Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1
"La sudah pasang sabuk pengaman? Perjalanan kita masih jauh loh."
Sambil melirik ke belakang dari kaca spion. Suara laki-laki itu terdengar hangat. Tapi putrinya Alana meilan wijaya, yang akrab di panggil La itu tetap saja tidak bersemangat.
"Aku ingin merayakan ulang tahunku yang ke sembilan ini bareng temen-temen yah... bukan liburan keluarga yang mbosenin kayak gini!" tak ingin melirik ke ayahnya la memilih menengok ke luar mobil.
"Yah.. Anak ayah kenapa mengkerut gitu mukanya? Jelek lho.. Ya udah, kalau gitu tahun depan kita berpesta dengan mengundang semua teman Lana deh.. Sekarang liburan keluarga dulu ya? Gimana?"
Mulut La tetep mengerucut, masih merasa kesal. Walau sekarang dengan enggan dia mulai memasang sabuk pengamannya.
"Nah gitu kan aman to ndok."
Di tengah percakapan itu. Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik pak Surya Rangga Wijaya ayahnya La.
"Sayang, ada telepon," Bu Indri menyerahkan ponsel di dasbord mobil pada suaminya.
"Halo?"
📞. Dasar berengsek! Nggak tau diuntung. Apa pada akhirnya kamu harus begini? Temui aku sekarang!
Suara makian yang begitu tajam dan penuh amarah. La memperhatikan bagaimana ekspresinya ayahnya berubah dari tenang menjadi tegang.
"Masalah itu kan sudah berakhir. Aku nggak mau bahas itu lagi. Aku lagi di jalan, ada anakku tolong jangan bicara kasar." Ucap pak Surya berusaha tenang.
📞. Apa?! oke aku salah. Jadi tolong... bisakah kamu tutup mata sekali ini saja?"
Tak lagi memperdulikan amarah Sang penelfon pak Surya menutup sambungan komunikasi itu, lalu kembali menoleh ke arah putrinya kesayangannya.
"La, pokoknya saat ulang tahunmu tahun depan lakukan apa yang kamu inginkan, ya? Selagi ayah mu ini sanggup pasti ayah kabulkan!" suaranya terdengar mantap.
Mendengar janji itu membuat mood Lana yang tadi anjlok karena tak jadi ulang tahun bareng temannya seketika naik kembali.
" waah...beneran!! Berarti aku boleh ngundang lima temanku, kan yah?!"
"Tentu saja dong!! Apa sih yang enggak buat anak ayah? Ucapnya bangga. Bu Indri hanya terkekeh mendengar suaminya yang bucin pada anaknya.
“Hihi, senangnya! Berarti aku juga harus memikirkan kado yang ingin aku dapatkan.” gumam Lana.
"Haha, iya... Kamu tinggal bilang aja, Ayah akan membelikan semuanya untuk anak ayah yang cantik ini," ujarnya ayahnya gemas.
Trilililit...
Dering ponsel kembali memecah suasana. "Sayang, handphonemu berdering lagi," Ibu berkata dengan cemas. Ayah menghela napas dan mengangkat teleponnya lagi.
Di saat sedang fokus dengan telfonnya.
Tin... tin... tiiiiin!
Suara klakson mendadak membahana, diiringi deru kendaraan yang melaju terlalu cepat. Membuat jantung lana seolah berhenti berdetak, semua terjadi begitu cepat.
Braaaak! Braaaak! Cess...
Suara benturan keras mengguncang mobil mereka. Dunia di sekelilingnya berputar, kaca jendela pecah berserakan, tubuh Lana terasa seperti dilempar ke segala arah. Jeritan Ibunya memenuhi udara, dan pandangan matanya menjadi kabur. Lana merasakan sakit yang menusuk di seluruh tubuhnya.
