ampun, saya kira kamu kenapa-napa. Soalnya terakhir kita ketemu waktu itu kamu keliatan lagi kurang sehat. Tapi syukurlah kalau kamu baik-baik aja."
Seperti yang Naura duga sebelumnya kalau Bu Nadia tidak akan marah kepada dirinya yang sudah menghilang beberapa hari dan tidak masuk kerja tanpa alasan. Bu Nadia sebaik itu sehingga kesalahan fatal yang dilakukan Naura bisa dimakluminya dengan lapang hati.
Selain kepada Bagas dan Melody, Naura juga memberikan alasan yang sama kepada Bu Nadia. Ia berkata kalau tiga hari kemarin pulang ke kampung halamannya lantaran sedang merasa rindu berat kepada ibunya.
Kebohongan yang entah akan sampai kapan ia ucapkan.
Kata-kata terakhir dari Bu Nadia sebelum Naura pamit pulang, membuat hatinya terenyuh. Tidak habis pikir lagi dengan kebaikan wanita itu. "Jangan dulu kerja, saya lihat kamu masih belum sehat sepenuhnya. Oh, ya, nanti kalau mau pulang, ambil paperbag di ruangan belakang, ya, kamu bawa pulang."
Tahu apa isi paperbagnya?
Beberapa makanan lengkap dengan obat-obatan. Membuat Naura tak bisa berkutik dan sejenak berpikir bahwa dirinya sudah menjadi sejahat itu.
Di mana, semua orang sudah bersikap baik, tapi ia malah membohonginya. Itu sudah termasuk jahat, bukan?
***
Hari ini rumah Melody dipenuhi oleh para keluarga serta teman-teman dari keluarga gadis itu. Naura sudah berada di tempat ini sejak satu jam yang lalu, setelah Melody sendiri yang menjemputnya langsung.
Melihat ramainya orang-orang juga kehangatan yang menyelimuti mereka, mambuat Naura sedikit merasa iri, ingin merasakan hal yang sama juga. Tidak sendirian, bahkan dalam keadaan menyedihkan seperti sekarang.
Melihat betapa harmonisnya keluarga Melody membuat Naura kadang berpikir keras dan malah berujung menyalahkan takdir hidupnya sendiri.
Kenapa ia harus hidup seperti ini?
Kenapa kehidupannya terasa tak layak, sedangkan Melody dan banyak orang di luaran sana memiliki kehidupan yang layak dan menyenangkan?
Dan berbagai pikiran lain yang semacamnya, yang memenuhi isi kepala hingga pada ujungnya membuat helaan napas panjang juga kata sabar yang kembali terucap dalam mulut.
Sekali lagi, bagaimanapun hidup, harus tetap dijalani, bukan?
"Cobain, ini kue buatan Mamanya Misua, enak banget."
Lamunan Naura buyar kala Melody datang dengan piring kecil yang ada di tangannya. Sebuah kue yang entah apa namanya--meskipun bekerja di toko kue, Naura tidak tahu kue yang dibawa Melody itu kue jenis apa.
Menghela napas kasar karena kesal, Naura menerima piring itu kemudian mulai mencoba kuenya. Satu gigitan terasa enak. Dua gigitan masih dengan rasa yang sama. Namun ketika akan merasakan untuk yang ketiga kalinya, Naura merasa ada yang aneh hingga membuat sesuatu dari perutnya ingin keluar.
Tidak. Naura mohon. Tolong jangan sekarang.
Rasa mual mulai muncul, tapi Naura harus menahannya sekuat apa pun. Tidak enak jika ia menunjukan sesuatu yang kelihatannya akan sangat menjijikan bagi orang-orang. Terlebih, beberapa orang pasti akan merasa curiga ketika melihatnya.
Begitupun dengan Melody.
Sudah cukup Naura menutupi kebohongannya mati-matian, mencari alasan agar ia bisa mengatakan hal yang beda ketika Melody bertanya apa kata dokter yang memeriksanya waktu lalu. Sekarang, jangan sampai Naura harus berbohong lagi.
"Enak, kan?" tanya Melody memastikan.
Naura mengangguk kecil. "Enak banget."
Melody tersenyum lebar, kemudian menuntun Naura untuk pergi dari sana. Membawanya menuju sebuah ruangan yang tidak lain adalah kamar yang akan ditempati oleh Naura malam ini.
"Mertua gue selain baik, dia pinter masak juga. Apa pun yang dibuatnya, pasti enak." Setelag memasuki kamar, Melody mendudukkan tubuhnya yang kemudian diikuti oleh Naura. "Lo tidur di sini, ya? Nanti gue izin ke Pak Suami, deh, biar gue bisa tidur di sini sama lo."
"Nggak usah, gue sendirian aja." Naura menolak karena merasa tidak enak.
"Lah, terus ngapain gue nyuruh lo nginep kalo kita nggak bobo bareng?" Melody berdecak. " Ayolah, gue yakin Mas Arsen pasti izinin."
Seperti apa yang pernah Naura katakan kalau Melody itu tipe orang yang tak terbantahkan. Bagaimanapun keinginannya, harus dipenuhi dan dituruti. Tidak terima alasan apa pun.
Pada akhirnya, Naura hanya bisa menghela napasnya pasrah.
"Terserah, deh," balas Naura.
Beberapa saat setelahnya, Melody harus keluar karena dipanggil oleh suaminya, meninggalkan Naura sendirian di ruangan itu.
Duduk tenang dengan mata yang menelusuri setiap sudut kamar. Melihat apa saja yang bisa ia lihat di sana. Kamarnya cukup luas, tiga kali lipat dari kamar kontrakannya. Warna cat juga barang-barang di kamar itu terlihat memiliki warna yang senada. Simpel tapi menarik.
Naura yakin, siapa pun yang menempati kamar ini, akan tertidur dengan nyaman dan tenang.
Sepuluh menit berlalu, Naura masih dengan posisi yang sama. Ia akan beranjak dari duduknya, menuju kamar mandi yang tersedia di sana. Namun, ketika kakinya mulai melangkah, telinganya mendengar suara ponsel yang berdering, yang berasal dari tas kecil yang ia bawa.
Ada yang menelponnya di sana.
Naura segera meraih ponselnya dan melihat siapa si penelpon itu.
Dan tertera nama Bagas di layar ponselnya.
Tidak langsung menjawab, Naura berpikir terlebih dahulu. Apakah ia harus menjawab atau lebih baik untuk membiarkannya saja.
Bukannya apa, setelah pertemuan di rumah Bagas waktu lalu, Naura memang sengaja untuk sedikit menghindar dari laki-laki itu.
Semuanya sudah jelas. Regan tidak mau bertanggungjawab dan harusnya Bagas sudah tidak ada urusan lagi dengan dirinya. Naura akan menerima itu, meski berat dan amat menyakitkan.
Mengenai Bagas yang katanya akan menggantikan posisi Regan untuk mempertanggungjawabkan semuanya, Naura merasa ragu. Ah, bukan ragu, melainkan merasa kalau itu tidak perlu.
Bagaimanapun, itu keputusan yang bukan hanya sesaat, melainkan selamanya. Naura tidak mau kalau harus hidup di bawah rasa kasihan dari seorang Bagas, terlebih dengan kenyataan yang nantinya sudah tak bisa diubah lagi.
Meski sulit, Naura akan menjalani semuanya sendirian.
Setelah berpikir, Naura memutuskan untuk menjawab telepon itu. Bukan karena berubah pikiran, melainkan karena takut akan ada hal penting yang akan disampaikan oleh Bagas.
"Hallo?" Naura mulai menyapa.
"Hallo, Naura? Kamu di mana?"
"Di rumah." Naura berbohong karena tidak mau kalau Bagas juga harus berurusan dengan Melody. Kedua manusia itu tidak boleh bertemu, apalagi saling bertegur sapa.
"Saya jemput sekarang."
Bukan hanya terkejut, bahkan Naura merasa bahwa tubuhnya menegang seketika. Kenapa? Ada apa?
"K-kenapa?" tanyanya ragu. Suara Bagas tidak terdengar main-main di telinganya.
"Regan sudah mau bertanggung jawab."
Hingga ketegangan di tubuh Naura berubah dengan perasaan yang aneh, yang Naura sendiri pun tidak tahu apa maksudnya.
Seperti merasa lega yang sekaligus merasakan takut juga.
Regan mau bertanggung jawab?
Apa ia tidak salah dengar?
lebih milih orang lain dari pada anak keluarga nya