Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Part 1

Di tengah kegelapan malam yang menyelimuti, suasana mencekam menyatu dengan bulan yang bersinar redup. Cahaya remang-remang itu menjadi satu-satunya penuntun di antara keheningan malam yang terasa begitu pekat. Angin malam mengusik ilalang liar di sekelilingnya, menciptakan suara desiran yang menambah kekakuan suasana.

Tiba-tiba, suara panggilan memecah kesunyian. Seorang siswa SMP, masih mengenakan seragam putih-biru, melangkah dengan langkah gemetar di bawah cahaya bulan.

"Ca?" panggilnya, suaranya bergetar dalam kegelapan.

"Aku?" sahut Caca dengan suara penuh kebingungan, tangannya gemetar saat menyadari sesuatu yang mengejutkan.

Sebuah pisau tergenggam di tangannya, dan ketika kesadaran akan apa yang telah terjadi menyergapnya, pisau itu terlepas dari cengkeraman gemetarnya dan jatuh ke tanah.

Darah berceceran di tanah, mencerai-beraikan bayangan di bawah cahaya remang. Dua sosok tergeletak di tanah, tubuh mereka bersimbah darah. Caca terpaku, matanya membulat dalam ketakutan yang tak terucapkan.

"Haaa..." teriaknya histeris, suaranya meluncur tanpa kendali seperti derap gelombang di tengah keheningan malam.

Namun, di tengah kekacauan, suara penuh kelembutan membelai telinga Caca. Seorang siswa lain mendekatinya, meraihnya dalam dekapannya yang hangat, mencoba menenangkan gadis itu yang terhanyut dalam kebingungan dan ketakutan yang tak terkendali.

"Caca, tenang," bisiknya dengan lembut, mencoba meredakan ketakutan yang melanda.

Tangannya menepuk lembut punggung Caca, memberikan kehangatan dalam kegelapan yang membingungkan.

\~\~\~

Dengan suara berisik, alaram berbunyi dan membuyarkan alam mimpi. Marica terbangun dengan kaget, napasnya tersengal-sengal dalam kebingungan.

"Kenapa mimpi itu datang lagi sih?" gumamnya frustasi, menggosok-gosok matanya yang masih tertutup kabut mimpi.

Rambutnya diacak-acak dengan gerakan kasar, seakan ingin mengusir bayangan mimpi yang masih menghantuinya. Dengan gerakan refleks, ia bangkit dari tempat tidur untuk bersiap-siap menjalani hari di sekolah barunya.

Pikirannya masih terhanyut dalam kekacauan mimpi yang baru saja dihadapinya. Dia mencoba mengingat-ingat detail-detailnya, tetapi semakin ia mencoba, semakin sulit untuk memahami pesan yang tersembunyi di baliknya.

\~\~\~

Di tengah meja makan yang tenang, sebuah perdebatan pecah antara Adam dan Tian.

Tian, dengan ekspresi ketidakpuasan yang jelas terpancar dari wajahnya, mengajukan pertanyaan yang tak terduga kepada Adam.

"Pa, kenapa sih dia harus satu sekolah dengan Yura?" tanyanya, suaranya penuh dengan ketidaksetujuan yang tak tersembunyi.

Adam hanya diam, tetapi pandangan matanya yang tajam dan tak suka sudah cukup untuk menyampaikan rasa ketidaknyamanannya kepada Tian. Meskipun begitu, Tian tidak gentar, terus menuntut penjelasan yang memuaskan.

"Tian, udah," sementara itu Rahayu, mencoba untuk menengahi situasi dengan suara yang tenang.

"Bun, aku bisa maklumin kalau dia tinggal di sini bersama kita karena dia anak kandung Papa. Tetapi kenapa harus satu sekolah dengan Yura?" pertanyaan Tian terus menggema di ruangan itu, menciptakan atmosfer yang tegang.

Yura, dengan suara pelan, memanggil kakaknya dengan hati-hati, "kak?"

Namun, Tian tidak tergoyahkan, tetap mengekspresikan kebingungannya dengan tegas. "Lagian, kan dari kecil Caca juga tinggal bersama ibunya. Terus, ibunya menikah lagi, seharusnya dia tetap bersama ibunya, kenapa malah tinggal dengan Papa?" Tian melontarkan pertanyaan dengan nada yang penuh keheranan, merasa bahwa semua yang terjadi tidak masuk akal baginya.

Langkah kaki yang mendekat mengejutkan Adam. Dia tahu itu pasti Marica. Dengan nada serius, dia meminta agar segala percakapan yang memanas itu dihentikan.

"Hentikan semua omong kosong ini!" pintanya dengan tegas, mencoba meredakan ketegangan yang melanda ruangan. Suaranya mengandung keberanian dan ketegasan, mencerminkan keputusan yang telah diambilnya.

Tian hanya bisa menahan kekesalannya, terlebih lagi saat melihat Marica yang kini duduk ikut sarapan di meja yang sama.

