Menikah Dengan Berandalan
PROLOG....
Hidup tidak selalu adil bagi semua orang.
Ada yang selalu merasakan kesenangan, ada yang yang selalu berada di posisi menyedihkan. Ada yang sudah tidak memerlukan apapun selain oksigen di hidupnya, ada yang bahkan untuk bernapas pun rasanya tidak ada.
Seperti hidup Naura yang jauh dari kata sempurna, meski masih bisa tenang untuk bernapas setiap harinya.
Malam itu... Naura tengah berada dalam perjalanan pulang, perjalanan yang cukup panjang dari kampus sampai ke kosannya. Sebenarnya jaraknya cukup dekat, jika ditempuh menggunakan kendaraan. Lain lagi jika jarak cukup dekat itu ditempuh hanya menggunakan dua kaki yang bahkan sudah lelah berjalan seharian ini.
Bukannya tidak ada uang untuk membayar layanan taksi ataupun ojek online, hanya saja Naura memang sengaja memilih untuk berjalan kaki saja malam ini. Dengan alasan malas memesan taksi ataupun ojek online, juga ia yang membutuhkan wajtu tenang seperti berjalan kaki sendirian, malam-malam, di atas trotoar. Naura nekat melakukannya.
Tanpa memikirkan resiko yang akan ia dapat jika saja nasib buruk telah mengikutinya.
Pertengahan jalan, Naura sedikit menambah kecepatan langkah kakinya ketika ia merasa bahwa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.
Keadaan jalan yang sepi juga pohon-pohon rindang di tepi jalan membuat perasaannya semakin takut, terlebih dengan langkah kaki yang terdengar dari belakang itu semakin jelas di telinganya.
Oh Tuhan... jika beberapa saat setelah ini Naura sudah hanya tinggal nama, tolong berikan keluarganya rezeki yang melimpah agar ia bisa mati dengan tenang.
Semakin mempercepat langkahnya, Naura tidak berani untuk menoleh ke belakang. Dengan mengandalkan sisa tenaga yang ada, ia benar-benar berusaha menyelamatkan dirinya saat itu juga.
Hingga lelah.
Hingga kakinya mulai berlari kencang.
Hingga jalanan semakin sepi.
Hingga ia malah menemukan rumah kosong tak terurus di tepi jalan.
Hingga ia mendengar gelak tawa seorang laki-laki di belakang.
Hingga Naura tidak memikirkan apa pun selain memikirkan bagaimana caranya ia bisa pulang dengan selamat tanpa ada yang kurang.
Napasnya terengah, semakin lelah melangkah. Wajahnya sudah memerah, bahkan bibirnya sudah memucat.
Naura terus berharap, sehingga pada akhirnya gadis itu menyerah dengan pasrah ketika lengannya di tarik dan ia yang tidak menyadari apa yang terjadi selanjutnya.
Semoga, apa yang ia pinta kepada Tuhan, dikabulkan. Karena setelah ini, Naura tidak yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Bab 1 | MIMPI BURUK
"Lepas!" cengkraman di lengannya sangat kuat hingga Naura tidak mampu melarikan diri.
Seorang laki-laki yang penampilannya seperti preman, menahan lengannya dengan sangat kuat, menariknya memasuki rumah kosong dengan senyum menyeramkan yang terbit dari sudut bibir laki-laki yang entah siapa namanya itu. "Lo nggak akan bisa lepas dari gue," ujarnya.
Naura menggelengkan kepalanya cepat. "Gue nggak kenal siapa lo, tolong lepasin gue!"
Namun apa daya, ia tidak bisa melakukan pembelaan selain berteriak meminta tolong. Lengan kekar itu terlalu bertenaga bagi Naura yang bahkan untuk berteriak pun rasanya sudah lelah.
"Jangan pura-pura tidak kenal, sayang, mari kita akhiri semua masalah kita di sini," balas laki-laki itu lagi, yang mana nada bicaranya semakin terdengar mengerikan di telinga Naura.
