Dimas, seorang Mahasiswa miskin yang kuliah di kota semi modern secara tidak sengaja terpilih oleh sistem game penghasil uang. sejak saat itu Dimas mulai mendapat misi harian
misi khusus
misi kejutan
yang memberikan Dimas reward uang IDR yang melimpah saat misi terselesaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slamet sahid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Astrid Problem (bag 2)
Langit cerah pagi itu tidak sebanding dengan kekhawatiran yang menyelimuti hati Dimas, atau yang lebih akrab disapa Dim-dim oleh teman-temannya. Sepanjang perjalanan menuju biro konseling mahasiswa, Dim-dim mencoba menenangkan Astrid yang tampak gelisah.
Mereka berdua berjalan beriringan melewati pepohonan kampus yang rindang, menuju gedung berlantai tiga tempat biro konseling berada.
"Kamu yakin ini keputusan yang tepat?" tanya Dim-dim lembut, mencoba memberi semangat.Astrid, dengan wajah yang masih tampak pucat, mengangguk pelan.
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Mas. Ini satu-satunya cara yang terpikirkan agar aku bisa mendapatkan bantuan."
Dimas menatap sahabatnya dengan penuh empati. Astrid, yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini tampak seperti bayangan dirinya sendiri.
Keputusan orang tua Astrid untuk memaksanya pulang dan menikah dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui benar-benar menghancurkan semangatnya. Dimas berharap, dengan bantuan dari biro konseling mahasiswa, mereka bisa menemukan jalan keluar dari situasi sulit ini.
Ketika mereka sampai di depan pintu biro konseling, Dimas mengetuk pelan sebelum membuka pintu. Mereka disambut oleh senyuman hangat seorang konselor wanita yang duduk di balik meja resepsionis.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanya konselor tersebut dengan ramah.
"Selamat pagi Bu," balas Dimas.
"Kami punya janji dengan Bu Rina pukul 10 pagi.
"Konselor itu melihat jadwal di komputernya dan mengangguk. "Silakan tunggu sebentar, saya akan memberitahu Bu Rina kalau kalian sudah datang.
"Setelah beberapa menit menunggu di ruang tunggu yang nyaman, seorang wanita paruh baya dengan senyum lembut keluar dari salah satu ruangan.
"Dimas dan Astrid ya? Mari silahkan masuk." Mereka mengikuti Bu Rina masuk ke ruang konseling yang hangat dan bersahabat. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan pemandangan yang menenangkan, dan ada beberapa pot tanaman yang diletakkan di sudut ruangan.
Bu Rina mempersilakan mereka duduk di sofa yang empuk, lalu duduk di kursi di hadapan mereka.
"Apa yang bisa saya bantu, Astrid?" tanya Bu Rina dengan nada suara yang penuh perhatian. Astrid menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita.
" Begini Bu, saya sedang dalam masalah besar. Orang tua saya memaksa saya pulang ke kampung halaman untuk menikah dengan seseorang yang tidak saya kenal. Saya merasa terjebak dan tidak tahu harus bagaimana."
Bu Rina mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kamu sudah mencoba berbicara dengan orang tuamu tentang perasaanmu?"
"Sudah, Bu," jawab Astrid dengan suara gemetar.
"Tapi mereka tidak mau mendengar. Mereka bilang ini demi kebaikan saya, dan saya harus menurut."
Dimas yang duduk di sebelah Astrid merasakan kesedihan yang mendalam pada sahabatnya. Ia tahu betapa pentingnya pendidikan dan kebebasan bagi Astrid.
"Bu Rina, Astrid sangat ingin melanjutkan kuliahnya di sini. Dia punya cita-cita besar dan ingin meraih impiannya."
Bu Rina mengangguk lagi.
"Astrid, apa yang paling kamu takutkan jika kamu menolak keinginan orang tuamu?"
"Saya takut mereka akan memutus hubungan dengan saya," kata Astrid pelan, air mata mulai menggenang di matanya.
"Saya tidak ingin kehilangan keluarga saya, tapi saya juga tidak ingin hidup dengan seseorang yang tidak saya cintai."
Bu Rina menatap Astrid dengan penuh empati.
"Saya mengerti perasaanmu, Astrid. Ini situasi yang sangat sulit. Kita perlu mencari cara untuk berkomunikasi dengan orang tuamu agar mereka bisa memahami persoalan ini dari sudut pandangmu."
Bu Rina membuka catatannya dan menuliskan beberapa hal.
"Ada beberapa langkah yang bisa kita coba. Pertama, kita perlu mencari tahu lebih banyak tentang latar belakang keputusan orang tuamu. Apa alasan utama mereka ingin kamu menikah dengan pria ini?"Astrid menyeka air matanya dan mencoba menjawab.
"Mereka bilang pria itu berasal dari keluarga terpandang di kampung kami dan bisa menjamin masa depan saya. Mereka khawatir saya tidak akan menemukan suami yang baik jika saya terus tinggal di kota besar dan fokus pada pendidikan."
Bu Rina mengangguk. "Ini tampaknya lebih pada kekhawatiran mereka tentang masa depanmu dan pandangan mereka tentang apa yang terbaik untukmu.