Di tengah rasa bingung dan panik, ia mendengar suara orang-orang di luar mobil. Kerumunan orang mulai berkumpul, tapi pandangannya terlalu kabur untuk melihat siapa mereka. Lana hanya bisa mendengar suara gemuruh dan langkah kaki yang mendekat.
Salah satu dari mereka, seorang remaja berseragam sekolah, berlari ke arah mobil yang sudah ringsek, tampaknya ia sedang menelfon bantuan.
"Ini 118, kan?! Ada kecelakaan! Ini sangat darurat!" Serunya penuh kepanikan, sama seperti perasaan Lana saat itu.
Lana samar samar mendengar suara Ayahnya yang lemah dari depan.
"A... ada... anak saya... di belakang. To... tolong... selamatkan... anak kami..." rintih ayahnya.
Suaranya terdengar begitu putus asa, hingga air matanya mulai mengalir di pipi. Lana tidak bisa melihat wajah Ayahnya, tetapi ia tahu ayahnya terluka parah.
Ngiung... ngiung... ngiung...
Suara sirene ambulans mulai terdengar semakin dekat. Petugas medis berlarian, berusaha menyelamatkan Ayah dan Ibunya yang tak lagi bergerak. Lana mencoba memanggil mereka, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. “Ibu…! Ayah…!” panggil Lana, tetapi tidak ada satupun yang menyahutnya.
Lana merasa tubuhnya mulai lemah, dunia sekelilingnya semakin kabur. Namun, di tengah kegelapan itu, Lana melihat bayangan samar seorang laki-laki mendekat. lelaki itu meraih tubuhnya dengan hati-hati, membawa keluar dari reruntuhan mobil.
Di tengah rasa sakit itu, suara lain tiba-tiba terdengar. Suara yang sangat Lana kenal memanggil namanya.
"Lana... Lana... Oh, Alana. Bangun, Lana! Teriak suara itu.
Eunghh..
Alana melenguh, perlahan ia membuka matanya dan merasakan pipinya yang terasa basah. Saat matanya terbuka lebar ia begitu terkejut melihat Zayn yang panik menatapnya. dengan segera ia mengelap airmata yang jadi sumber kekhawatiran Zayn. lalu menoleh ke arah jendela yang kini perlahan mulai terang oleh sinar matahari pagi.
“Oh, sudah pagi...Tapi kenapa aku nggak dengar suara alarm, ya?” gumamnya dengan suara serak.
Alana melihat jam di ponselnya. Sudah jauh lebih pagi daripada yang dia perkirakan. Biasanya, Ia akan terbangun begitu alaram berbunyi dengan keras, tapi entah mengapa hari ini semuanya terasa berbeda.
Alana mengumpulkan tenaganya untuk bangkit dari tempat tidur. Ia mengerjapkan matanya yang masih berat mengamati kamar yang dia gunakan saat ini, masih terasa asing, ia masih belum terbiasa walau 9 tahun sudah berlalu.
Alana memang tinggal di rumah Zayn semenjak tragedi yang menimpa keluarganya. Beberapa tahun yang lalu, ketika Alana berusia sembilan tahun, ia dan kedua orang tuanya terlibat dalam sebuah kecelakaan tragis. Meskipun Alana selamat, kedua orang tuanya meninggal di tempat. Kehilangan yang mendalam membuat Alana merasa seolah setengah dari dirinya hilang. Tanpa sanak saudara yang bisa diandalkan, Alana terpaksa mencari tempat aman di dunia yang begitu menakutkan baginya.
Setelah mendengar kabar duka tersebut, Pak Budi, rekan kerja ayah Alana, segera menawarkan bantuan kepada Alana. Dia menyarankan agar Alana tinggal bersama keluarganya untuk sementara waktu. Meskipun awalnya berat untuk beradaptasi, Alana tahu dia tak punya pilihan lain. Tinggal sendirian di dunia ini terlalu menakutkan bagi anak kecil sepertinya. kini Zayn adalah satu-satunya tempatnya bergantung.
