Hasna berusaha menerima pernikahan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah ia kenal. Bahkan pertemuan pertama, saat keduanya melangsungkan akad nikah. Tak ada perlakuan manis dan kata romantis.
"Ingat, kita menikah hanyalah karena permintaan konyol demi membalas budi. jadi jangan pernah campuri urusan saya."
_Rama Suryanata_
"Terlepas bagaimanapun perlakuanmu kepadaku. Pernikahan ini bukanlah pernikahan untuk dipermainkan. Kamu telah mengambil tanggung jawab atas hidupku dihadapan Allah."
_Hasna Ayudia_
Mampukah Hasna mempertahankan keutuhan rumah tangganya? Atau justru menyerah dengan keadaan?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ujungpena90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Para pelayat berangsur-angsur pergi meninggalkan pemakaman yang tanahnya masih basah itu. Hanya tinggal beberapa tetangga dekat dan juga mbak Marni, asisten rumah tangganya serta pak Mamat.
Hasna masih setia berada di atas pusara sang kakek. Tak ada lagi air mata yang menetes. Ia sudah mengikhlaskan kepergian sang kakek.
Usapan lembut dipundak, menyadarkan lamunannya. Bu Diana memberikan isyarat agar Hasna segera pulang. Mengingat hari semakin gelap.
Berkali-kali bu Diana membujuk Hasna agar langsung ikut tinggal di kediaman keluarga Suryanata. Namun Hasna bersikeras untuk tetap tinggal dirumah kakek untuk beberapa hari.
Kedua mertuanya khawatir tentang kondisi psikis sang menantu. Setelah dibujuk, akhirnya Hasna menyetujuinya. Untuk hari ini, Hasna ingin bermalam dirumah sang kakek. Rumah semasa kecilnya. Rumah yang begitu hangat dan penuh cinta.
Dan atas permintaan kedua orang tuanya, Rama pun dengan terpaksa mengiyakan untuk tinggal semalam di rumah wanita yang kini menjadi istrinya itu.
Pak Andi dan Bu Diana pulang terlebih dahulu. Tinggal Hasna, Rama, dan mbak Marni juga Pak Mamat yang akan bersiap pulang juga.
Hasna segera masuk kedalam kamar sang kakek. Sementara Rama dipersilahkan mbak Marni untuk beristirahat di kamar Hasna.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rama meninggalkan kediaman almarhum kakek Rusdi. Karena ada meeting penting pagi ini.
Bu Diana yang tengah menemani sang suami sarapan, terkejut dengan kedatangan sang putra. Apalagi tak terlihat menantunya ikut serta.
"Pa." Bu Diana memberikan isyarat pada suaminya akan kehadiran Rama. Pak Andi mengikuti arah pandangan sang istri.
"Rama."panggil pak Andi
Rama menghentikan langkahnya yang hendak menaiki anak tangga menuju kamarnya dilantai dua. Dia pun menghampiri kedua orang tuanya yang tengah sarapan.
"Kamu sendirian sayang?" Tanya Bu Diana. Rama hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Lalu istri kamu?" Sambung beliau.
"Sepertinya dia masih tidur." Jawab Rama sekenanya.
Kedua orang tuanya mengerutkan kening mendengar jawaban putra sulungnya itu.
"Maksud kamu? Kamu meninggalkan istri kamu sendirian dirumahnya?" Suara sang ibu sedikit meninggi.
"Aku tidak meninggalkan dia ma, itukan rumahnya." Jawab Rama dengan santainya.
"Astaghfirullah." Lirih sang mama, sembari memijit keningnya.
"Rama, Hasna itu istri kamu. Dia tanggung jawab kamu sekarang. Kemarin almarhum kakeknya menyerahkan tanggung jawab itu padamu sebagai suaminya. Bahkan tanah makam beliau saja belum kering, kamu sudah meninggalkan Hasna begitu saja di rumah seorang diri. Dia seorang perempuan, nak. Dia baru saja ditinggalkan oleh keluarga yang dimiliki satu-satunya." Pak Andi mencoba menasehati sang putra agar ia sadar akan posisinya sekarang sebagai seorang suami.
"Pa, Rama pulang karena pagi ini ada meeting penting dengan klien." Rama masih mencoba memberikan alasan.
"Apapun itu, kamu tidak sepantasnya meninggalkan istrimu seorang diri."
