NovelToon NovelToon
Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Teen School/College / Gangster
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Caca adalah seorang gadis pemalu dan penakut. Sehari-hari, ia hidup dalam ketakutan yang tak beralasan, seakan-akan bayang-bayang gelap selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya. Di balik sikapnya yang lemah lembut dan tersenyum sopan, Caca menyembunyikan rahasia kelam yang bahkan tak berani ia akui pada dirinya sendiri. Ia sering kali merangkai skenario pembunuhan di dalam otaknya, seperti sebuah film horor yang diputar terus-menerus. Namun, tak ada yang menyangka bahwa skenario-skenario ini tidak hanya sekadar bayangan menakutkan di dalam pikirannya.

Marica adalah sisi gelap Caca. Ia bukan hanya sekadar alter ego, tetapi sebuah entitas yang terbangun dari kegelapan terdalam jiwa Caca. Marica muncul begitu saja, mengambil alih tubuh Caca tanpa peringatan, seakan-akan jiwa asli Caca hanya boneka tak berdaya yang ditarik ke pinggir panggung. Saat Marica muncul, kepribadian Caca yang pemalu dan penakut lenyap, digantikan oleh seseorang yang sama sekali berbeda: seorang pembunuh tanpa p

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 10

Hari-hari berikutnya, keadaan antara Kelvin dan Marica mengalami perubahan yang drastis. Tidak ada lagi kejar-kejaran atau pertengkaran di tengah keramaian sekolah. Setiap kali mereka bertemu, yang ada hanyalah tatapan sinis dan senyum miring.

Keduanya seolah menghindari interaksi langsung dan sibuk dengan urusan masing-masing. Kelvin kembali fokus pada latihan basketnya dan kegiatan sekolah lainnya, sementara Marica tenggelam dalam pelajaran dan persiapan beasiswanya.

Di sekolah, suasana ini menjadi perbincangan banyak orang. Para siswa yang biasanya menikmati drama dan adu mulut antara Kelvin dan Marica kini merasa ada yang hilang.

Mereka terbiasa melihat konflik terbuka, namun sekarang harus puas dengan perang dingin yang tidak kalah intens.

"Eh, lo lihat deh, Kelvin sama Marica udah gak ribut lagi," bisik seorang siswa kepada temannya di koridor sekolah.

"Iya, tapi gue merasa suasana jadi lebih tegang. Mereka cuma saling tatap, tapi rasanya kayak ada yang mau meledak," jawab temannya.

Di kantin, Yura, Ririn, dan Zerea juga membicarakan perubahan ini. "Gue heran deh, kok sekarang mereka malah kayak perang dingin gitu?" tanya Yura sambil menyeruput jusnya.

"Mungkin mereka capek berantem terus," jawab Ririn.

"Atau mungkin ada sesuatu yang lebih besar lagi yang kita gak tahu," tambah Zerea dengan nada misterius.

Di sisi lain, Kelvin dan Marica juga merasakan perubahan dalam diri mereka. Kelvin, yang biasanya emosional dan agresif, kini lebih tenang dan introspektif.

Dia menyadari bahwa terus-terusan berkonflik dengan Marica hanya menguras energinya. Dia mulai fokus pada hal-hal yang lebih positif, seperti meningkatkan kemampuannya dalam basket dan memperbaiki hubungannya dengan teman-temannya.

Marica juga merasakan hal yang sama. Perang dingin ini memberinya ruang untuk fokus pada tujuannya. Dia menyibukkan diri dengan belajar dan berlatih soal-soal.

\~\~\~

Di hari libur yang cerah, Adam memutuskan untuk mengajak keluarganya ke taman bermain, tempat yang penuh dengan tawa dan keceriaan anak-anak.

Suara riuh rendah tawa dan teriakan kegembiraan memenuhi udara, menciptakan suasana yang hangat dan menggembirakan.

Pohon-pohon rindang memberikan keteduhan, sementara aroma manis dari gula-gula dan makanan ringan memenuhi udara.

"Caca, kamu suka gula-gula kan?" tanya Adam sembari menyerahkan sebuah gula-gula warna-warni kepada Marica. Tangannya yang lembut dan penuh kasih sayang menunjukkan betapa ia peduli.

Tanpa ragu, Marica menerimanya dengan senyuman manis yang membuat gigi gingsulnya tampak menggemaskan. "Terima kasih, Ayah," ucapnya dengan nada lembut.

"Bukan aku yang suka, tapi Caca," batin Marica, namun ia tetap mempertahankan senyum manisnya di hadapan Adam.

Sementara itu, Rahayu, Tian, dan Yura berjalan di belakang mereka, mengamati adegan tersebut dengan perasaan campur aduk. Tian, yang selalu bersikap protektif terhadap keluarganya, merasa ada yang tidak adil dalam cara Adam memperlakukan Marica.

"Papa udah mulai enggak adil ke kita," ucap Tian pelan, suaranya terdengar cukup jelas di telinga Yura.

Yura, yang selalu merindukan perhatian dan kasih sayang dari Adam, juga merasakan hal yang sama. Selama ini, Adam selalu menjadi sosok ayah yang penuh perhatian dan kasih sayang untuknya.

Namun, kehadiran Marica seolah-olah mengubah segalanya. Yura merasa seolah-olah tempatnya di hati Adam perlahan-lahan tergeser oleh kehadiran Marica.