“Cepat siap-siap, terus turun sarapan, ya.” Zayn tersenyum sebelum menutup pintu kamar Alana dengan lembut. Walaupun Zayn selalu berusaha membuat suasana lebih ceria, ada hal-hal di rumah ini yang tak bisa sepenuhnya dihindari.
Alana bangkit dari tempat tidurnya, masih merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sejak dia terbangun. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali terbayang di pikirannya. Alana merasa dadanya berat, seolah ada beban yang terus menghimpitnya. Namun, dia berusaha mengabaikannya dan bergegas bersiap untuk sekolah.
Setelah selesai berpakaian, Alana menuruni tangga dengan perlahan. Di ruang makan, suasana seperti biasanya. Bu Sari, ibu Zayn, sudah duduk di meja makan, dengan wajah dingin yang selalu tampak sama setiap pagi. Senyumnya jarang sekali terlihat di rumah ini, terutama untuk Alana.
"Lana, bisa tolong siapin sendok sama piring?" perintah Bu Sari tanpa mengalihkan pandangannya dari meja makan.
Alana mengangguk patuh, meskipun di dalam hatinya dia merasa sedikit cemas. Sejak awal tinggal di rumah ini, Alana selalu merasakan jarak yang besar antara dirinya dan Bu Sari. Meski keluarga Zayn telah menerimanya, perhatian yang diberikan padanya terasa berbeda dari yang diterima Zayn.
Dia segera menuju dapur, mengambil peralatan makan yang diminta. Di tengah kesibukannya, pikirannya melayang ke kenangan masa kecilnya bersama kedua orang tuanya. Dulu, sarapan adalah momen hangat di rumah mereka—penuh dengan tawa dan canda. Ia selalu merindukan masa itu namun, semua itu kini terasa seperti mimpi yang jauh.
Ketika Alana kembali ke ruang makan, Zayn sudah duduk di meja, disambut dengan senyum hangat dari Bu Sari.
“Zayn, sayang, kamu sudah siap ke sekolah, nak? Ibu bangga sama nilai rapormu yang hebat kemarin.” ucapnya.
Alana hanya bisa menunduk, berusaha menyelesaikan tugasnya tanpa membuat masalah. Dia mengatur piring di meja dan hendak mengambil lauk. Namun, ketika ia mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tangan Pak Budi, yang sedang memegang sendok yang sama.
Deg.
Sentuhan itu membuat Alana kaku seketika. Ada sesuatu yang aneh dalam sentuhan itu, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Tangannya langsung terlepas, seperti tersengat listrik, sementara jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia melirik ke arah Pak Budi, yang menatapnya dengan senyum tipis kearahnya.
Alana buru-buru menundukkan kepala berusaha menghindar, namun kini ia merasakan tatapan Bu Sari yang kian menusuk, terasa lebih dingin dari sebelumnya. Jari-jarinya gemetar, menggenggam sendok erat-erat hingga terasa sakit, seolah sendok itu satu-satunya penopang ketenangannya.
“Lana, lauknya mana?” teguran Bu Sari terdengar tajam dan penuh kecurigaan. “Cepat sedikit, jangan lambat.”
Alana tertegun sejenak, kemudian cepat-cepat mengambil lauk yang diminta.
“I-iya, Bu,” lirih Alana, suaranya sedikit bergetar.
Ketika dia kembali dengan piring lauk di tangan, pikirannya teralihkan pada sesuatu yang lain—rapor sekolahnya. Rasa khawatir mulai menyusup dalam hatinya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alana mengeluarkan rapornya dari tas dan mendekati Bu Sari.
“Bibi… bisa tanda tangan raporku ju...” kalimatnya terhenti di tengah-tengah. Dia tiba-tiba menyadari kesalahan besar yang baru saja ia ucapkan dengan segera ia menutup mulutnya dengan tangan.
Mata Bu Sari mendadak melirik tajam ke arahnya, ekspresinya semakin sinis. “Panggil aku Ibu,” katanya tegas.