"Saat ijab qabul diikrarkan, kamu telah mengambil alih tanggung jawab atas diri Hasna sepenuhnya dari walinya. Papa tidak bermaksud menggurui, tapi Papa disini hanya mengingatkan tugas dan tanggung jawab seorang suami. Papa juga laki laki beristri, sudah sepatutnya papa harus memprioritaskan istri papa. Begitupun kamu." Sebisa mungkin pria paruh baya itu menekan emosinya saat berbicara dengan sang putra.
Beliau tau bahwa ada luka dimasa lalu dihati putranya itu. Sebuah penghianatan oleh orang yang paling dekat dengan hatinya. Tapi beliau juga tidak mau jika sang putra menjadi suami yang lalai akan kewajibannya terhadap istrinya.
"Papa harap, setelah meetingmu selesai, temui Hasna. Bawa dia pulang ke rumah ini."
Hanya terdengar hembusan nafas kasar dari laki laki yang baru semalam menyandang gelar sebagai seorang suami itu.
Rama pun berbalik, melanjutkan langkahnya menuju kamar.
***
"Kami sangat puas dengan presentasi yang anda sampaikan pak Rama. Semoga kerjasama kita membuahkan hasil yang baik." ucap rekan bisnisnya
"Kalau begitu kami permisi." sambungnya seraya menjabat tangan Rama.
"Silahkan." ucap Rama.
Kemudian mengantarkannya sampai didepan pintu lift. Setelah klien dan sekretarisnya memasuki lift, ia pun segera beranjak menuju ruangannya.
"Ivan, tolong segera ke ruangan saya. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Ucapnya kemudian berlalu meninggalkan Ivan yang kemudian mengekorinya dari belakang.
Marissa segera berdiri dari duduknya saat Rama akan masuk kedalam ruangannya.
"Pak Ivan, Pak Rama kenapa?" tanya Marissa pada Ivan, hingga membuat laki-laki itu mengurungkan gerakan tangannya membuka pintu ruang Rama.
"Maksudnya?" tanya lelaki berstetelan jas abu-abu itu sambil menautkan kedua alisnya.
"Sepertinya Pak Rama ada masalah ya, kok aura nya suntuk banget." jawab Marissa.
"Saya juga melihat aura kamu terlihat gelap, seperti sedang tidak baik-baik saja." ucap Ivan datar.
"Maksud Pak Ivan?" kini ganti gadis berkemeja ungu tua itu yang mengernyitkan kedua alisnya.
"Aura kamu gelap karena terlalu kepo dengan urusan orang lain. Kita disini digaji untuk bekerja secara profesional, bukan untuk mencampuri urusan yang tidak sepatutnya kita ketahui. Selesaikanlah pekerjaanmu. Jangan sampai kamu makan gaji buta. Bisa rugi kantor nanti." Ucap Ivan kemudian menghilang dibalik pintu ruangan Rama.
Marissa sungguh terkejut dibuatnya. Sampai-sampai kedua matanya melebar dengan sempurna dan mulut yang terbuka.
Asisten pribadi bosnya yang terkenal irit bicara itu tiba-tiba memberinya ceramah sepagi ini.
Bukan Ivan tak tau jika Marissa menaruh hati pada bos mudanya. Sebagai karyawan sebaiknya dia tau batasan. Tidak sepantasnya Marissa mencampur adukkan masalah perasaan dengan pekerjaan.
Dengan wajah yang begitu kesal, Marissa kembali melanjutkan pekerjaannya.
***
"Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya Ivan yang sudah berdiri di depan meja Rama.
"Tolong carikan saya rumah siap huni. Jangan terlalu besar. Saya harap kamu bisa memberikan kabar sore ini kepada saya." Jawab Rama.
"Baik, pak. Maaf, apa rumahnya ada kriteria khusus?"
"Tidak, cukup ada perabotan didalamnya, selain ranjang dan lemari di kamar utama."
"Bagaimana dengan lokasi? Di perumahan atau di pemukiman warga?"
"Perumahan, pastikan juga bukan perumahan padat penduduk. Saya ingin privasi saya tetap terjaga."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." ucap Ivan sambil membungkukkan badannya, kemudian keluar dari ruangan Rama.
Fokus Marissa teralihkan karena bunyi pintu yang dibuka dari dalam. Sepertinya perempuan itu masih sedikit sensi akibat ceramah pagi dari Ivan.