Beberapa saat yang lalu, Naura sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi kepadanya sekarang. Namun saat ini, ia masih ingin menyelamatkan dirinya, masih ingin lari, masih ingin lepas dari laki-laki jahat itu.
Mendengar kata-katanya, Naura sedikit mengerutkan kening karena merasa heran. Laki-laki itu terlihat seperti tengah berbicara dengan orang dikenalnya, namun demi apa pun, Naura benar-benar tidak mengenalnya. Sedikitpun. Bahkan, ini baru pertama kali dalam hidup Naura, bertemu laki-laki seusianya, yang memiliki wajah lumayan namun berpenampilan urak-urakan. Bahkan tubuhnya dipenuhi dengan gambar-gambar yang entah apa maksudnya.
Lalu, kenapa dia memanggilnya dengan sebutan sayang?
Apa maksud dari kata 'mari kita akhiri masalah kita di sini?'
Selain ketakutan, Naura juga merasa kebingungan.
"Tolong, lepasin gue, gue nggak kenal siapa lo, dan gue nggak ada masalah sama lo," ucapnya lirih. Berteriak sekuat tenaga pun, sepertinya tidak akan meluluhkan laki-laki itu. Suara Naura memelan, bersamaan dengan air mata yang mulai jatuh dari pelupuk matanya.
"Udah gue bilang, jangan pura-pura nggak kenal." Laki-laki itu menggeram, nada bicaranya terdengar penuh kesal.
"Tapi gue emang nggak kenal sama lo!" Naura masih berusaha menjawab, meski sekujur tubuhnya sudah bergetar hebat.
Tidak ada balasan lagi di sana. Laki-laki itu semakin mengeratkan cengkramannya. Hingga sampai di suatu ruangan, ruangan di mana terlihat sangat berantakan, ruangan yang isinya hanya ada kasur yang sudah tak terpakai, juga jendela yang sudah hancur bagian kacanya.
Tuhan apa yang akan terjadi setelah ini?
"Gue mohon, tolong lepasin gue...." Naura terisak, dengan tatapan mata penuh mohon, menyorot mata laki-laki yang menatapnya dengan tajam itu.
Sampai sudut bibir Naura terangkat, ketika laki-laki itu melepaskan cengkramannya. Ia tidak tahu apakah laki-laki itu sudah menyadari kesalahannya, atau sudah sadar bahwa Naura bukan orang yang dikenalnya, atau mungkin karena kasihan melihatnya. Yang pasti, Naura benar-benar bersyukur karena apa yang membuatnya memohon sedari tadi, sudah ia dapatkan.
Laki-laki itu melepaskannya.
Naura sedikit merasa aman.
Dia menyunggingkan senyumnya dengan kaki yang perlahan mulai melangkah mundur.
Sampai tubuhnya kembali terkejut karena hentakan yang begitu tiba-tiba.
Sepertinya Naura salah paham.
Dan laki-laki itu mendorong tubuhnya dengan keras, hingga punggungnya menyentuh kasur, hingga ia meringis kesakitan, hingga ketakutannya semakin meningkat, hingga ia tidak tahu apa lagi yang harus ia jelaskan selain perasaannya yang benar-benar takut.
Tubuhnya semakin bergetar, apalagi ketika melihat laki-laki itu mendekatinya, dengan senyum penuh arti, dan dengan tangan yang mulai mengangkat kaus oblongnya.
"Nggak! Jangan... tolong jangan... NGGAK!!!"
Naura terperanjat. Napasnya terengah-engah. Tubuhnya dibasahi oleh keringat, juga air mata yang mulai mengalir dari pelupuk matanya.
Mimpi buruk itu... datang lagi.
Bayangan kejadian itu... menghantuinya lagi.
Naura menangis, terisak sembari meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, ia akan melakukan hal itu sampai tubuhnya sedikit tenang, sampai ia dipaksa oleh waktu untuk segera berangkat pergi ke kampusnya.