"Ca, kamu berangkat sekolah bareng Yura," ucap Adam dengan tegas.

"Iya, Ayah," jawab Marica dengan singkat, sambil mengangguk pelan.

\~\~\~

Di sekolah, Yura terlihat tidak seperti biasanya, dan hal itu tidak luput dari perhatian sahabat dekatnya.

"Muka lo ngapa di tekuk gitu?" tanya Ririn dengan nada penasaran.

Yura menghela napas sebelum menjawab, suaranya terdengar tertekan, "Si Caca jadi satu sekolah sama gue. Dia udah masuk hari ini."

"Hmm, heran gue sama dia. Kok dia mau sih tinggal sama ayahnya padahal kan dia dari kecil udah sama ibunya," komentar Zerea

"Ya, itu juga gue enggak tahu alasan pastinya apa. Yang jelas, suasana rumah jadi beda gara-gara kehadiran dia," ungkap Yura dengan jujur, mencoba untuk merangkul perasaannya yang rumit.

"Ya jelas lah," sahut Zerea dengan nada setuju.

"Tapi, dia kelihatan anak baik-baik," tambah Yura, mencoba untuk melihat sisi positif dari situasi yang ada.

"Anak baik-baik? Heh, yang kelihatan baik itu belum tentu baik. Lo hati-hati aja sama dia," saran Ririn dengan nada waspada, merasa perlu untuk memberi peringatan kepada sahabatnya.

Perbincangan itu membuat Yura merenung sejenak, memikirkan tentang apa yang telah disampaikan oleh teman-temannya. Dia tahu bahwa kehadiran Marica telah membawa perubahan yang cukup besar dalam kehidupan mereka, dan mungkin ada hal-hal yang perlu diwaspadai.

\~\~\~

Marica ditempatkan di kelas unggulan karena prestasi akademiknya yang memadai, sebuah pengakuan yang didasarkan pada nilai dan bukan faktor lain seperti kekayaan atau hubungan keluarga. Namun, meskipun masuk ke kelas ini merupakan suatu pencapaian yang membanggakan, suasana di dalamnya jauh dari apa yang dia bayangkan.

Kelas unggulan ini benar-benar terasa penuh dengan aura persaingan yang menghunjam tajam. Meskipun terlihat bersahabat di permukaan, namun Marica bisa merasakan betapa setiap siswa di kelas ini saling bersaing satu sama lain, mengejar prestasi dan pengakuan tanpa kenal lelah.

"Baik, kita mulai pelajarannya," ucap Bu Nirma, guru kelas dengan suara yang tenang namun penuh otoritas.

Bu Nirma menjelaskan materi pelajaran matematika untuk kelas XI dengan penuh semangat, menyampaikan konsep dan rumus dengan jelas. Suasana kelas terasa sunyi karena kebanyakan siswa fokus menyimak penjelasannya, menyerap setiap kata yang diucapkan guru mereka.

"Baiklah, siapa yang bisa menjawab pertanyaan yang tertulis di papan tulis?" tanya Bu Nirma, mencari partisipasi dari murid-muridnya.

"Saya, Bu," ucap Marica dengan cepat, mengangkat tangannya dengan percaya diri.

"Maju," sambut Bu Nirma, memberi kesempatan pada Marica untuk menjawab.

Setelah Bu Nirma memberi izin, Marica maju dengan santainya ke depan kelas. Dia menulis jawabannya di papan tulis dengan gerakan yang tenang, seolah-olah tidak ada tekanan atau kekhawatiran sedikit pun dalam pikirannya.

"Ada yang mau maju lagi?"

Saat Bu Rima menawarkan kesempatan kepada siswa lain untuk menjawab soal lainnya, seorang siswa lain langsung merespons dengan cepat, "Saya, Bu," ucapnya mantap.

"Maju," sambut Bu Rima, memberi kesempatan pada siswa tersebut untuk berbagi jawabannya.

Siswa itu maju ke depan kelas dengan langkah mantap, mengambil spidol dari meja guru, dan mulai membuat garis disamping jawaban Marica. Namun, sebelum ia bahkan mulai menjawab soal, Marica sudah menyatakan bahwa ia telah menyelesaikan jawabannya.

"Sudah, Bu," ucap Marica dengan tenang.

"Duduk," ucap Bu Rima dengan nada yang ramah, memberikan apresiasi pada partisipasi Marica.

Saat Marica berjalan kembali ke mejanya, perhatian Devano tertuju padanya. Ia merasa sedikit tertekan, melihat betapa cepatnya Marica menyelesaikan tugasnya. Tanpa ragu, Devano segera menekan spidolnya dan dengan cepat menyelesaikan soal yang diajukan.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Devano kembali ke tempatnya, tetapi sebelum duduk, ia melirik Marica sekilas. Mungkin ia merasa terkesan dengan kecepatan dan ketepatan Marica dalam mengerjakan soal tersebut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!