Bahkan ia tak memberikan senyuman pada asisten bosnya itu.
***
Sesuai permintaan orang tuanya, Rama segera menjemput Hasna di rumahnya.
Sesampainya disana, hanya terlihat asisten rumah tangganya saja. Tak ada tanda-tanda jika Hasna ada dirumah.
"Assalamu'alaikum." ucap Rama.
"Wa'alaikum salam."
Mbak Marni memperhatikan laki-laki yang berdiri dihadapannya itu. Seketika ia teringat bahwa laki-laki itu adalah suami dari Hasna.
"Hasna nya ada?" Tanya Rama.
"Ada, mas. Silahkan masuk."
Mbak Marni segera menuju ke dalam. Tak lama kemudian datang membawakan secangkir minuman.
"Maaf ya mas. Saya ndak menanyakan dulu mas nya mau minum apa." ujar mbak Marni seraya meletakkan secangkir teh dihadapan Rama.
"Iya, tidak apa-apa, terima kasih." ucap Rama sambil tersenyum.
"Mbak Hasna masih sholat, sebentar lagi pasti sudah selesai."
Rama melihat jam dipergelangan tangannya. Masih jam sepuluh lewat lima menit.
"Saya permisi ke belakang dulu kalau begitu".
Mbak Marni pun segera melanjutkan pekerjaan yang tadi ia tinggalkan.
Rama melihat sekeliling ruang tamu, tidak banyak pajangan disana. Hanya beberapa foto yang tergantung.
Satu foto yang menjadi fokusnya. Foto seorang gadis berkebaya warna nude yang sedang memakai toga. Senyumannya cantik sekali.
"Assalamu'alaikum."
Suara salam, mengalihkan perhatian pemuda tang tengah menatap foto di dinding itu.
"Wa'alaikum salam."
Perempuan bermata teduh itupun memposisikan dirinya duduk berhadapan dengan sang suami.
Hening dan canggung menyelimuti keduanya. Baru pertama kali ini mereka berhadapan secara langsung. Saat dirumah sakit, Hasna lebih banyak disamping sang kakek.
Perempuan bermata bulat, dengan alis yang membingkai indah, bibir yang ranum, serta hidung yang mancung begitu melenakan pandangan lelaki padanya. Begitupun Rama, sesaat ia terpesona dengan gadis yang duduk tepat dihadapannya.
Sedangkan sang perempuan tidak berani mengangkat pandangannya.
"Saya kesini untuk menjemput kamu. Saya harap tidak ada penolakan." Ucap Rama memecah keheningan diantara keduanya.
Hasna belum juga membuka suara.
"Mama memintamu untuk tinggal dirumah kami." Ucap lelaki itu lagi.
"Saya ingin sampai tujuh hari kedepan, acara doa bersama untuk almarhum kakek diadakan dirumah ini." Tolak Hasna secara halus.
Perempuan itu benar-benar tak menginginkan untuk pindah dari rumah ini. Namun apalah daya, statusnya sebagai seorang istri mengharuskannya untuk mengikuti dimanapun suaminya berada. Hanya jawaban itu yang mampu ia berikan untuk menolak ajakan suaminya saat ini.
Rama menghembuskan nafas kasar. Ia tau kalau Hasna telah menolah ajakannya secara halus.
"Nanti bisa dibicarakan kalau sudah sampai rumah." ucap Rama penuh ketegasan. Karena sesungguhnya laki-lki itu tidak mau jika tujuannya dipersulit.
"Baiklah, saya akan bersiap."
Hasna pun beranjak menuju kamarnya kembali untuk mengambil tas juga ponselnya.
Rama bertambah kesal saat Hasna hanya membawa tas kecil. Mungkin hanya muat untuk menyimpan dompet juga ponsel saja.
Tak ingin berdebat, Rama pun melangkah meninggalkan ruang tamu menuju mobilnya.
Nampak Hasna berbincang kepada asisten rumah rangganya. Entah apa yang dibicarakan. Rama hanya menunggunya didalam mobil.
Setelah Hasna duduk di kursi sebelahnya, segera Rama melakukan mobilnya menuju kediaman keluarganya.
Tak ada percakapan diantara keduanya. Mereka sama-sama larut dalam pikirannya masing-masing.
***
sebuah kisah yg bagus....