Kita perlu menemukan cara untuk meyakinkan mereka bahwa kamu bisa sukses dan bahagia tanpa harus mengikuti rencana mereka."Dimas menambahkan, "Astrid adalah mahasiswi yang cerdas dan berbakat, Bu. Dia punya potensi besar di bidangnya. Saya yakin dia bisa meraih kesuksesan jika diberi kesempatan.
"Bu Rina tersenyum pada Dimas, menghargai dukungannya. "Dimas benar, Astrid. Kamu memang punya potensi besar. Kita perlu menyampaikan hal itu kepada orang tuamu. Kita bisa memulai dengan menulis chat yang menjelaskan perasaan dan rencanamu. Kadang-kadang, menulis bisa membantu menyampaikan pikiran kita dengan lebih jelas dan terstruktur."
Astrid mengangguk setuju. "Baik, Bu. Saya akan mencoba menulis chat itu.
"Bu Rina melanjutkan, "Kedua, kita bisa mencoba mediasi. Saya bisa membantu mengatur pertemuan antara kamu dan orang tuamu bilamana memungkinkan, di mana kita bisa berdiskusi secara terbuka tentang situasi ini. Mungkin dengan cara ini, mereka bisa lebih memahami sudut pandangmu."
Astrid tampak lebih tenang dengan saran-saran tersebut. "Terima kasih, Bu. Saya akan mencoba menulis chat kepada Ayah dan Ibu,selanjutnya melihat bagaimana reaksi Mereka. Jika perlu, saya siap untuk mediasi."
Bu Rina tersenyum. "Bagus sekali. Ingat, ini adalah proses. Kamu harus sabar dan tegas dalam menyampaikan apa yang kamu inginkan. Kita akan mendukungmu sepanjang jalan."
Setelah sesi konseling selesai, Dimas dan Astrid berjalan keluar dari gedung dengan perasaan yang lebih lega. Astrid merasa ada harapan baru di depan mata, dan Das merasa senang bisa mendampingi sahabatnya melalui masa sulit ini."Aku senang kita datang ke sini, Mas," kata Astrid, menghapus sisa-sisa air mata dari pipinya. "Terima kasih sudah mendukungku."Dimas tersenyum hangat. "Kamu tidak sendirian, Astrid. Kita akan melalui ini bersama. Kamu punya hak untuk menentukan jalan hidupmu sendiri."Malam itu, di kamar kosnya, Astrid mulai menulis surat melalui chat whatsapp untuk kedua orang tuanya. Ia menuangkan segala perasaan dan pemikirannya dengan hati-hati. Dimas duduk di sebelah meja belajarnya, memberi dukungan moral dan sesekali memberikan saran."Jelaskan kenapa pendidikan itu penting buat kamu," kata Dimas sambil menatap layar laptop Astrid. "Dan jangan lupa, sampaikan kalau kamu tetap mencintai dan menghormati mereka."Astrid mengangguk dan terus menulis. Ia menulis tentang mimpinya menjadi seorang profesional di bidangnya, tentang betapa pentingnya pendidikan bagi masa depannya, dan bagaimana ia ingin membuat orang tuanya bangga dengan cara yang berbeda. Ia juga menulis tentang betapa ia mencintai mereka dan menghormati keinginan mereka, namun berharap mereka bisa memahami dan mendukung pilihannya.
Keesokan harinya, surat via whatsapp itu dikirimkan. Astrid merasa gugup menunggu balasan dari orang tuanya, tapi ia juga merasa lega karena telah menyuarakan isi hatinya.
Selama beberapa hari, Dimas dan Astrid terus berdiskusi dengan Bu Rina dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk sekalipun.Beberapa hari kemudian, Astrid menerima telepon dari ibunya.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon itu.
"Halo, Bu," sapa Astrid dengan suara pelan."Astrid, kami telah menerima suratmu dan akhirnya mengambil keputusan," kata ibunya.
"Kami ingin bicara denganmu lebih lanjut. Bisakah kita bertemu?"
Astrid merasakan harapan tumbuh di dalam hatinya. "Tentu, Bu. Kapan dan di mana kita bisa bertemu?" Ibunya menyebutkan tanggal dan tempat untuk pertemuan tersebut. Setelah telepon berakhir, Astrid menoleh ke Dimas dengan senyum penuh harapan.
"Mereka ingin bertemu dan bicara besok di sini," katanya dengan suara bergetar.
Dimas mengangguk dengan senyum lega. "Ini kesempatan bagus, Astrid. Kita akan melewatinya bersama."Pertemuan yang ditunggu-tunggu itu tiba. Astrid, Dimas, dan Bu Rina duduk bersama di ruang konseling menunggu kedatangan orang tua Astrid.
Ketika mereka tiba, suasana tegang namun penuh harapan menyelimuti ruangan.Bu Rina memulai pertemuan dengan lembut, memfasilitasi percakapan antara Astrid dan orang tuanya. Melalui diskusi yang panjang dan emosional, perlahan-lahan kekhawatiran orang tua Astrid mulai mereda. Mereka mulai melihat keteguhan hati dan tekad putri mereka.Akhirnya, setelah diskusi yang penuh empati dan pengertian, orang tua Astrid setuju untuk memberikan kesempatan pada putri mereka untuk menyelesaikan pendidikannya dan mengejar mimpinya. Mereka berjanji akan mendukungnya, asalkan Astrid tetap menjaga komunikasi dan memberi kabar secara teratur.
.