Mereka bertiga berjalan dengan langkah pelan, mengikuti Adam dan Marica yang tampak asyik bercengkerama. Di setiap pemberhentian, Adam tampak memberikan perhatian penuh kepada Marica, memastikan bahwa dia menikmati setiap momen di taman bermain itu.

Rahayu sesekali melemparkan pandangan penuh pengertian kepada Tian dan Yura, menyadari perubahan dinamika yang terjadi dalam keluarga mereka.

Di sebuah kios permainan, Adam membantu Marica memilih mainan. "Ayah, lihat boneka ini lucu banget!" seru Marica dengan mata berbinar-binar.

Adam hanya tersenyum dan mengangguk, lalu membelikannya tanpa berpikir dua kali. Tian dan Yura hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasa semakin terpinggirkan.

"Yura, kamu baik-baik aja?" tanya Rahayu dengan suara lembut, mencoba menghibur putrinya.

Yura hanya mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Marica dan Adam.

Selama sisa hari itu, Yura dan Tian mencoba menikmati waktu mereka di taman bermain, meskipun perasaan mereka campur aduk. Mereka bermain beberapa permainan dan menikmati makanan ringan, tetapi bayangan perhatian Adam yang lebih banyak tertuju kepada Marica tetap menghantui pikiran mereka.

Saat hari mulai beranjak sore, dan matahari mulai terbenam, Adam mengajak mereka semua berkumpul untuk makan malam bersama di sebuah restoran di dalam taman. Di meja makan, suasana terasa canggung.

Adam dan Marica tampak menikmati percakapan mereka, sementara Tian, Yura, dan Rahayu saling bertukar pandang, merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka.

\~\~\~

Kelvin merebahkan tubuhnya di kasur, merasakan kelelahan yang mendalam setelah menjalani banyak agenda yang padat. Pikiran dan tubuhnya terasa berat, seolah semua energi telah terkuras habis.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka secara otomatis, dan ketika ia menoleh, terlihatlah Kallian, ayahnya, berdiri di ambang pintu.

"Tiduran saja tidak apa-apa," ucap Kallian dengan suara lembut saat melihat Kelvin yang buru-buru berdiri.

Kallian mendekat, duduk di tepi kasur Kelvin, dan menepuk tempat di sebelahnya. Kelvin memahami kode itu dan dengan enggan duduk di samping ayahnya, merasakan kenyamanan dari kehadiran ayahnya yang jarang terjadi.

"Apa itu melelahkan?" tanya Kallian sambil merangkul pundak Kelvin, menyalurkan kehangatan dan dukungan.

"Tidak," jawab Kelvin singkat, meskipun dalam hatinya ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.

Kallian menghela napas panjang, mengetahui bahwa putranya sering menyembunyikan perasaannya.

"Jika kau tidak suka melakukannya, maka tidak usah kau lakukan. Ayah tidak memaksamu melakukan semuanya," ucap Kallian, mencoba menenangkan Kelvin dengan kebijaksanaan yang ia miliki.

Kelvin hanya bisa diam mendengar kata-kata ayahnya. Semua agenda yang ia jalani memang merupakan bagian dari tanggung jawabnya sebagai kandidat pewaris keluarga, dan ia merasa tidak punya pilihan lain. Ia ingin menunjukkan bahwa ia mampu, bahwa ia layak untuk mendapatkan kebanggaan dari ayahnya.

"Emil mengatakan pada ayah bahwa dua minggu lagi kau akan ikut tanding basket, ya?" tanya Kallian.

"Iya," jawab Kelvin, merasa sedikit lega bahwa ayahnya mengetahui dan peduli tentang kegiatannya.

"Jangan terlalu memaksakan dirimu. Menang atau kalah itu biasa dalam pertandingan," ucap Kallian dengan nada yang menenangkan. Dia ingin Kelvin memahami bahwa nilai dirinya tidak diukur dari hasil pertandingan atau prestasi semata.

Kelvin merasa beban di hatinya sedikit terangkat, tetapi kesedihan tetap ada. Dia selalu merasa bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk membuat ayahnya bangga, meskipun ia tahu bahwa Kallian tidak pernah mengharapkan apa-apa darinya.

Kelvin selalu mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa banyak usaha, tetapi justru itulah yang membuatnya merasa hampa. Ia ingin merasakan harapan dan tuntutan dari ayahnya, merasa bahwa dirinya berharga dan berarti.

"Istirahatlah, besok kau akan sekolah," ucap Kallian lembut sambil menepuk pelan bahu Kelvin.

Setelah itu, ia berdiri dan pergi dari kamar Kelvin, meninggalkan suasana yang tenang namun penuh dengan pemikiran mendalam. Pintu kamar tertutup secara otomatis, menghasilkan suara lembut yang menandai kepergian Kallian.

Kelvin duduk diam di tepi kasur, matanya menatap pintu yang sekarang tertutup. Suasana kamar terasa sunyi, hanya ada suara nafasnya sendiri yang terdengar jelas.

Kelvin berbaring kembali, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Kata-kata ayahnya tentang tidak memaksakan diri dan menerima kekalahan sebagai bagian dari pertandingan terus terngiang di kepalanya.

Meskipun Kallian tidak pernah mengharapkan kesempurnaan darinya, Kelvin selalu merasa ada tekanan untuk membuktikan dirinya layak sebagai pewaris keluarga.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!