Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
"Jahat kamu, mas. Aku gak terima kamu ginikan, aku gak terima!" Teriak Munaroh di sela rasa perih di wajah dan tubuhnya. Bimo sudah menendang dan memukul wajah Munaroh. Perempuan bertubuh gemuk itu tersungkur dengan wajah kebam, darah keluar dari hidung dan sudut bibirnya. Bimo tak perduli, dia justru pergi meninggalkan Munaroh yang menangis histeris. Tidak ada satupun tetangga yang berani ikut campur, karena memang begitulah lingkungan orang di sekitar tempat tinggal Munaroh. Mereka semua pendatang dan tidak mau ikut campur dengan urusan satu sama lain.
"Sakit, sakit sekali. Aku akan balas kelakuan kamu padaku, Bim. Aku gak terima kamu sakiti seperti ini." Lirih Munaroh sambi terus menangis, Brio anak lelakinya yang mendengar teriakkan ibunya langsung pulang dan kakinya terpaku melihat sang ayah yang memukuli ibunya. Anak berusia lima tahun itu tak berani mendekat, dia hanya bisa bersembunyi di balik pintu. Setelah kepergian Bimo, Brio berlahan keluar dari tempatnya bersembunyi, menatap sedih pada ibunya yang histeris.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, semakin lama kelakuan mas Bimo semakin kasar. Mungkinkah dia punya perempuan lain, karena setahuku dulu mas Bimo juga selalu kasar dengan istrinya saat menjalin hubungan diam diam denganku." Munaroh terus menerawang dengan pikirannya sendiri, tak terasa bayangan masa lalu saat dia tertawa bahagia saat melihat Bimo kasar pada Laras demi membelanya. Hatinya tiba tiba sesak, kalimat demi kalimat yang Laras ucapkan untuknya mulai berkeliaran di otaknya.
"Sampai kapanpun aku gak ikhlas dengan perbuatan kalian, hari ini kalian baik baik saja seolah semesta mendukung perbuatan hina kalian. Tapi aku bersumpah demi harga diri dan juga segala kesakitan yang aku rasakan bersama anakku, hidupmu pasti akan hancur dan berlahan derita demi derita akan menghampiri hari harimu." Kalimat Laras masih terngiang jelas di kepala Munaroh. Dan kini seolah sumpah itu berlahan mulai berlaku untuk dirinya.
"Gak, gak mungkin. Aku tidak melakukan kesalahan apapun sama perempuan sombong itu. Mas Bimo sendiri yang lebih memilihku watu itu, dia di tinggal karena memang pantas untuk di tinggal. Sumpah itu tidak akan pernah terwujud, tidak akan." Gumam Munaroh yang merasakan semua tubuhnya bergetar. Tidak ada yang bisa di mintai tolong saat ini, karena kakaknya sedang pulang kampung dari dua hari yang lalu. Munaroh hanya bisa menangis dengan segala sumpah serapahnya.
Sedangkan Bimo, sudah berada di depan rumah kontrakan kakaknya. Berniat menjenguk keponakan kesayangannya. Dewi, keponakan yang selalu diperlakukan seperti putrinya sendiri. Bimo begitu memuja dan menyanjung anak kakaknya itu yang padahal hanya punya otak biasa saja dalam pendidikan akademik nya. Bahkan Dewi di usianya yang masih belia, sudah pintar pacaran dan tingkah nya juga sudah seperti orang dewasa, namun Bimo selalu menutup matanya dan selalu membenarkan semua sikap keponakan kesayangannya itu. Sedangkan pada Luna yang anak kandungnya justru sama sekali tak pernah perduli, dan selalu salah juga terlihat buruk di matanya. Padahal Luna anak yang baik, mandiri, dan juga lugu.
"Dewi sepertinya sudah ada dirumah dan tengah bersama temannya." Batin Bimo yang melihat ada sepatu juga motor terparkir di depan halaman kontrakan Iis. Dan benar saja, saat Bimo mau masuk ke dalam rumah, nampak remaja seusia Dewi tengah duduk santai di ruang tamu dengan menyulut rokok di tangannya.