Setelah kejadian mengerikan itu, setelah kemalangan yang menimpa hidupnya, setelah ia diperkosa sampai dihantui ketakutan di setiap malamnya, Naura... tetap nekat untuk melanjutkan hidupnya. Melanjutkan hidupnya yang sudah hancur, melanjutkan kuliahnya, menjaga tubuhnya yang bahkan sudah tak berharga, dan dengan penuh percaya dirinya, Naura nekat untuk tetap melanjutkan mimpi-mimpinya.
Meski semangat itu sudah lenyap, meski harapan itu kian menyurut, meski sudah tak beralasan, Naura tetap ingin melanjutkannya. Demi dirinya sendiri, demi Ibunya yang jauh di kampung halamannya.
Naura tidak tahu apa yang akan terjadi dalam hidupnya, yang sekarang ia lakukan hanyalah berjalan di atas putusnya sebuah harapan. Sempat ingin mengakhiri hidupnya, tetapi gagal karena sebuah telepon dari ibu tercintanya. Naura berpikir, mungkin itu sebuah pertanda bahwa selain dirinya sendiri, ia juga harus kuat demi ibunya.
Karena semenyedihkan apa pun, seberat apa pun masalah yang ia pikul, sehancur apa pun hidupnya yang sekarang, kehidupan harus tetap berjalan, bukan?
"Hari ini muka lo pucet banget, Ra."
"Iya, gue lagi nggak enak badan."
"Mau ke rumah sakit? Biar gue anterin."
Spontan, Naura menggelengkan kepalanya cepat, pertanda bahwa ia menolak tawaran dari sahabatnya itu. "Nggak usah, gue nggak separah itu buat pergi ke rumah sakit," tolaknya.
Seorang perempuan bernama lengkap Melody Cinta, menghela napas karena Naura- sahabatnya, sangat keras kepala. "Pergi ke rumah sakit nggak harus nunggu parah dulu kali, Ra. Mumpung masih belum parah, harus cepet-cepet diobatin," ucapnya.
"Nggak usah, gue nggak kenapa-napa, besok juga sembuh."
"Terserah, Ra, lo emang keras kepala.'
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan, menyusuri koridor kampus menuju pintu keluar. Setelah selesai dengan urusan kuliah, keduanya sama-sama akan langsung pulang ke rumah masing-masing. Ah tidak, lebih tepatnya hanya Melody, karena Naura harus pergi kerja paruh waktu setelah ini.
Sebenarnya, tidak ada alasan lain mengapa Naura tidak mau pergi ke rumah sakit, selain takut biayanya mahal, ia juga takut akan sesuatu yang sudah menghantui mimpinya beberapa hari terakhir ini. Mimpi yang mungkin saja akan terjadi, dengan kemungkinan-kemungkinan dan juga alasan yang sudah sangat kuat. Mimpi yang selalu membuatnya menangis di pagi hari, dan menjadi alasan kenapa ia sering berlama-lama di kamar mandi.
Naura selalu memimpikan hal menakutkan lain, selain mimpi buruk mengenai kejadian itu.
Bagi sebagian orang, mungkin mimpi itu membahagiakan, tetapi bagi Naura, mimpi itu menjadi mimpi buruk yang selalu menjadi gangguan dalam tidur singkatnya.
setiap hari ia selalu berdoa, memohon kepada Tuhan agar apa yang ia takutkan dalam mimpi itu, tidak benar-benar terjadi dalam hidupnya. Seperti melawan takdir, namun ia benar-benar belum siap untuk itu.
"Ra, gue duluan, ya? Paksu udah jemput."
Naura mengangguk seraya tersenyum. "Iya, hati-hati, ya, Mel."
Bersamaan dengan Melody yang mulai menjauh darinya, senyum di bibir kecil Naura mulai luntur seketika. Bukan, tolong jangan salah paham, itu bukan senyum palsu yang menandakan bahwa ia tidak menyukai Melody, sahabatnya sendiri. Itu tidak benar.