Alana menunduk dalam-dalam, merasa bersalah dan canggung.
“I-iya, Bu... maaf,” ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Zayn yang duduk di seberang mereka memperhatikan dengan gelisah. “Ma, Lana kan cuma salah sebut. Kok mesti dimarahin sih?” protes Zayn, mencoba membela Alana.
"Za," Panggilnya pelan, ia buru-buru melirik dengan ekspresi memohon agar zayn tidak memperpanjang masalah, dan berusaha tersenyum meskipun hatinya masih diliputi ketakutan.
Namun, Zayn tidak bisa tinggal diam melihat Alana diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia berdiri, menarik tangan Alana dengan lembut.
“Ayo, kita telat nanti,” katanya dengan nada yang lebih tegas.
Mereka berdua berjalan keluar dari rumah, dengan udara pagi yang sejuk sedikit membantu meredakan ketegangan yang melingkupi hati Alana. Langkah Zayn santai, namun Alana bisa merasakan kemarahan yang tersimpan di dalam dirinya. Dia tahu, Zayn selalu mencoba melindunginya dari apapun, tapi kadang-kadang Alana merasa hal itu justru membuatnya lebih cemas.
Beberapa langkah kemudian, Alana memutuskan untuk membuka pembicaraan.
“Za, tadi aku ngigau nggak sih waktu tidur? Aku mimpi sangat buruk…" ucapnya sambil menatap ke tanah, masih teringat dengan jelas kejadian dalam mimpinya.
Zayn menoleh sejenak, ragu-ragu sebelum menjawab. “Nggak kok,” katanya singkat.
Padahal, Zayn mendengar Alana berteriak dalam tidurnya, memanggil nama ayah dan ibunya dengan suara yang penuh keputusasaan. Tapi dia tak ingin membuat Alana semakin cemas. jadi ia lebih memilih memberikan kesaksian palsu daripada harus melihat wajah menderita Alana.
Zayn memperhatikan Alana yang sesekali memijat pelan tangannya, tanda-tanda bahwa dia merasa tidak nyaman. Wajah Zayn berubah khawatir.
“Tanganmu sakit? Gara-gara tadi ya?” tanyanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
Alana mengangguk pelan, mencoba mengabaikan rasa nyeri di tangannya. Tapi Zayn, dengan hati-hati, mulai memijat tangan Alana. Gerakannya terlihat kaku, tapi sentuhannya penuh perhatian.
Alana terdiam, merasakan kehangatan dari pijatan Zayn. Ketika pijatan itu berhenti, Alana tersenyum lembut. Dia mengusap kepala Zayn dengan sayang.
“Makasih, Za. Kamu memang selalu peduli sama aku,” ucapnya lirih.
Wajah Zayn langsung memerah. Merasakan debaran jantungnya yang semakin berpacu. Dengan segera dia melepaskan tangan Alana dan mempercepat langkahnya ke depan.
“Udah, jangan lebay,” katanya cepat, meskipun ada senyum kecil yang berusaha dia tahan.
Alana hanya bisa tertawa kecil, melihat punggung Zayn yang semakin jauh di depannya. Di balik sikap dingin dan cueknya, Alana tahu Zayn selalu ada untuknya, menjadi satu-satunya tempat dia merasa aman di dunia ini.
Sesampainya di kelas, Alana mencoba menjalani aktivitas sehari-hari sebagai siswa seperti biasa. Ia duduk di bangkunya, membuka buku pelajaran, dan berusaha fokus, meskipun sebagian besar materi yang disampaikan seolah hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Meski begitu, ia tetap berusaha fokus dan semangat. Berbeda dengan Zayn, yang duduk di sebelahnya, ia tampak tidur nyenyak seperti biasa. Meski sering tertidur di kelas, entah bagaimana, Zayn selalu berhasil mendapatkan nilai yang baik.