"Temannya Dewi?" Sapa Bimo menatap lekat wajah remaja laki laki yang langsung salah tingkah dengan kedatangan Bimo yang tiba-tiba.
"Ita om, kenalkan nama saya Roy, temannya Dewi." Balas anak yang masih memakai baju seragamnya.
"Oh, Dewi nya dimana, kok kamu sendirian?" Sambung Bimo yang mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dewi.
"Ada di dalam om, tadi pamit mandi." Sahut Roy dengan wajah panik dan nampak gelisah. Bimo hanya mengangguk dan berlalu dari hadapan Roy tanpa banyak bicara lagi. Membuat Roy menghembuskan nafas lega.
"Untung saja tadi sudah selesai, kalau sampai ketahuan bisa habis aku sama om nya Dewi." Batin Roy sambil mengelus dadanya, dan seringai jahat terbit di sudut bibirnya yang sedikit hitam karena sering merokok.
"Loh, om Bimo kapan datangnya?" Dewi terlihat salah tingkah saat melihat Bimo sudah ada di dapur dan tengah membuat kopi.
"Barusan saja datang, kamu mau pergi sama temanmu?" Tanya Bimo yang nampak memperhatikan Dewi dengan alis berkerut.
"Enggak kok om, kan sudah sore jadi aku mandi." Sahut Dewi yang berusaha bersikap biasa saja di depan Bimo, padahal hatinya sudah ketar ketir, takut kalau kelakuannya bersama Roy di ketahui Bimo.
"Oh, temanmu sudah lama di sini?" Kembali Bimo mengeluarkan pertanyaan dengan tatapan yang tak lepas dari menatap lekat wajah keponakannya.
"Enggak kok, tadi dia kebetulan ngantar aku pulang, terus aku suruh mampir sebentar. Paling dia juga mau pulang setelah ini, soalnya susah mau magrib." Balas Dewi yang sekuat hati untuk bersikap santai.
"Oh yasudah, nanti om akan pulang ke desa. Paling dua hari di sana. Kamu gak papakan di rumah sama mas mu?" Sambung Bimo sambil mengaduk kopinya.
"Ita om gak papa, lagian juga kalau malam ada mbak ayu yang nginep nemenin aku tidur." Sahut Dewi yang merasa lega karena om nya tidak mencurigai hubungannya dengan Roy. Ayu adalah adik dari almarhum ayahnya Dewi.
"Om, nanti aku minta uang saku ya. Aku sudah gak punya pegangan sama sekali." Lirih Dewi yang memasang wajah melas, membuat hati Bimo merasa iba pada keponakannya.
"Iya, om kesini juga mau kasih kamu uang. Nanti habis magrib baru om berangkat ke kampung nyusul ibumu." Sahut Bimo, tangannya langsung merogoh dompet dari saku celananya, mengeluarkan uang pecahan seratus ribuan sebanyak tiga lembar dan di serahkan pada Dewi yang langsung sumringah.
"Makasih banyak ya om, tapi beneran kan om Bimo cuma dua atau tiga hari di kampungnya?" Tanya Dewi dengan senyum merekah.
"Iya, kan om juga harus masuk kerja." Sahut Bimo santai, berjalan melewati Dewi menuju arah depan, berniat menikmati kopi dengan suasana angin sore yang sejuk.
"Oh, yasudah. Soalnya kalau gak ada om Bimo aku bingung nanti. Gak tau harus minta uang jajan sama siapa, ayah sudah gak ada." Lirih Dewi dengan pura pura sedih biar om nya selalu prihatin dan menuruti semua keinginannya.
"Kamu tenang saja, om akan bertanggung jawab dengan semua kebutuhan kamu. Yasudah, sana cepet temuin teman kamu. Om mau ngopi di teras depan." Sambung Bimo santai dan Dewi memekik bahagia. Meskipun ayahnya sudah meninggal, Dewi gak pernah kekurangan uang jajan, karena Bimo selalu memberikannya. Sedangkan untuk putri kandungnya, Bimo justru abai dan gak perduli.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..