Alasan kenapa bisa luntur seketika, karena Naura yang kembali mengingat masalahnya. Kembali meratapi hidupnya yang jauh berbeda dengan hidup Melody.
Dia perempuan yang beruntung, sedangkan Naura sebaliknya. Melody mempunyai hidup yang sempurna, berbeda dengan hidupnya yang serba kekurangan. Dia sahabatnya sejak SMA, gadis judes namun baik hati yang sudah menikah sejak SMA. Iya, Melody sudah menikah, bahkan ketika dia masih SMA dan masih berumur sembilan belas tahun. Kepergian ayahnya membuat Melody harus menerima kenyataan bahwa dia dijodohkan dengan gurunya sendiri.
Itu terdengar mengerikan awalnya, namun ketika melihat bagaimana kehidupan Melody sekarang, rasanya Naura juga ingin berada dalam
posisi yang sama.
Selain kenyataan bahwa dia sahabatnya sejak SMA, Melody juga orang yang sering membantunya dalam keadaan apa pun. Seperti ia yang butuh bantuan biaya, Melody selalu membantunya. Bahkan tidak jarang Melody menolak keras ketika ia akan mengembalikan uangnya. Dia dan suaminya juga sering memberikan tumpangan ketika pulang kuliah, atau dalam urusan lain.
Iya, Melody, suaminya, bahkan keluarga mereka, memang sebaik itu kepada Naura. Terkadang, Naura merasa sungkan dan tak enak hati akibat mereka yang terlalu baik kepadanya.
Setelah diam beberapa saat, Naura kembali melangkahkan kakinya. Menapaki trotoar, menyusuri jalan untuk menuju kontrakan petaknya, lalu setelah itu ia akan pergi ke Toko Kue tempatnya bekerja. Jangan tanya, mengapa ia tidak ikut pulang bersama Melody dan suaminya saja, itu karena Naura yang sudah terlalu sering menumpang hingga ia sedikit sungkan untuk kembali melakukannya. Meskipun Melody sudah memaksa, Naura selalu mencari alasan yang kuat untuk menolaknya.
Jarak kampus ke kontrakannya tidak terlalu jauh, juga tidak begitu dekat. Akan terasa dekat jika naik kendaraan, dan akan sebaliknya jika hanya ditempuh dengan langkah kaki saja. Naura sudah biasa melakukannya, bahkan ketika sesuatu terjadi dan membuatnya trauma sekalipun, ia tetap melakukannya.
Setelah berjalan beberapa menit, Naura tidak sengaja memergoki orang yang tengah memperhatikannya. Seorang laki-laki yang tengah berdiri di ujung sana, yang entah siapa namanya. Naura tidak mengenalnya, juga tak pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelumnya.
Bukan hanya sekali dua kali, kemarin, semalam, dan beberapa hari terakhir ini Naura sering melihatnya. Entah di depan kampus, entah di ujung jalan dekat kontrakannya, entah di depan tempat kerjanya, yang pasti, laki-laki itu selalu memerhatikannya dari kejauhan.
Naura sudah mengingat-ngingat, barangkali ia mengenalnya atau mungkin mereka pernah bertemu di mana saja dan kapan saja, namun sekuat ia mengingatnya, Naura tetap tidak menemukan alasan bahwa ia mengenali laki-laki itu.
Kehadirannya memang tidak mengganggu, namun terkadang Naura merasa was-was dan takut. Takut kalau ternyata orang itu orang jahat, dan takut kejadian yang membuatnya trauma beberapa waktu yang lalu, kembali terulang.
Sempat kepikiran akan menghampirinya dan bertanya kenapa dia selalu memperhatikannya dari kejauhan, namun Naura tidak memiliki keberanias sebesar itu.
Lalu, sebenarnya siapa dia?
Kenapa dia melakukan hal yang sama beberapa hari terakhir ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments